My Profile

Sabtu, 17 Maret 2012

Hikmah Edisi II



Pemimpin yang Dicintai
 

 

Di persinggahan suatu perjalanan Nabi SAW meminta sahabat-sahabatnya menyiapkan makanan dengan menyembelih seekor kambing. Seketika itu di beberapa orang dari sahabat itu berkata, ''Wahai Rasulullah, saya yang akan menyembelih kambing.'' Yang lain mengatakan, ''Saya yang akan mengulitinya. Aku yang memasaknya,'' sahut sahabat lain tidak mau ketinggalan berbakti kepada beliau.

Nabi tersenyum mendengar perkataan dan kesediaan para sahabat itu. Lalu beliau berkata, ''Aku yang akan mengumpulkan kayu bakarnya.'' Mendengar perkataan beliau, hampir serentak para sahabat berkata, ''Wahai Rasulullah, sudahlah engkau tidak usah bekerja.''

Nabi langsung menimpali, ''Aku tahu kalian akan mencukupiku, tetapi aku membenci bila aku dilebihkan di antara kalian. Sesungguhnya Allah membenci hamba-Nya yang menginginkan diperlakukan istimewa di antara sahabat-sahabatnya.''

Demikianlah seorang pemimpin seharusnya. Setiap pemimpin perlu, bahkan harus meneladani kepemimpinan Nabi SAW. Meski sebagai pemimpin, bahkan sebaik-baiknya manusia, beliau tidak ingin dirinya terkesan khusus dari sesamanya. Beliau selalu berusaha populis, merakyat.

Juga, sebagai pemimpin beliau tidak hanya sebagai pemegang komando, ''tukang perintah'', tetapi beliau turut serta bekerja, berbaur bersama rakyatnya. Di antaranya terbukti beliau selalu hadir berperang bersama kaum Muslimin. Pun beliau tidak malu ikut serta mengangkat batu, menggali parit, ketika terjadi pada perang Khandak.

Selain itu, beliau menjauhi sikap otoriter. Beliau sering berdialog atau bermusyawarah dengan pengikutnya, menerima masukan atau ide dari bawahannya, seperti ide siasat pada perang Khandak.

Oleh karena itu, menurut Abbas Mahmud Aqqad dalam bukunya Abqariah Muhammad SAW, di antara keistimewaan kepemimpinan Nabi SAW adalah beliau sangat menyayangi dan mengayomi orang lemah atau fakir miskin, dan populis. Beliau tidak segan atau tidak malu-malu mengayomi, bergaul dengan orang-orang kalangan kelas bawah, wong cilik.

Dalam suatu riwayat disebutkan beliau dengan senang hati makan bersama pembantunya, duduk-duduk, berbicara dengan budak-budak. Bahkan beliau menyatakan bahwa siapa yang tidak menyayangi orang-orang lemah, itu berarti di luar golongannya. Seperti disebutkan dalam sabdanya, ''Barang siapa tidak menyayangi yang lemah di antara kita dan tidak mengetahui hak orang-orang terhormat di antara kita, maka bukan termasuk golongan kami.''

Sikap-sikap kepemimpinan Nabi SAW itulah, di antaranya, yang menjadikan beliau sangat dicintai dan dihormati rakyatnya. Karena itu pemimpin yang ingin dicintai dan dihormati rakyatnya hendaknya memperhatikan wong cilik, populis, berbaur, dan tidak otoriter, dalam mengambil keputusan, dan sudah seharusnyalah mengikuti konsep kepemimpinan Rasulullah SAW.



Pemimpin yang Zuhud
 
 

Zuhud tidak selamanya identik dengan sikap menjauhi segala urusan yang berkenaan dengan dunia. Sebab, ternyata di antara rahasia keberhasilan Umar dalam kepemimpinannya adalah karena zuhud-nya. Mari kita lihat sikap zuhud Khalifah Umar bin Khattab, sebagai seorang pemimpin yang terkenal berhasil menegakkan keadilan dalam kepemimpinannya.

Pada masa Umar diriwayatkan tidak seorang pun rakyatnya yang kelaparan. Bahkan, ketika suatu hari dilakukan pengecekan oleh para petugas baitul mal (kas kekayaan negara), ternyata tidak ada seorang pun yang mau menerima bantuan dana dari negara. Umar dengan ketegasannya dalam kebenaran pun berhasil menaklukkan dua kekuatan superpower pada masanya: Kerajaan Persia dan Romawi.

Adakah Umar dengan keberhasilannya itu menjadi lupa daratan? Sombong dan berfoya-foya dengan dunia? Tidak. Umar bukan pemimpin yang mudah terlena oleh pesona dunia. Imam As Suyuthi meriwayatkan bahwa Umar selalu menghindar dari makanan yang lembut dan lezat. Ketika ditanya, Umar menjawab, ''Bukan saatnya di dunia berfoya-foya.'' (Tarikhul Khulafa oleh As Suyuthi, hal 120).

Dalam riwayat lain, Hafsah bin Abil Ashi, ketika melihat Umar makan roti yang sudah kering dan keras, menawarkan untuk mendatangkan makanan yang lezat. Umar seketika menjawab bahwa ia sangat bisa mendatangkan yang lebih enak daripada itu, tapi ia tidak mau, lantaran takut terlena kenikmatan dunia yang membuatnya lupa kepada akhirat. Pernah Hafshah, putrinya, dan Abdullah, putranya, menganjurkan agar Umar menikmati makanan yang enak. Umar menolaknya.

Suatu hari Umar pernah ingin makan ikan yang enak. Yarfa, seorang pelayannya, segera berangkat mencarinya. Selama dua hari dua malam perjalanan ditempuhnya untuk mendapatkan ikan tersebut. Sekembalinya Yarfa segera memandikan kudanya yang penuh keringat dan sangat kecapaian. Ketika Umar melihat kejadian itu, ia berkata, ''Apakah harus menyiksa binatang, hanya untuk keinginan nafsu Umar. Tidak, wallahi saya bersumpah untuk tidak mencicipi makanan itu.''

Diriwayatkan bahwa pakaian Umar sangat sederhana. Ali bin Abi Thalib pernah melihat Umar mengenakan pakaian dengan sebelas tambalan. Anas meriwayatkan bahwa ia melihat Umar mengenakan baju dengan empat tambalan. Abu Utsman meriwayatkan pernah melihat Umar melempar jumrah, dengan pakaian yang ditambal (Usudul Ghabah, oleh Ibnul Atsir, jilid 4 hal 168-169).

Suatu saat Umar sangat lapar. Ia segera masuk ke rumahnya lalu menanyakan makanan kepada istrinya. Istrinya menyebutkan bahwa ada makanan di kolong dipan. Ketika Umar mengambilnya ternyata hanya seonggok kurma dan air minum. Umar lalu menikmatinya dengan perasaan enak. Setelah itu berkata, ''Sungguh celaka orang yang memasukkan ke dalam perutnya api neraka.'' Maksudnya, memasukkan makanan haram ke perutnya hanya karena mengejar makanan yang enak dan lezat.
Sumber : Republika Online


Pencegah Pembantaian
 
 

Saat musyrik Quraisy ingin membunuh Nabi Muhammad SAW, paman beliau, Abu Talib, mengumpulkan Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutalib agar mau melindungi Nabi di kamp kabilah mereka. Semua sepakat, kecuali Abu Lahab dan anaknya. Karena hebatnya proteksi itu, hingga di mana pun Nabi berada selalu ada yang menjaga dengan pedang terhunus, termasuk menggantikannya di tempat tidur Nabi sebelumnya.

Mereka konsisten dengan mempertaruhkan nyawa demi Nabi dan pengikutnya, walau kemudian diboikot total kaum Quraisy hingga berhari-hari tidak bisa makan. Sahabat Nabi, Saad bin Abi Waqqas, malah sempat memulung kulit unta kering sekadar pengganjal perut.

Pembelaan kaum kafir terhadap umat Islam tidak berhenti sampai di situ. Beberapa pemuka Quraisy yang sejak awal tidak setuju rencana pembunuhan Nabi dan pengikutnya dan serta pemboikotan itu, merancang koalisi rahasia untuk membebaskan kaum Muslim.

Hisyam bin Amir, Zuhair bin Umayyah, Mut'am bin Adi, dan lain-lain, mendesak musuh terbesar Nabi, Abu Jahal, untuk membatalkan embargo itu malah menyatakan akan merobek sendiri naskah pemboikotan itu.

Ditambah pertolongan Allah, upaya tokoh kafir itu sukses mencegah pembantaian kaum Muslim perlahan-lahan (riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Hisyam). Motif mereka itu semata-mata untuk kemanusiaan dan apresiasi atas ketinggian akhlak Nabi yang telah mereka ketahui sejak beliau masih kecil.

Keteladanan pemuka kafir itu bertolak belakang dengan penguasa Muslim sekarang, yang terkesan membiarkan pembantaian rakyat Irak, sebagaimana dialami Muslim Afghanistan, Palestina, Chechnya, dan sebagainya.

Sebagian memang menolak agresi, tetapi tidak melakukan apa pun, seperti memutus hubungan diplomatik atau minimal menarik dubes dari negara agresor itu, serta menarik investasi portofolio dan aset dari negara agresor yang berjumlah ratusan milyar dolar AS itu.

Mestinya mereka Juga mengembargo minyak, menggganti dolar AS dengan emas dan perak sebagai mata uang transaksi, serta mengirim tentara untuk memproteksi rakyat sipil.

Demonstrasi, dana, dan bantuan kemanusiaan tidak cukup untuk menyetop aksi senjata pemusnah masal. Gawatnya, ada penguasa yang mendukung pembantaian itu dengan menyediakan pangkalan militer dan dana.

Tidak diterapkannya hukum Islam yang bisa mengoreksi penguasa tertinggi itu rupanya telah membuat banyak pihak memilih untuk dicatat malaikat Atid sebagai penguasa yang lebih buruk daripada tokoh musyrik, Abu Talib dan Muth'am bin Adi.




Pendidikan Agama
 
 

Sekolah-sekolah Islam di Andalusia begitu unggul dan tidak tertandingi, baik soal pendidikan agama, kepribadian, maupun sains. Karenanya, negara-negara non-Islam ingin diberi izin menyekolahkan warganya di sana. Termasuk, Raja Inggris Raya, George. Begitu besar hasratnya sampai-sampai dalam surat permohonannya dia menyebut penguasa Andalusia, Khalifah Hisyam III, sebagai paduka yang mulia, dan menggelari dirinya sebagai 'hamba paduka yang patuh'.

Memang, kala negara menerapkan hukum dan petunjuk Allah, termasuk dalam pendidikan agama, maka manusia diperlakukan sebagai manusia seutuhnya, bukan hanya dianggap modal produksi, pasar industri, atau sumber suara dalam pemilu. Pendidikan agama memenuhi standar keimanan, misal diajarkan guru-guru Muslim yang teruji ketakwaannya di dalam dan luar sekolah.

Kisah George tersebut membuktikan pendidikan Islam membuat iri negara manapun yang tidak menerapkannya. Buktinya, muncul ulama yang menguasai sains dan ilmu agama sekaligus, seperti Imam Bukhari, Syafii, Ibnu Sina, Abu Ishak al-Kindi, dan Al Haitam. Begitu hebatnya hasil pendidikan agama dan sains di era penerapan Islam hingga ulama tersebut bukan hanya memahami ilmu yang telah ada, tetapi juga membuat dasar ilmu dan metodologi baru dan tetap relevan hingga ribuan tahun sesudahnya, seperti hadis, fikih, kedokteran, musik, optik, dan fisika.

Sebaliknya, seperti saat ini, target minimal pun takkan diperoleh. Negara tidak mampu membentuk sumber daya guru bermutu dalam pengetahuan, keterampilan, dan kepribadian. Dana tidak mencukupi, yang sebagian, karena hukum Allah soal pertambangan dilalaikan hingga para kapitalis menguasai aset rakyat itu, dan riba pada sistem keuangan negara yang menguras puluhan triliun rupiah/tahun.

Akibatnya, hanya segelintir sekolah negeri yang mampu memberi pendidikan agama dan sains yang memenuhi standar minimal. Sementara itu, sekolah swasta Muslim gagal dimasuki mayoritas anak negeri karena berbiaya mahal. Bahkan, syarat paling minim dan masuk akal dalam pendidikan agama, yakni diajar oleh guru Muslim dan tujuan membentuk pribadi bertakwa serta berakhlak mulia, dilecehkan habis-habisan.

Sadarilah, bahwa hanya dengan meneladani era Islam, yang menyeimbangkan pendidikan agama dan sains, akan terbentuk saintis bertakwa atau ulama melek teknologi, sekaligus mencegah maraknya narkoba, pergaulan bebas, kebejatan massal, hilangnya penghormatan anak kepada orang tua, pemurtadan, dan lain-lain.





Pengamalan Ucapan
 
 

Beberapa budak datang kepada Hasan Al-Bashri untuk mengadukan praktik perbudakan yang membuat mereka menderita. Mereka meminta agar Hasan Al-Bashri memberi nasihat dan mengimbau orang-orang kaya agar memerdekakan budak-budaknya. Dengan begitu, mereka mendapatkan kebebasan. Hasan Al-Bashri pun berjanji untuk memenuhi permintaan mereka.

Pada khutbah Jumat pertama setelah itu, Hasan Al-Bashri tidak berkhutbah tentang perbudakan. Jumat kedua dan ketiga pun berlalu tanpa menyinggung tema ini dalam khutbahnya, sebagaimana yang ia janjikan kepada mereka. Pada Jumat keempat, barulah, Hasan Al-Bashri berbicara dalam khutbahnya tentang pahala pemerdekaan budak. Belum sampai waktu sore datang, Sebagian besar budak telah dibebaskan.

Tidak lama kemudian, para budak mengunjunginya untuk mengucapkan terima kasih atas khutbahnya. Namun, mereka mempersoalkan keterlambatan dia menyampaikan tema ini hingga sebulan penuh. Hasan Al-Bashri meminta maaf atas keterlambatan tersebut seraya mengatakan, "Yang membuat saya menunda pembicaraan ini adalah karena saya tidak memiliki budak dan tidak juga memiliki uang. Saya menunggu sampai Allah mengaruniakan harta kepadaku, sehingga saya dapat membeli budak. Lalu budak itu kubebaskan. Kemudian barulah saya berbicara dalam khutbah, mengajak orang untuk membebaskan budak. Allah pun memberkati ucapanku karena perbuatanku membenarkan ucapanku itu."

"Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan." (QS as-Saf: 2--3).

Sikap yang amat jarang kita temukan pada hari ini. Banyak pemimpin dan pejabat pandai berbicara, tetapi tidak dapat merealisasikan apa yang diungkapkannya. Hanya omong kosong dan janji-janji tidak terbukti. Akhirnya rakyatlah yang menderita dalam sebuah penantian panjang tidak berkesudahan.

Begitu juga kepada para ulama, hendaknya memberikan teladan yang baik. Jangan hanya pandai berkhutbah, mengucapkan berbagai dalil tanpa ada contoh perbuatan darinya. Oleh karena itu, tidak heran jika khutbah yang disampaikan seakan tidak membekas sama sekali di hati para pendengar. Maka cukuplah bagi kita untuk mengambil pelajaran umat terdahulu, "Mengapa kamu menyuruh orang lain kebaikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab? Maka tidakkah kamu berpikir?" (QS al-Baqarah: 44).






Penghalang Jalan Allah
 
 

''Sesungguhnya orang-orang kafir itu menafkahkan harta mereka untuk menghalangi dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dalam Jahanamlah orang-orang kafir itu dikumpulkan. Supaya Allah memisahkan yang buruk dari yang baik dan menjadikan golongan buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain. Lalu kesemuanya ditumpukkan dan dimasukkan ke dalam neraka Jahanam. Mereka itulah orang-orang rugi.'' (QS Al-Anfal: 36--37)

Muhammad Ibnu Ishaq melalul Al-Zuhri berkata, ''Setelah orang-orang kafir Quraisy kalah dalam peperangan Badar, mereka pulang dan terus merancang untuk menyerang kembali orang-orang Islam. Mereka berjumpa dengan Abu Sufyan yang telah berhasil melepaskan diri dan harta dagangannya dari serangan tentara-tentara Islam. Mereka lalu menceritakan pada Abu Sufyan bahwa banyak di antara mereka yang kehilangan anak, ayah, dan saudara, dalam perang Badar. Mereka berkata pada hartawan dan pedagang quraisy itu, 'Sesungguhnya Muhammad telah ganjilkan kita. Jadi bantulah kami dengan harta kamu, mungkin kali ini kita akan dapat menebus kekalahan'. Lalu merekapun menyerahkan harta mereka untuk tujuan mereka itu .... ''

Dari peristiwa inilah turun ayat Allah tersebut di atas. Firman Allah ini seharusnya cukup bagi kaum Muslim untuk senantiasa waspada terhadap permusuhan dan makar orang-orang kafir. Apa yang dilakukan orang-orang Quraisy pascaperang Badar merupakan gambaran abadi bentuk permusuhan kaum kafir.

Karenanya, kaum Muslim tidak boleh tertipu dengan slogan-slogan kemanusiaan yang dipropagandakan Amerika dan sekutunya. Allah SWT telah mengisyaratkan dengan jelas bahwa musuh-musuh Islam membelanjakan hartanya untuk kaum Muslim, yaitu untuk menghalangi mereka dari jalan Allah dengan cara apa pun, termasuk memerangi dan membunuhnya.

Kita bisa lihat, dari 75 miliar dolar AS dana yang dianggarkan AS untuk perang ini, hanya 3 persen di antaranya yang dialokasikan sebagai bantuan kemanusiaan bagi warga Irak. Sementara itu, lebih dari 70 persennya untuk keperluan militer.

Ini artinya, AS menganggarkan hanya 4 dolar AS untuk tiap warga Irak per bulannya sebagai bantuan kemanusiaan. Pada saat yang sama AS menganggarkan lebih dari 2.000 dolar untuk mengebom rakyat Irak. Mereka juga berencana membangun kembali Irak yang dananya diambil dari minyak Irak sendiri, bukan dari Amerika.

Apa yang mereka lakukan di atas jelas di luar makna kemanusiaan bahkan dari kacamata Saddam Hussein sekalipun yang dicap AS sebagai ancaman bagi kemanusiaan. Itulah makar orang-orang kafir terhadap kaum Muslim.






Penghentian Permusuhan
 

 

Tiada contoh penghentian permusuhan yang terbaik sepanjang sejarah manusia, melainkan perdamaian antara Bani Aus dan Khazraj yang dilakukan Rasulullah saw. Begitu suksesnya hingga mampu mempersaudarakan orang-orang yang sebelumnya saling membunuh, sehingga jangankan terjadi pertempuran, pertengkaran pun tidak pernah lagi hingga kini.

Tanpa meniru Rasul, maka upaya menghentikan permusuhan di Aceh, atau konflik antara bangsa Kurdi, Turki, dan Arab, atau antara etnis Pushtun dengan Tajik, dan lain-lain, akan gagal dan berpotensi perang terjadi lagi, selama ada provokator kaum kafir dan munafik.

Sebelum Rasul hijrah, Bani Aus dan Khazraj telah bertempur puluhan tahun, bahkan pada Perang Bu'ats (lima tahun sebelum hijrah) semua pemimpin kedua pihak tewas (riwayat Bukhari). Di kala genting itulah, Rasul kebetulan bertemu dengan enam orang Khazraj dan Aus.

Kepada mereka Rasul mengajak beriman dan membela dakwah dengan kekuatan. Mereka langsung setuju karena ingin sekali ada perdamaian dan butuh pemersatu masyarakat. Apalagi, kaum Yahudi telah mengancam menyerang mereka. (riwayat Ibnu Hisyam).

Setahun kemudian Rasul mengutus Mush'ab bin Umair untuk membina kepribadian individu-individu Yatsrib, membentuk iklim persaudaraan, dan loyalitas hanya kepada Islam, bukan lagi kepada fanatisme kesukuan atau kekabilahan, serta memperkuat semangat dan keberanian membela agama dengan jiwa dan harta.

Tak cuma membina pikiran dan perasaan, Mush'ab juga menyuruh mereka untuk selalu shalat berjamaah, saling mengucap salam dan mendoakan kebaikan bila bersua, membantu sesama Muslim, serta mematuhi setiap perintah Rasul.

Hasilnya, ketika Rasul hijrah mereka telah siap selalu untuk membela Islam dan menolong kaum Muhajirin dengan harta, tempat tinggal, dan akses ekonomi, karena sebelumnya telah terlatih berukhuwah Islamiyah dengan bekas musuh bebuyutan.

Sebagai manusia, sesekali mereka juga tergoda bertengkar, seperti saat seorang kafir, Syas bin Qais, membangkitkan memori Perang Bu'ats. Namun, ketika Allah SWT mengkritik dengan surat Ali Imran ayat 98-103 agar mewaspadai provokasi kaum kafir serta kewajiban bersatu dalam agama Allah, mereka pun bertobat.

Sempat ada pertengkaran kecil lantaran seorang warga Khazraj, yaitu tokoh munafik Abdullah bin Ubay, memfitnah istri Rasul, Aisyah, telah serong (riwayat Muslim).

Alhamdulillah, usai berdamai atas kesalahpahaman tadi, tak pernah ada lagi permusuhan hingga anak cucu mereka hingga hari ini. Ini sungguh suatu pelajaran berharga yang harus ditiru oleh kaum Muslim yang meninginkan kemuliaan. Bersatu dalam Islam, bukan dalam isme-isme lainnya.





Penipu-penipu Agama
 
 

Abu Hurairah ra, sebagaimana diriwayatkan Muslim dan Ahmad, berkata bahwa Nabi Saw bersabda: sesungguhnya orang pertama yang akan diputuskan pada hari kiamat kelak adalah seorang yang mati syahid. Maka, dihadapkan kepada Allah dan diingatkan kepadanya akan nikmat-nikmat yang telah diberikan kepadanya, dan hal itu diakuinya. Kemudian ditanya oleh Allah, ''Lalu, apakah amalanmu dalam nikmat itu?''

Jawabnya, ''Aku telah berperang untuk-Mu hingga mati syahid.'' Maka Allah berfirman: ''Dusta kamu, tetapi kamu berperang untuk dikenal sebagai pahlawan yang gagah berani.'' Lalu ia diseret oleh malaikat dan diperintahkan untuk dilempar ke dalam neraka.

Yang kedua dihadapkan kepada Allah adalah orang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya, serta pandai membaca Alquran. Maka diberitakan tentang nikmat-nikmat yang telah ia peroleh dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ''Lalu, apakah amalanmu di dalamnya?''

Jawab orang itu: ''Aku telah belajar ilmu untuk-Mu dan mengajarkannya, serta membaca Alquran untuk-Mu.'' Allah berfirman: ''Dusta engkau, tetapi engkau belajar ilmu agar mendapat gelar alim, membaca Alquran agar mendapat gelar qari, dan engkau sudah menikmatinya di dunia.'' Kemudian diperintahkan kepada malaikat untuk mencampakkannya ke dalam neraka.

Orang yang ketiga dihadapkan kepada Allah adalah yang diluaskan rezekinya dan diberi oleh Allah berbagai kekayaan. Maka diberitakan kepadanya tentang nikmat yang telah diberikan oleh Allah kepadanya, dan ia mengakuinya. Lalu ia ditanya: ''Lantas, apakah amalanmu di dalamnya?'' Jawab orang itu: ''Tiada suatu jalan pun yang Engkau perintahkan mendermakan harta di dalamnya, melainkan telah saya dermakan harta di dalamnya untuk-Mu.''

Jawab Allah: ''Dusta engkau, tetapi engkau mendermakan harta itu agar disebut dermawan, dan telah dikenal sedemikian di dunia.'' Maka Allah kemudian memerintahkan malaikatnya untuk melemparkan orang itu ke dalam neraka. Seseorang datang bertanya kepada Rasulullah: ''Apakah yang menjadi penyelamat kelak (di hari kiamat) ya Rasulullah?''

Rasulullah menjawab: ''Jangan menipu atau mempermainkan Allah.'' Tanya orang itu lagi: ''Apa maksudnya mempermainkan atau menipu Allah ya Rasulullah?'' Jawab Rasulullah: ''Mengerjakan perintah Allah dan ajaran Rasulullah bukan bertujuan untuk mencapai ridho-Nya, tetapi untuk mencapai kepentingan-kepentingan kepada orang lain.

Karena itu berhati-hatilah kamu kepada riya, karena riya berarti syirik terhadap Allah. Orang yang riya itu pada hari kiamat kelak akan dipanggil di muka umum dengan empat nama yaitu hai kafir, hai orang yang durhaka, hai orang yang lancung, hai orang yang rugi, sia-sia saja amalanmu selama di dunia dan batal (hilang) sudah pahalamu.''





Penyayang Rakyat
 
 
 

''Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.'' (QS At-Taubah: 128).
Rasulullah saw adalah contoh manusia sempurna yang layak menjadi teladan seluruh umat manusia.

Salah satu tuntunan yang beliau contohkan adalah karakter kepemimpinan beliau yang kuat sekali. Dalam perjuangan selama 23 tahun memimpin gerakan dakwah di Makkah dan sebagai kepala negara di kota Madinah, beliau didampingi puluhan ribu sahabat setia. Beliau juga mendapatkan kesetian jutaan umat Islam di seluruh jazirah Arab.

Beliau tidak sekadar duduk di belakang meja menunggu laporan, tetapi terjun ke lapangan sehingga merasakan keprihatinan dan penderitaan umatnya. Karena sangat perhatiannya kepada umat, Sampai pada waktu sakaratul maut, beliau menyebut-nyebut, ''Umatku-umatku!''

Apa yang dilakukan Nabi itu merupakan implementasi firman Allah, ''Bersabarlah kamu bersama-sama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka karena mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini.'' (QS Al-Kahfi: 28).

Beliau mendapat beban yang sangat berat di dalam memimpin kaum Muslimin; memimpin gerakan; mengajar dan membangun kepribadian serta peradaban; dan membangun negara, pranata sosial, hukum ketatanegaraan, dan sistem pertahanan. Bahkan tidak jarang beliau memimpin sendiri patroli pasukan khusus maupun perang besar.

Namun, beliau tetap mendapatkan tugas-tugas pribadi yang berat. Beliau memimpin istri-istri yang kebanyakan adalah janda, melaksanakan kewajiban salat tahajud, dan melaksanakan puasa wishal 'terus menerus'. Dalam hal perkara sunah, beliau menjadikan hal itu bukan kewajiban, misalnta siwak, karena tidak ingin memberatkan umatnya.

Dalam hadis Bukhari Muslim diriwayatkan hadis dari Malik bin Al-Huwairits yang berkata, ''Kami tinggal bersama beliau 20 malam. Rasulullah adalah orang yang sangat penyayang, halus, lembut, dan menyenangkan. Makanya beliau mengira kami menyulitkan keluarga kami. Lalu beliau menanyai kami tentang keluarga yang kami tinggalkan.

Maka kami mengabarkannya kepada beliau. Lalu beliau bersabda, 'Kembalilah kalian kepada keluarga kalian'.'' Tentu saja kalau para pemimpin hari ini sangat sayang dan perhatian kepada rakyatnya, mereka tidak akan menderita dan krisis ini tidak akan berlarut-larut. Wallahu a'lam!





Pergaulan
 
 
 

''Tidaklah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan dari golongan mereka. Mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui. Allah telah menyediakan bagi mereka azab yang keras. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan.'' (QS Al-Mujaadilah: 14--15).

Allah Azza Waa Jalla tegas melarang hambanya berteman dengan setan karena, ''Barang siapa menjadikan setan sebagai teman, maka setan itu adalah seburuk-buruk teman.'' (QS An-Nisa: 38)

Seseorang bisa tergelincir bergaul atau berteman dengan setan dalam arti sesungguhnya. Ia dengan sadar menjadikan setan sebagai pelindung, penolong, dan pendamping, serta pemberi kekuatan.

Pertemanan dengan setan bisa juga dalam wujud lain, yakni bergaul dengan mereka yang memperturutkan hawa nafsunya, gemar berbuat maksiat, dan hanya sibuk dengan urusan dunia semata selama hidup.

Ketidakhati-hatian dalam memilih teman akan menimbulkan akibat yang tidak sepele. Bertapa tidak! Seseorang itu, demikian sabda Rasulullah saw, akan mengikuti perilaku sahabat karibnya.

Oleh karena itu, hendaknya seseorang memperhatikan orang yang harus dipergaulinya. Teman yang tidak baik adalah ''virus keempat'' setelah kelalaian menjaga pandangan, lisan, dan perut yang bisa merusak hati, bahkan merusak segalanya.

Ini akan berbeda dengan orang yang bergaul dengan mereka yang dekat dengan Allah. Pergaulan semacam ini akan senantiasa diwarnai tawashau bil haqqi wa tawashau bishshabr.

Mereka akan selalu berupaya saling tolong serta berharap teman-temannya menjadi baik dan semakin baik. Mereka tidak saling memosisikan diri menjadi beban satu sama lain, tetapi justru ingin saling meringankan. Mereka akan selalu berusaha agar sahabatnya semakin mulia dan semakin selamat di sisi Allah.

Oleh karena itu, berhati-hatilah terhadap lingkungan pergaulan. Jika saat ini kita tengah berada dalam lingkungan pergaulan yang sangat kotor dan buruk, mari segera kita tinggalkan. Mari kita hindari orang-orang lalai. Mari kita ingatkan mereka untuk menuju ke kebenaran.

Inagt, barang siapa bergaul dengan pandai besi, niscaya akan ikut bau bakaran, bahkan bukan tidak mungkin akan ikut terbakar sekalian. Akan tetapi, barang siapa bergaul dengan penjual minyak wangi, maka tidak bisa tidak, ia akan terpapar bau harum.

Salah memilih pergaulan berarti kita siap menyiksa dan membinasakan diri. Sebaliknya, bila bergaul dengan orang-orang taat, saleh, berakhlak mulia, dan jernih hatinya, maka kita akan memiliki sikap serupa.





Perlunya Otokritik
 
 

Seorang pemuda datang menghadap Nabi Muhammad Saw. Katanya, ''Wahai Rasulullah, izinkan aku berzina.'' Para sahabat kaget. Serentak pandangan mereka tertuju ke arah pemuda tadi, seraya mencaci kelancangan perkataannya. Nabi hanya berkata, ''Dekatkanlah ia.''

Setelah mendekat, pemuda itu duduk dan Nabi pun mengajukan pertanyaan, ''Sukakah engkau jika yang dizinai itu adalah ibumu.''
''Tidak, demi Allah lebih baik aku menjadi tebusanmu,'' jawab pemuda itu.
''Kalau begitu, orang juga pasti tak suka ibunya diperlakukan seperti itu,'' komentar Nabi pendek. ''Bagaimana jika yang dizinai itu anakmu,'' tanya beliau kemudian.

''Tidak, demi Allah lebih baik aku menjadi tebusanmu,'' jawab sang pemuda.

Nabi pun menimpali, ''Kalau begitu, orang lain pun tak akan senang anak perempuannya dizinai.''

Beberapa pertanyaan senada terus dilontarkan Nabi. Beliau hanya ingin mengetahui apakah si pemuda itu rela jika yang dihinakan itu adalah saudari kandung atau bibinya sendiri. Namun, setiap kali pertanyaan itu didengarnya, tak ada yang bisa dilakukan sang pemuda kecuali menyerah di hadapan kejujuran nuraninya. Untuk setiap pertanyaan itu ia memberikan jawaban, ''Tidak, lebih baik aku menjadi tebusanmu.''

Setiap sang pemuda memberi jawaban, Nabi selalu memberikan komentar yang sama.

Inti dari hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad di atas menyiratkan pesan otokritik bagi setiap kita. Di sini Rasulullah mengajarkan satu sikap efektif yang harus dimiliki setiap Muslim. Beliau mengingatkan tentang pentingnya empati dalam dinamika kehidupan bersosial. Empati yang dimaksud adalah berbaurnya hati dan pikiran dengan apa yang dirasakan oleh orang lain. Dalam tataran inilah Nabi menekankan bahwa empati memiliki fungsi ganda yang sangat strategis: mendorong berbuat kebajikan dan mencegah berbuat zalim.

Zina adalah perbuatan amoral yang dilarang agama. Karena, dampak negatif yang ditimbulkannya sangat besar, maka syariat mengkategorikan zina ke dalam tindakan kriminal yang diancam hukuman berat bagi para pelakunya.

Walau demikian, zina hanyalah satu dari sekian bentuk perbuatan haram yang kerap kali kita temukan di tengah masyarakat. Pembunuhan, penipuan, korupsi, dan sebagainya adalah perbuatan zalim sejenis zina. Ia tidak saja menjerumuskan individu pelakunya pada kesengsaraan dan kehinaan di dunia dan akhirat, tapi juga berdampak negatif bagi kenyamanan orang lain: merampas ketenteraman dan mengganggu kesejahteraan mereka.

Muslim yang baik adalah yang memiliki empati tinggi. Ia akan selalu berusaha memahami sebelum dipahami orang lain. Setiap kali hatinya tersakiti segera nuraninya akan berkata, ''Betapa sakit orang lain jika mendapat perlakuan seperti itu dari diriku.''





Perumpamaan Dunia
 
 

Dalam kitab Irsyadul 'Ibad, Allaits meriwayatkan dari Jarir berkata: "Seseorang datang kepada Nabi Isa AS dan berkata, 'Saya ingin bersahabat dengan Anda dan selalu bersamamu'. Maka berjalanlah keduanya di tepi sungai dan makanlah keduanya, mereka memakan tiga potong roti.

Nabi Isa AS satu potong, dan satu potong untuk orang itu, dan sisanya satu potong. Kemudian Nabi Isa AS pergi minum ke sungai. Saat kembali ia tak menemukan satu potong roti sisanya di tempatnya, lalu ditanyakan kepada orang itu: 'Siapakah yang mengambil satu potong roti itu?' Jawab orang itu: 'Tidak tahu'. Maka Nabi Isa AS mendiamkannya dan berjalanlah kembali keduanya.

Tiba-tiba mereka melihat rusa dengan kedua anaknya, lalu dipanggil oleh Nabi Isa AS satu anak rusa itu dan disembelih kemudian dibakar dan dimakan berdua. Nabi Isa AS kemudian menyuruh anak rusa yang telah dimakan itu supaya hidup kembali, maka dengan izin Allah anak rusa itu hidup kembali. Lalu Nabi Isa AS bertanya:

'Demi Allah yang memperlihatkan bukti kekuasaan-Nya padamu, siapakah yang mengambil sepotong roti itu?' Jawab orang itu: 'Tidak tahu.' Kemudian mereka berdua melanjutkan perjalanan hingga sampai ke tepi sungai, lalu Nabi Isa AS memegang tangan orang itu, dan mengajaknya berjalan di atas air hingga keduanya sampai di seberang.

Nabi Isa as kemudian bertanya: 'Demi Allah yang memperlihatkan bukti ini, siapakah yang mengambil roti itu?' Jawab orang itu seperti semula: 'Tidak tahu!' Ketika perjalanan keduanya telah tiba di hutan dan saat duduk berdua, Nabi Isa AS mengambil tanah atau kerikil lalu diperintah: 'Jadilah emas dengan izin Allah'.

Maka tanah atau kerikil tadi menjadi emas, kemudian dibagi menjadi tiga bagian oleh Nabi Isa AS, dan beliau berkata: 'Untukku sepertiga, dan untukmu sepertiga, dan sepertiga lagi untuk orang yang mengambil roti.' Maka orang itu berkata: 'Akulah yang mengambil roti itu.' Nabi Isa AS menimpali: 'Maka ambillah semuanya untukmu.' Kemudian keduanya berpisah.

Orang itu beberapa saat kemudian didatangi oleh dua orang yang akan merampoknya. Namun orang itu berkata: 'Labih baik harta ini kita bagi tiga saja, bagaimana?' Kedua orang yang akan merampok orang itu setuju, lalu menyuruh salah seorang dari mereka untuk pergi ke pasar berbelanja makanan. Timbul perasaan dalam hati orang yang berbelanja itu: 'Untuk apa emas itu dibagi tiga, lebih baik makanan ini saya racuni agar keduanya mati.' Maka diberi racunlah makanan itu.

Namun kedua orang yang tinggal menunggu makanan pun merencanakan sesuatu untuk membunuh orang yang pergi berbelanja dan emas tersebut dibagi di antara mereka berdua. Maka, saat orang yang pergi berbelanja itu datang, segera saja dibunuh oleh kedua orang temannya, lalu emas tersebut dibagi di antara mereka berdua.

Karena lelah, dan lapar lalu mereka memakan makanan yang dibawa oleh orang yang pergi berbelanja tersebut yang telah diberi racun. Maka tidak berapa lama kemudian, matilah keduanya. Tinggallah emas itu di hutan dan disekitarnya tiga bangkai manusia. Ketika Nabi Isa AS kembali dalam perjalanan pulang dan melewati hutan itu, dan menyaksikan kejadian itu, maka ia berkata kepada para pengikutnya: 'Inilah gambaran dunia, maka berhati-hatilah kamu sekalian dari akibat yang ditimbulkannya.'



Pribadi Menawan
 
 

''Jadilah kamu seperti pohon; manusia melemparinya dengan batu, sedang dia melempari mereka dengan buah,'' kata Hasan Al-Banna.
Pesan pendiri Ikhwanul Muslimin itu sebenarnya diarahkan untuk para dai agar legowo dalam menghadapi tindakan menyakitkan dari orang-orang jahil, yakni dengan tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa, seraya berlapang dada, mengharapkan pahala Allah, dan memohonkan ampunan bagi kaum yang tidak mengerti itu.

Namun, di sisi lain, ujaran itu juga berisi anjuran agar kita rela menolong dan berkorban demi kepentingan orang lain, seperih apa pun kondisi yang kita hadapi. Sebab, ketika arus materialisme, egoisme, dan individualisme telah menyergap banyak sisi kehidupan, orang menjadi begitu pelit untuk menanamkan kebajikan pada sesama.

Berkhidmat dan berkorban pada orang lain menjadi teramat mahal dan sangat langka. Perilaku demikian bukan hanya terhadap orang asing, bahkan pada orang yang dikenal pun sikap serupa kerap terjadi. Jiwa sosial telah redup.

Gotong royong yang merupakan budaya asli bangsa ini seakan telah kehilangan relevansinya. Sebagai gantinya adalah penyorongan kepentingan individu yang berlebihan, nyaris terjadi pada semua lini kehidupan.

Gaya hidup demikian bukan hanya monopoli orang-orang kota, tetapi juga sudah mulai merangsek ke desa-desa. Kerutinan kerja yang melelahkan cukup ampuh dalam menciptakan manusia robot, yang tidak mau menyisihkan waktu sedikit pun untuk bersosialisasi dengan sesama agar bisa meresapi makna kebersamaan dan persaudaraan.

Dalam kondisi seperti itu, orang-orang egois yang menyebalkan meruyak di mana-mana. Namun, sulit sekali menemukan pribadi menawan yang rela berkorban pada sesama dengan tanpa pamrih, semua orang bisa memetik manfaat dan jasa darinya. Oleh karena itu, kehadirannya menjadi pemanis dan penghibur.

Ketiadaannya menjadikan kerinduan orang lain, ia senantiasa dinanti-nantikan, dan kepergiannya selalu dikenang. Inilah pribadi ideal yang pernah disinggung Nabi, ''Sebaik-baik manusia adalah yang paling banyak memberikan manfaat bagi manusia lainnya.'' (al-Jami' as-Sagir).

Jika jemu dan jijik pada orang yang individualis dan tidak mau memberikan manfaat pada sesama, maka dalam konteks inilah kita bisa memahami desakan mahasiswa agar pemimpin kita mundur. Sebab, mungkin tidak banyak manfaat yang bisa dirasakan oleh rakyat. Selanjutnya, di pundak kita semua tergantung beban untuk mewujudkan pemimpin yang menawan, yang mampu mengemban amanat untuk memberikan rahmat bagi alam.






Prinsip-prinsip Sosial
 
 

Islam mengajarkan bahwa nilai manusia tergantung pada kebersihan hati serta kontribusi amalnya yang bermanfaat bagi sesama. Rasulullah SAW bersabda, ''Allah tak memandang bentuk dan harta kekayaanmu, tetapi memandang hati dan bekas amalmu.'' (HR Muslim).

Dalam hadis lain dinyatakan, ''Siapa yang diperlambat oleh amalnya, tidak akan dipercepat oleh nasabnya (asal-usul keturunannya).'' (HR Muslim).

Oleh karena itu, misi hidup seorang Muslim setelah menunaikan hak Khaliq (Penciptanya) melaksanakan ibadah mahdhah (ibadah formal) adalah menunaikan kewajiban kepada sesama manusia, atau yang disebut muamalah. Ibadah tidak sempurna tanpa muamalah.

Seorang Muslim yang baik bercita-cita agar hidupnya bermanfaat bagi orang lain sebagai manifestasi rasa syukur atas nikmat Ilahi. Pengertian syukur nikmat, menurut Syekh Muhammad Abduh (1849-1905), ialah menggunakan nikmat tersebut menurut kehendak pemberi nikmat, yakni Allah SWT.

Ketika Rasulullah SAW ditanya, ''Siapakah manusia yang paling baik?'' beliau menjawab, ''Manusia yang sanggup memberi manfaat kepada sesamanya.'' Selanjutnya ditanya, ''Amal apa yang paling utama?'' Beliau menjawab, ''Memasukkan rasa bahagia pada hati orang yang beriman.'' (HR Thabrani).

Dalam riwayat lain Rasulullah bersabda, ''Allah tidak akan menyayangi siapa yang tidak sayang kepada sesamanya.'' (HR Bukhari-Muslim). ''Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, belum beriman seseorang kamu, sampai ia mencintai saudaranya (sesama Muslim) seperti ia mencintai dirinya sendiri.'' (HR Bukhari-Muslim).

Dalam kaitan ini setiap Muslim harus berupaya agar selalu dapat melakukan amal-amal kebaikan yang memancarkan nilai manfaat dalam kehidupan ini, betapapun kecilnya amal kebaikan itu, baik yang menyangkut fardhu ain maupun fardhu kifayah. Islam mengajarkan bahwa setiap kelebihan yang dimiliki seseorang, membawa konsekuensi kelebihan dalam kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi terhadap sesama.

Setiap Muslim juga diingatkan bahwa dosa melalaikan hak Allah dapat dihapus dengan melakukan tobat. Tapi, dosa menyakiti sesama dalam pergaulan atau mengambil hak-hak orang lain secara tidak sah tak dapat diampuni kalau tidak dimaafkan oleh yang bersangkutan.

Lebih jauh Islam menggariskan etika dan prinsip-prinsip sosial sebagaimana dikemukakan oleh almarhum Prof Dr Ahmad Syalaby, guru besar Cairo University dalam bukunya Masyarakat Islam hlm 267-272, yakni: seorang Muslim tak boleh memandang hina terhadap orang lain, seorang Muslim tak boleh buruk sangka dan tak boleh mengintai-intai kesalahan orang, Islam menyeru kepada persatuan, Islam menyerukan agar membayarkan amanat dan menepati janji, Islam melarang hasad (iri hati), Islam melarang takabur dan sombong, Islam melarang seorang Muslim mencari aib orang lain, Islam menyuruh berlaku adil dan membenci penganiayaan, Islam membenci penyuapan, Islam membenci kesaksian palsu, Islam memperteguh tali silaturahim, Islam menyeru kepada ilmu pengetahuan, Islam mewasiatkan agar orang baik dengan tetangganya, dan Islam menyerukan agar orang tolong-menolong serta mementingkan orang lain.



Rahasia Istighfar
 
 

Istigfar artinya mohon ampun kepada Allah atas segala dosa dan berjanji untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa. Istigfar adalah ungkapan tobat seorang hamba, komitmen untuk menjauhi segala larangan Allah dan menaati segala perintah-Nya.

Istigfar adalah pembersihan diri seorang hamba, untuk kemudian mendengarkan seruan fitrah, dan menjalani kebaikan yang melahirkan kesejahteraan. Dalam QS 71: 10--12 Allah berfirman, ''Maka Aku katakan kepada mereka: Mohonlah ampun kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia adalah Maha-Pengampun. Niscaya Dia akan menurunkan kepadamu hujan lebat, dan membanyakkan harta, anak-anak, dan mengadakan untukmu kebun-kebun, serta mengadakan untukmu sungai-sungai.''

Imam Al-Qurtubi mengatakan ayat ini menunjukkan bahwa istigfar merupakan salah satu sebab untuk datangnya rezeki dan hujan. Imam Ibn Kasir ketika menafsirkan ayat ini mengatakan, ''Jika kalian bertobat kepada Allah, minta ampunan-Nya dan menaati-Nya, niscaya akan dibuka jalan rezeki, dan akan mengalir air yang membawa keberkahan dari langit, dan menumbuhkan dari bumi segala keberkahannya, berupa tanam-tanaman, serta menyuburkan air susu ibu, pun akan dianugerahkan kepada mereka harta dan anak-anak, kebun-kebun yang subur dengan segala macam buah-buahan, di tengah-tengahnya mengalir air yang tidak pernah berhenti.''

Diriwayatkan bahwa Umar bin Khatab RA, ketika minta hujan, hanya mengulang-ulang bacaan istigfar. Ketika ditanya, mengapa hanya membaca istigfar, sedangkan maksudnya minta hujan? Umar menjawab dengan membacakan ayat tersebut di atas. Imam Hasan Al-Bashri, setiap kali datang kepadanya orang-orang mengeluh karena kefakiran, tidak adanya lapangan kerja, dan kesulitan untuk mendapatkan keturunan, ia menjawab dengan anjuran memperbanyak istigfar.

Seorang ahli hikmah, Al-Hasan al Jadubah--sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Qurthubi dari Ibn Subih--mengatakan bahwa bila datang kepadanya seorang mengeluh karena sengsara, ia hanya menjawab, ''istaghfirillah''. Datang lagi yang lain mengeluh karena kelaparan, kemiskinan, dan kefakiran; ia hanya menjawab, ''istghfirillah.''

Datang lagi yang lain, minta kepadanya supaya mendoakan agar dikaruniai anak, ia hanya menjawab, ''istagfirillah.'' Datang yang lain lagi mengeluh karena kemarau panjang yang menyebabkan kegersangan kebunnya, ia hanya menjawab, ''istaghfirllah.'' Ketika ditanya mengapa jawabannya tidak lebih dari istigfar, Al-Jadubah menjawab, ''Saya tidak mengarang sendiri, ini adalah petunjuk dari Allah.''

Demikian agungnya istigfar. Sebuah langkah yang selama ini selalu kita abaikan dalam mencari jalan keluar dari berbagai krisis yang kita hadapi.





Reduksi Akidah
 
 

''Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka dapat mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup. Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat. Mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.'' (QS Al-Baqarah: 217).

Kaum Muslim dituntut memegang prinsip hidup sebagai Muslim sampai akhir hayat (QS Ali Imran: 102). Islam menjelaskan bahwa meninggalkan Islam (murtad) merupakan suatu kecelakaan yang paling fatal dalam kehidupan seseorang. Dalam sebuah hadis, Rasulullah saw juga sangat tegas dalam mengimplementasikan ayat tersebut di atas.

Beliau bersabda, ''Siapa saja yang mengganti agama Islamnya, maka bunuhlah dia.'' Islam menghendaki seluruh kaum muslimin, baik secara personal maupun komunal, untuk hidup berislam secara menyeluruh (kaffah). Allah berfirman, ''Hai orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara menyeluruh, dan janganlah kamu turut langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.'' (QS Al- Baqarah: 208).

Penolakan terhadap Islam, atau ayat-ayat Allah sedikit saja, akan menodai keimanan seorang Muslim. Alquran memvonis mereka yang beriman kepada sebagian kitab dan kufur pada sebagian yang lain itu sebagai kekufuran yang hakiki (Lihat QS An-Nisa: 150--151). Oleh karena itu, menjaga keutuhan keselamatan akidah bagi kaum muslimin, baik secara personal maupun komunal, adalah kewajiban asasi.

Alquran mengajarkan agar kita senantiasa waspada terhadap adanya usaha yang dilakukan orang-orang yang menginginkan kita murtad atau paling tidak tereduksi akidah kita. Mereka melakukan berbagai cara agar akidah umat Islam goyang, seperti dengan pemberian sembako, pelayanan medis gratis, pemberian bantuan keuangan untuk anak asuh.

Serangan juga diarahkan untuk memjokkan ajaran-ajaran Islam melalui media dan agen-agen mereka. Misalnya, tentang hukum waris, posisi pria sebagai kepala rumah tangga, gender, poligami, dan lainnya.

Mereka secara terus menerus berusaha mereduksi akidah umat dengan memalingkan generasi umat Islam dari Alquran. Berbagai ''kesibukan'' baru, seperti musik, olah raga, permainan, alkohol, pergaulan bebas, dan narkoba dimunculkan sehingga generasi penerus ini terlena dari ajarannya.

Mereka menggambarkan Islam sebagai ibadah ritual dan petuah-petuah kiai yang membosankan. Akibatnya, generasi umat ini pun bisa pesimis dan apatis terhadap akidah Islam. Inilah yang harus kita waspadai dan harus menjadi keprihatinan bersama. Saatnya kita bersatu untuk membentengi akidah umat ini dari segala macam reduksi dan pemurtadan. Semoga Allah bersama kita!





Sang Pendidik
 
 

Dengan penuh perhatian, didengarnya untaian kalimat hikmah yang meluncur dari sosok mulia itu, ''Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman besar.'' Maka Alquran merekam majelis pengajaran Lukman pada putranya, dalam surat ke 31, ayat 13. Sang pendidik bijak itu memberikan teladan pada kita bahwa penanaman aqidah Islam merupakan pendidikan pertama yang harus diberikan pada anak-anak Muslim.

Anak adalah penerus generasi. Di tangannya tergenggam masa depan umat manusia, yang warnanya bergantung pada macam pendidikan yang diberikan pada mereka. Sang pendidik agung lainnya, Rasulullah SAW menegaskan, ''Setiap anak terlahir suci, orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani, atau Majusi.

'' Maka, setelah fondasi keimanan yang kuat, kekokohan diri anak harus dibangun dengan polesan akhlak mulia dan peribadahan kepada Sang Pencipta. Jika metode ini dilakukan, niscaya akan lahir generasi model Nabi Ismail, yang saat akan disembelih ayahnya berkata dengan mantap, ''Wahai ayah, kerjakanlah yang telah diperintahkan Allah kepadamu'', bukan generasi yang akrab dengan narkoba, durhaka pada orang tua, bergaul tanpa batas, dan hura-hura.

Sejak Rasulullah SAW mendirikan negara Islam di Madinah, perhatian kepada pendidikan agama ini menjadi perhatian utama. Beliau tidak memisahkan pendidikan agama dengan ilmu pengetahuan umum karena pada hakikatnya tujuan pendidikan adalah untuk pengagungan dan ketaatan pada Allah. Ilmu dipelajari untuk menemukan keteraturan sistem, hubungan kausalitas, dan tujuan alam semesta, yang semuanya diambil manfaatnya dalam rangka ibadah pada Allah.

Metode ini juga diterapkan pada siswa-siswa non-Muslim, tentunya dengan tetap menghormati pilihan aqidah dan peribadatan mereka. Sejarah mencatat bahwa pendidikan bukan sekular tersebut telah melahirkan peradaban yang luar biasa majunya. Sementara itu, di saat yang sama, Eropa yang mulai memakai pendidikan sekular justru tenggelam dalam kebodohan dan kegelapan.

Tidak mengherankan, ketika Amr bin Ash menaklukkan Mesir dari penguasaan Romawi Kristen, penduduk Koptik yang Kristen justru membantu pasukan Islam. Mereka paham akan penjagaan jiwa dan harta mereka oleh pemerintahan Islam.

Mereka juga yakin atas prospek kemajuan masa depan mereka dengan metode pendidikan Islam. Yang mengherankan adalah munculnya keinginan untuk memisahkan pendidikan agama dan keilmuan yang marak saat ini. Padahal, abad pertengahan Eropa telah membuktikan kegagalannya. Wallahu a'lam bish-shawab.





Sayang Kepada Makhluk
 
 
 

Pada suatu malam, ulama besar Imam Al-Ghazali bermimpi berdialog dengan Allah SWT. ''Dengan modal apa kamu datang menghadap-Ku,'' tanya Allah kepada Al-Ghazali. Lalu, Al-Ghazali dengan penuh percaya diri menyebutkan satu per satu amal bajik yang ia lakukan sepanjang hayatnya.

''Aku tidak menerima deretan amal bajikmu itu. Aku hanya mau menerima satu amalmu, yakni ketika kamu sedang menulis, seekor lalat masuk ke dalam tinta penamu untuk minum darinya. Lalu, kamu tinggalkan aktivitas menulismu itu sampai lalat itu mereguk puas tinta penamu,'' firman Allah.

Demikianlah penggalan kisah yang dituturkan secara apik oleh Muhammad Nawawi ibn Umar al-Jawi dalam kitabnya, Nashaih al-'Ibad. Kisah di atas mengajarkan kepada kita bahwa seorang hamba hanya akan diterima amal ibadahnya, bila ia sudah mampu mengejawantahkan rasa kasih dan sayangnya kepada semua makhluk. Betapapun kecil nilai makhluk tersebut. Bukankah seekor lalat sangat kecil nilainya bagi manusia dibandingkan dengan haji ke Mekah bagi yang berkemampuan?

Kasih sayang, rahmah, adalah cermin ketauhidan dan keimanan diri seseorang. Tauhid dan iman belum diakui Allah bila hati kita belum mampu memancarkan cahaya welas asih, asah-asuh kepada sesama makhluk, utamanya sesama manusia. Ia juga kunci keselamatan diri seseorang dari jilatan api neraka dan 'jalan tol' menuju surga yang didamba tiap hamba. Bukankah Rasulullah pernah memberi nasihat, ''Tidaklah beriman salah seorang di antara kamu, hingga ia betul-betul mencintai saudaranya seperti terhadap dirinya sendiri.''

Mungkin, saat ini pancaran cahaya putih welas asih kita sudah mulai meredup, atau bahkan padam. Anak-anak telantar di jalan kita biarkan, hutan rimba jadi rebutan perusakan, satwa langka jadi sasaran perburuan, jernihnya sungai kita keruhkan, indahnya panorama pantai kita kacaukan. Sehingga, kita saksikan lalu lintas hubungan antarmakhluk yang sedang macet, kacau, dan ricuh. Masing-masing berebut saling mendahului untuk kepentingan individualistiknya dalam mengeksploitasi alam dan lingkungan hidup. Sampai kapan kita akan tetap berperilaku demikian?

Hidup adalah satu kesatuan ekosistem. Kedudukan sistem, unsur yang satu dan lainnya saling bergantung, melengkapi dan menyempurnakan. Kehidupan manusia akan harmonis bila ia mau harmonis dengan alam dan makhluk lainnya. Tetapi, jika manusia berperilaku bengis terhadapnya, maka tunggulah saat-saat kehancuran. Di sinilah mengapa kasih dan cinta kita kepada seluruh makhluk sangat mutlak diperlukan.

Alquran surat al-Rum 41 sudah mengingatkan bahwa kerusakan ekosistem disebabkan ulah manusia yang tak punya mata batin kasih dan cinta kepada makhluk. Semoga kita segera sadar.






Sedekah Orang Miskin
 
 

Suatu hari sejumlah sahabat yang tergolong hidup miskin mendatangi Nabi Muhammad Saw. Mereka mengadukan sesuatu kepada beliau. Kata mereka, ''Orang-orang kaya telah banyak membawa pahala. Mereka shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, tetapi mereka bersedekah dengan kelebihan dan keunggulan harta mereka.''

Mendengar keluhan mereka, Rasulullah Saw pun berasabda, ''Bukankah Allah telah menjadikan buat kamu sekalian sesuatu yang kalian bisa bersedekah dengannya? Sesungguhnya setiap bacaan tasbih adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, dan setiap tahlil adalah sedekah. Menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan pada kemaluan seseorang di antara kamu pun adalah sedekah.''

Mereka bertanya, ''Wahai Rasulullah, andaikan seseorang di antara kami menyalurkan syahwatnya (pada yang halal), apakah padanya ada pahala?''
Nabi Saw menjawab, ''Bagaimana pendapat kalian, jika ia menempatkan (menyalurkan) syahwatnya pada yang haram, apakah baginya ada dosa? Demikian pula jika ia menyalurkan syahwatnya pada yang halal, pasti akan ada pahala baginya.''(HR Muslim dari Abu Dzar).

Di antara keistimewaan generasi sahabat Rasulullah adalah dalam hal berlomba-lomba untuk meraih kebaikan atau pahala. Mereka berpacu untuk mendapatkan keutamaan dari Allah SWT dan menjauhi murka-Nya. Ini dilakukan semua kalangan, bukan hanya orang-orang kaya, tapi kalangan fakir miskin dan pejabat.

Nabi Saw menggambarkan makna luas dari sedekah. Kata beliau, bila sedekah tidak mampu diaplikasikan dengan bentuk harta, maka bisa berzikir, tahmid, dan meletakkan sesuatu pada tempat yang halal. Zikir bisa bermakna bahwa bagaimanapun juga keberadaan kita, pasti telah banyak anugerah yang diberikan Allah. Dan, kita harus meyakini bahwa keberadaan kita adalah yang terbaik dalam pandangan Allah SWT. Karena itu, kita harus menyebut nama-Nya sebagai tanda syukur.

Takbir adalah sebagai ungkapan menyakini kebesaran Allah dalam menentukan segala keadaan dan kelemahan kita menentukan apa yang terjadi. Ini juga mengajarkan orang kaya tidak seharusnya sombong, karena semua adalah karunia-Nya. Tahlil bermakna bahwa dalam keadaan apa pun (kaya atau miskin) kita tetap menyadari bahwa tiada tuhan selain Allah yang Maha Esa.

Selain itu, meletakkan sarana pemberian Allah pada tempatnya yang halal merupakan jenis sedekah yang paling ringan. Karena, meletakkannya pada yang haram bermakna merusak karunia-Nya dan merugikan orang lain. Dengan demikian, kita tidak perlu berputus-asa dalam bersedekah. Sedekah bisa dengan harta, bisa dengan zikir, tahmid, dan bahkan sekadar ucapan baik.





Sesal Kita dan Sesal Mereka
 
 

Pada pertempuran Hudaibiyah, kaum muslimin berazam mengunjungi Rumah Allah dengan penuh kerinduan. Tiba-tiba di tengah perjalanan, kafilah mereka dihadang oleh kaum kafir musyrik. Kemudian, Nabi membuat pakta perjanjian dengan mereka. Sehingga batal-lah niat mereka ziarah ke Ka'bah. Tak pelak, tindakan Nabi ini menimbulkan protes dan kegemparan di kalangan sahabat.

Umar bin Khatab menemui Rasulullah dan mengajukan protes, ''Bukankah kita berada di pihak yang benar sedangkan musuh kita berada di pihak yang salah?'' Nabi pun menjawab, ''Kamu benar.''
Kata Umar, ''Mengapa engkau biarkan mereka seenaknya menghina dan meremehkan agama kita?'' Nabi SAW menjawab, ''Sesungguhnya aku adalah Rasulullah. Aku tidak berani durhaka kepada Allah. Dan Dialah penolongku.''
Kemudian Umar menimpali, ''Tetapi, bukankah engkau telah mengatakan kepada kami bahwa kita akan mengunjungi Ka'bah untuk thawaf?'' Lalu Nabi SAW bersabda, ''Betul memang, tapi perlu aku katakan kepadamu bahwa hal itu akan kita tunaikan tahun depan saja.''
Umar protes, ''Tidak.'' Nabi kembali bersabda, ''Percayalah kamu akan mengunjungi Baitullah dan berthawaf di sana.'' Merasa tidak mendapat jawaban yang memuaskan, Umar menemui Abu Bakar. Namun ketika ia bertanya kepada Abu Bakar, ia mendapatkan jawaban yang sama sebagaimana jawaban Rasulullah. (HR. Bukhari Muslim).

Setelah peristiwa itu, Umar merasa berdosa besar meski Rasulullah telah memaafkannya. Untuk menghapus dosanya itu, beliau kemudian banyak beramal saleh. Seperti yang beliau tuturkan sendiri kepada Abu Ishak, ''Setelah peristiwa tersebut, lalu aku bersedekah, berpuasa, shalat, membebaskan budak, dan berbuat kebajikan apa saja yang dapat dilakukan pada waktu itu.''

Riwayat di atas memberi kita pelajaran berharga bahwa sekecil apa pun dosa yang dilakukan para sahabat selalu disusul dengan penyesalan, tetesan air mata, dan taubat. Meskipun, bisa jadi, apa yang mereka lakukan bukanlah perbuatan dosa dan kemaksiatan, sebagaimana pertanyaan kritis Umar kepada Rasulullah dalam kisah di atas. Sebab di mata mereka, dosa tersebut seakan-akan gunung besar yang siap ditimpakan kepada mereka.

Berbeda dengan generasi kita saat ini. Dosa sebesar gunung, seluas samudera pun dianggap sekecil atom dan sesempit daun kelor. Praktik manipulasi, kolusi, dan korupsi menjadi adegan lumrah di pentas politik negeri. Sikap mau menang sendiri, sok kuasa menjadi adagium popular anak negeri. Fenomena pornografi dan pornoaksi menjadi tontonan dan tuntunan lumrah dan murah. Semuanya dianggap bukan apa-apa, apalagi dosa.

Betapa terpampang jelas di mata kita jurang lebar nan dalam, kesalehan generasi para sahabat dengan kesalahan generasi saat ini. Saatnya kita merenung, betapa mata batin kita telah tertutupi daki-debu duniawi, terlumuri nafsu syahwat-hewani. Wallahu a'lam bi al-shawab





Sikap Prajurit
 

 

''Ya Rabbi, jika tidak terhalang oleh lautan dan samudra yang terbentang luas di hadapanku ini, maka aku akan menerobos seluruh daratan untuk berjuang di jalan-Mu.''

Itulah perkataan Uqbah bin Nafi', seorang panglima tinggi tentara Islam ketika pasukannya sampai di pantai lautan Atlantik. Keberanian dan kehebatannya dibingkai oleh kesadaran akan hubungan dirinya dengan Allah, cermin bagi setiap panglima dan prajurit.

Setelah berhasil menaklukan Tunisia di Afrika Utara melalui pertempuran dahsyat yang melibatkan adu kehebatan strategi dan taktik militer, Uqbah bin Nafi' memerintahkan kepada pasukan zeninya untuk membangun sebuah kota di sana. Akan tetapi, daerah tersebut ditumbuhi alang-alang yang lebat lagi tinggi dan di dalamnya hidup berbagai binatang buas seperti singa, serigala, dan ular. Sejenak pasukannya tertahan dan menunggu perintah dari sang panglima.

Lalu, Uqbah bin Nafi' berdiri di tepi padang alang-alang seraya berkata, ''Hai jamaah singa, serigala, ular, dan semua hewan yang ada di daerah ini. Kami adalah para sahabat Rasulullah Saw. Kami akan membangun sebuah kota di daerah ini. Kami berharap kalian segera meninggalkan daerah ini dengan aman dan damai. Kalau kalian tidak mau, jangan salahkan kami bila bertindak dengan kekerasan.''

Tidak lama kemudian, binatang-binatang itu keluar dari tempat persembunyiannya dan berhijrah ke tempat lain. Beberapa orang prajurit mengusulkan kepada Uqbah bin Nafi', ''Wahai Panglima, bagaimana kalau kami bunuh saja binatang-binatang yang sedang pindah tempat itu?''

Dengan nada marah Uqbah bin Nafi' menjawab, ''Kalau kita membunuh mereka berarti kita telah melanggar janji kita kepada Allah Taala! Bukankah kita sudah memberikan keamanan dan kedamaian kepada binatang-bintang itu? Mengapa kita melanggar janji kita sendiri?''

Suasana pertempuran, sedikit banyak menyisakan trauma yang dapat menggoyahkan emosi prajurit. Akibatnya, hal-hal yang fatal dapat dengan mudah terjadi, seperti pembunuhan warga sipil, pemerkosaan, pembakaran rumah dan sekolah, hingga binatang-binatang yang tak berdosa pun menjadi korban.

Berusaha memiliki pengetahuan kemiliteran yang tinggi serta keahlian dalam merancang strategi dan sasaran tempur adalah suatu keharusan bagi prajurit, tapi itu belum mencukupi bagi seorang prajurit Muslim.

Prajurit Muslim juga harus berusaha menjalankan ajaran agama untuk meningkatkan kesadaran hubungannya kepada Allah, antara lain, tidak melampaui batas dan berbuat baik kepada sesama. Sabda Rasulullah Saw, ''Siapa saja yang dikehendaki kebaikan oleh Allah, maka niscaya Dia akan menjadikannya ahli dalam urusan agama.'' (HR. Bukhari-Muslim).




Shalat dan Kesalehan Sosial
 
 

Hikmah terbesar dari peristiwa Isra dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW adalah umatnya diperintahkan untuk melaksanakan shalat lima waktu. Langsungnya perintah shalat tersebut menandakan kedudukan shalat sangat penting dalam kehidupan umat. Mendirikan shalat tidak sekadar menggugurkan kewajiban. Tetapi, lebih dari itu. Shalat merupakan kebutuhan. Shalat merupakan saat terbaik hubungan transendental secara langsung antara makhluk dan penciptanya (khaliq).

Bahkan, Rasulullah dalam suatu riwayat menegaskan bahwa shalat merupakan tiang agama. Dan, barang siapa yang mendirikannya berarti ia mendirikan agamanya. Sebaliknya, orang yang meninggalkannya berarti ia merusak agamanya.

Pentingnya shalat, Allah tegaskan dalam firman-Nya: Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al-Kitab (Alquran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS 29: 45).

Pada ayat tersebut tergambar dengan jelas bahwa shalat sangat menentukan tingkat kesalehan sosial suatu masyarakat. Masyarakat yang terjaga shalatnya akan mampu mencegah diri mereka dan lingkungannya terhadap perbuatan-perbuatan keji dan munkar. Sebaliknya, masyarakat yang melalaikan shalat maka kekejian dan kemungkaran akan menjadi tradisi dalam kehidupannya.

Dalam ayat yang lain Allah menegaskan masyarakat yang meninggalkan shalat, maka kesesatan adalah keniscayaan bagi mereka. Allah berfirman: Maka datanglah sesudah mereka, pengganti yang menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan. (QS 19: 59).

Hanya shalat yang dilaksanakan dengan baik yang akan mengantarkan kepada kesalehan sosial, baik pribadi maupun masyarakat. Sebaliknya, shalat yang dilaksanakan dengan tidak baik maka tidak akan membawa pada kesalehan sosial. Shalat yang baik adalah shalat yang didirikan dengan khusyuk (QS 23: 2) dan tidak lalai (QS 107: 4-5).

Rasulullah menggambarkan shalat yang baik dalam sabdanya: Apabila seseorang membaikkan shalatnya, menyempurnakan rukuk dan sujudnya, berkatalah sang shalat, ''Semoga Allah memelihara engkau sebagaimana engkau memelihara aku.'' Maka, diangkatlah shalatnya itu ke hadirat Allah.
Dan, apabila seseorang memburukkan shalatnya dan tidak menyempurnakan rukuk dan sujudnya, berkatalah sang shalat, ''Semoga Allah menyia-nyiakan engkau sebagaimana engkau menyia-nyiakan aku.'' Maka, dibungkuslah shalatnya itu sebagaimana membungkus kain yang buruk. Lalu, dipukulkanlah ke mukanya.
Hadis di atas menggambarkan betapa pentingnya kualitas shalat. Pertanyaannya, sudahkah kita menjaga dan meningkatkan kualitas shalat kita?




Shalat yang Tak Shalat
 

 

Rasulullah SAW pernah bersabda, ''Akan datang pada manusia (umat Muhammad) suatu zaman, banyak orang yang merasakan dirinya shalat, padahal mereka sebenarnya tidak shalat.'' (HR Ahmad).

Perintah shalat adalah untuk mengingat Allah SWT (Thaaha: 14). Dikatakan dalam surat An-Nisa' 43: ''Sehingga kamu mengetahui akan apa yang kamu ucapkan.''

Karena itu, dalam mengerjakan shalat tidak boleh lalai. Yang dimaksud lalai adalah tidak mengetahui maksud apa yang dibaca dan apa yang dikerjakan, apalagi jika kurang memperhatikan syarat rukun dan ketentuan-ketentuan shalat lainnya. Maka, yang diperoleh hanyalah payah dan letih. Rasulullah menyatakan, ''Berapa banyak orang yang shalat (malam), keuntungan yang diperoleh hanyalah payah dan letih.'' (HR Ibnu Majah).

Jadi, meskipun merasa dirinya shalat, tapi hakikatnya tidak shalat. Dan, ia tidak akan mendapatkan hikmah shalat. Shalatnya pun tidak menambah dekat kepada Allah, tapi justru sebaliknya. Rasulullah menegaskan, ''Barang siapa yang shalatnya tidak dapat mencegah perbuatan keji dan munkar, maka tiada bertambah baginya kecuali semakin jauh dari Allah.'' (HR Ali Ibnu Ma'bad).

Nah, zaman yang diprediksikan Rasulullah tadi tampaknya sudah terjadi kini. Isyaratnya, meskipun bangsa Indonesia mayoritas Muslim dan tentu saja banyak yang shalat, tapi tak sedikit pula di antara mereka yang masih tetap melakukan perbuatan keji dan munkar. Ironisnya, dari hari ke hari frekuensinya tidak semakin menurun, bahkan dari segi kuantitas maupun kualitasnya semakin meningkat, seperti tindak KKN, perzinahan, dan kejahatan lainnya.

Padahal, jika shalat bisa dikerjakan dengan baik dan benar, dengan memperhatikan syarat rukunnya, sah batalnya, dan kesunahannya, maka hikmahnya sangat besar, baik dalam kehidupan individu maupun masyarakat. Misalnya saja, manifestasi dari rukun qouli (bacaan dalam shalat) akan menjadikan orang tidak mudah berkata bohong, memfitnah, dan berkata kotor lainnya. Manifestasi dari rukun fi'li (gerakan dalam shalat), tangan tidak akan digunakan untuk menjamah sesuatu yang dilarang agama, dan kaki pun tidak melangkah kecuali yang diridhoi Allah. Demikian juga anggota tubuh lainnya. Sedangkan manifestasi dari rukun qolbi (kekhusukan hati), maka jiwanya tidak akan mudah dihinggapi penyakit rohani, seperti hasut, iri, dengki, dendam, dan sombong.

Misal lainnya adalah sujud. Sujud merupakan simbol penghambaan (ketaatan) tertinggi seorang Muslim. Karena posisi sujud adalah meletakkan kepala di lantai (tanah). Orang yang bersujud berarti telah rela meletakkan kepalanya yang terhormat ke lantai yang diinjak oleh kaki. Ini artinya orang yang sujud itu telah bersedia mematuhi ketetapan-ketetapan hukum (syariat Islam) secara totalitas dalam semua aspek kehidupan. Dengan begitu, secara kontekstual ia pun harus bersujud dalam segala bentuk aktivitas kehidupannya sehari-hari. Misalnya, jika berbisnis harus jujur, tidak menipu, dan tidak mencuri takaran atau timbangan. Jika berpolitik harus mengedepankan moral dengan tujuan memperjuangkan kaum lemah. Dan, jika menjadi pemimpin ia berusaha mengemban amanah.

Rasulullah mengumpamakan orang yang mengerjakan shalat lima kali sehari semalam itu seperti orang yang mandi untuk membersihkan kotoran yang ada di badan. Kata Rasulullah, ''Bagaimana pendapatmu jika ada sungai di depan rumahmu, lantas kamu mandi di situ sehari lima kali, apa masih kotor badanmu?'' Para sahabat menjawab, tidak ada kotorannya sama sekali. Kemudian beliau bersabda, ''Maka, seperti itu juga shalat lima waktu, maka Allah akan menghapus dosa-dosa dengan shalat.'' (Bukhari-Muslim).



Syukur Ni'mat
 
 

Dalam surat Al-Baqarah ayat 152, Allah SWT berfirman, ''Maka ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku.'' Ayat ini secara jelas dan gamblang memerintahkan kepada kita untuk selalu mengingat Allah dan bersyukur atas segala nikmat-Nya.

Secara bahasa, syukur berarti berterima kasih kepada Allah. Sedangkan Ar-Raghib Al-Isfahani, salah seorang yang dikenal sebagai pakar bahasa Alquran, dalam Al-Mufradat fi Gharib Al-Quran, mengatakan bahwa kata 'syukur' mengandung arti gambaran dalam benak tentang nikmat dan menampakkannya ke permukaan.
Kesyukuran, pada hakikatnya, merupakan konsekuensi logis bagi seorang manusia, yang notabene sebagai makhluk, kepada Allah, sebagai Tuhan yang telah menciptakan dan melimpahkan berbagai nikmat. Namun, kerap kali manusia terlupa dan tidak bersyukur atas karunia-Nya.

Ketidakbersyukuran manusia, biasanya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, salah melakukan ukuran/menilai. Dalam konteks ini maksudnya bahwa manusia selalu mengukur suatu nikmat dari Allah itu dengan ukuran keinginannya. Artinya, jika keinginannya dipenuhi, maka ia akan mudah untuk bersyukur. Sebaliknya, jika belum dikabulkan, maka ia akan enggan untuk bersyukur.
Penilaian seperti ini jelas bertentangan dan cenderung menafikan nikmat yang diberikan. Penilaian yang benar adalah berdasarkan apa yang kita peroleh. Karena, apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik di hadapan Allah. Dan, belum tentu juga itu yang terbaik buat diri kita. Perhatikan firman Allah, ''Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.'' (QS 2: 216).
Kedua, selalu melihat kepada orang lain yang diberikan lebih banyak nikmat. Perilaku ini hanya menyuburkan iri, hasad, dan dengki kepada orang lain. Sedangkan perilaku bagi orang beriman haruslah melihat kepada orang yang kurang beruntung. Rasulullah, sebagaimana diriwayatkan Bukhari dan Muslim, mengajarkan, ''Apabila seseorang di antara kamu melihat orang yang dilebihkan Allah dalam hal harta benda dan bentuk rupa, maka hendaklah ia melihat kepada orang-orang yang lebih rendah daripadanya.''
Ketiga, menganggap apa yang didapati dari nikmat Allah adalah hasil usahanya. Perilaku ini menumbuhkan sifat kikir dan melupakan Allah sebagai pemberi nikmat tersebut. Padahal, tidak ada satu nikmat pun yang datang dengan sendirinya. Melainkan, Allah yang telah mengatur semuanya. Firman Allah SWT, ''Bersyukurlah kepada Allah. Dan barangsiapa yang bersyukur, maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.'' (QS 31: 12). Kini, mumpung Allah masih memberikan waktu, sudahkah kita mensyukuri semua nikmat-Nya? Wallahu a'lam bis-shawab.





Ta'ashub Itu Buruk
 
 

Istilah ta'ashshub cendrung diartikan dengan fanatik buta terhadap golongan, benar atau salah. Berbagai konflik antarumat Islam, sering terjadi hanya untuk membela golongan, ini namanya penyakit ta'ashshub. Di zaman jahiliyah (sebelum Islam datang), penyakit ini telah mencabik-cabik keutuhan masyarakat pada waktu itu.

Pertarungan berdarah antarkabilah adalah merupakan pemandangan sehari-hari.Prinsip yang mereka gelar adalah: unshur akhaaka dhaliman au madzluman (belalah saudaramu sekabilah atau segolongan baik ia berbuat dzalim atau didzalimi).

Begitu parahnya penyakit ta'ashshub ini sehingga mereka berpecah belah. Tapi begitu Islam datang, penyakit ini segera dikubur habis, diganti dengan parsaudaraan ukhuwah Islamiyah. Dari persaudaraan inilah kemudian mucul sebuah kekuatan umat Islam yang bisa menaklukkan kekuatan-kekuatan raksasa dzalim kerajaan Romawi dan Persia.

Alquran telah merekam nikmat persaudaraan yang demikian agung tersebut: ''Dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu lalu menjadikan kamu dengan nikmat Allah orang-orang yang bersaudara, dan kamu (waktu itu) telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari padanya. Demikinalah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk''. (QS:3:103).

Dalam ayat ini digambarkan bahwa kalau tidak karena nikmat Islam, mereka akan terus berperang tanpa titik akhir demi kabilah dan tindakan itu tentu di mata Allah adalah prilaku ahli neraka. Dari sini terlihat jelas bahwa ta'ashshub tidak hanya melahirkan perpecahan yang merugikan di dunia melainkan juga kelak akan menyebabkan masuknya seseorang ke dalam siksa api neraka.

Imam Muhammad bin Ishaq, meriwayatkan bahwa suatu hari seorang Yahudi melewati sekelompok kaum Khazraj dan Aus yang sedang bertemu untuk berdamai. Tapi kemudian orang Yahudi ini berusaha memancing konflik antara mereka, dengan mengingatkan masa lalu yang penuh dengan permusuhan dan peperangan antarmereka. Mereka lalu terpancing.

Kemarahan antara kedua belah pihak hampir menyulut peperangan. Untungnya Rasulullah SAW segera mendengar kejadian tersebut, lalu berkata kepada mereka: ''Masihkah kalian menggelar kebiasaan zaman jalahilyah, semantara saya ada di tengah kalian'' dan membacakan ayat tersebut. (Tafsir Ibn Katsir: jilid 1, hlm 582).

Rasulullah SAW sangat membenci atta'ashshub. Ketika ditanya apa itu atta'ashshub, Rasulullah menjawab: ''Kamu membantu kelompokmu sekalipun ia berbuat dzalim, itu adalah atta'ashshub. Dalam kesempatan lain Rasulullah SAW bersabda: ''Bukan dari golonganku siapa yang mengajak kepada atta'ashshub, berperang atas dasar atta'ashshub atau mati kerena atta'ashshub.(HR. Muslim).




Tanggung Jawab Orang Tua
 
 

''Tiap-tiap anak yang dilahirkan keadaannya suci, hingga dapat berbicara. Maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak itu menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.'' (HR Aswad bin Sari') Hadis ini mengingatkan kita semua betapa penting peran orang tua dalam pendidikan anak.

Peran orang tua begitu besar. Mengapa? Pertama, anak yang masih kecil itu suci, belum tahu apa-apa, dan serba ingin tahu. Ia perlu dididik dan diajari yang baik-baik. Kedua, di dalam diri anak terdapat dua potensi dan dua dorongan, kepada yang baik dan yang buruk. Ia ingin meniru apa yang ia lihat pada orang tuanya dan lingkungannya. Oleh karena itu, ia sangat memerlukan arahan dan contoh perilaku baik dari orang tua.

Satu contoh bahwa seorang anak di sekolah mendapat pendidikan dan praktikum salat. Namun, karena di rumah orang tuanya tidak pernah salat, maka anak tersebut pun susah untuk membiasakan diri mengerjakan salat. Apalagi jika di sekolah dilangsungkan pendidikan agama yang tidak diajarkan guru seagama, anak-anak bisa tidak jelas agamanya. Bahkan bisa ikut agama lain. Akan lebih konyol lagi jika anak yang belum ''berpikir dewasa'' itu dibebaskan memilih agama yang diinginkannya. Ia bisa menjadi kafir.

Sungguh suatu kesalahan besar jika orang tua menyekolahkan anak-anaknya di sekolah yang di dalamnya hanya ada pendidikan agama lain. Secara tidak langsung orang tua itu mempercayakan anaknya kepada sekolah tersebut untuk beragama lain.

Seorang anak, selain sebagai karunia Allah, ia adalah amanat Allah yang harus dididik sesuai dengan kehendak pemberi amanat, ''Suruhlah anak-anakmu mengerjakan salat ketika mereka berumur tujuh tahun, dan pukullah ia jika telah berumur sepuluh tahun.'' (HR Ahmad). ''Didiklah anak-anakmu tentang tiga hal, yaitu mencintai Nabimu, mencintai keluarga beliau, dan mempelajari Alquran.'' (HR Ad-Dailamy). Sungguh jangan sampai karena hanya terpengaruh nilai ''lebih'' pada sekolah non-Islam, akidah anak dikorbankan.

Kesalahan pendidikan agama dan akhlak anak, selain menjadikan anak tidak baik, kelak orang tua akan dituntut Allah di hari kiamat. ''Seorang ayah adalah pemimpin keluarganya, ia akan dituntut atas kepemimpinannya.'' (HR Bukhari dan Muslim). Firman Allah, ''Jagalah dirimu dan keluarganya dari siksa api neraka .... (QS 66: 6). Artinya didiklah istri dan anak-anak kita menjadi orang Muslim dan saleh.

Oleh karena itu, bagi umat Islam akan jauh lebih baik dan lebih bisa dipertanggungjawabkan jika tidak menyekolahkan anak-anaknya di sekolah-sekolah non-Islam, mendidik agama dan akhlak mereka dengan baik di rumah, dan memberi contoh baik kepada mereka. Wallahu a'lam!





Tawakal
 
 

Pada suatu hari ada seseorang berkata kepada Imam Ahmad bin Hambal, ''Aku hendak pergi ke Makkah atas dasar tawakal, tanpa membawa bekal.'' Sang imam berkata, ''Kalau begitu pergilah sendirian tanpa ikut rombongan.'' Orang itu menjawab, ''Tidak bisa, aku harus ikut mereka.'' ''Apakah dengan mengandalkan bekal orang lain itu engkau juga menyebut tawakal?'' tanya Imam Ahmad lebih lanjut.

Untuk menjadi manusia yang kuat, kita diperintahkan untuk tawakal, berserah diri kepada Allah, sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam sebuah hadis beliau yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ''Orang yang menghendaki jadi manusia terkuat, berserahlah kepada Allah dan yang menghendaki jadi manusia paling mulia, bertakwalah kepada-Nya.''

Namun, tawakal tidaklah berarti penyerahan begitu saja suatu urusan kepada Allah, tanpa ada usaha sedikit pun yang menjadi sebab datangnya hasil yang diharapkan. Sebaliknya, orang yang disebut mengejawantahkan tawakal ialah yang melaksanakan sebab yang diperintahkan. Siapa yang mengabaikannya, maka tawakalnya tidak benar, sebagaimana melaksanakan sebab yang pasti menghasilkan kebaikan juga merupakan pengejawantahan harapannya.

Yang tidak melaksanakannya berarti harapannya itu sekadar angan-angan. Seperti seorang pemuda yang sudah siap untuk menikah dan mengharapkan seorang gadis yang saleha, tetapi ia sendiri tidak melakukan usaha--yang sesuai syariat tentunyamaka janganlah kecewa kalau yang diharapkannya itu tidak kunjung datang.

Begitupun dengan kondisi yang tengah terjadi di sekitar kita saat ini. Laku maksiat semakin jelas terlihat di mana-mana. Pornografi sudah menjadi tontonan yang lumrah, mulai dari anak-anak, sampai orang tua. Makanan dan minuman haram menjadi santapan yang lazim dalam beberapa perhelatan kita. Di sisi lain, musibah datang silih berganti. Kita diperintahkan tawakal menghadapinya.

Namun, kita tidak boleh mengabaikan sebab-sebab yang telah mendatangkan musibah tersebut dengan melakukan muhasabah 'koreksi', sebagaimana kita juga tidak boleh meninggalkan usaha-usaha yang bisa menjadi sebab bagi datangnya perubahan dari kondisi yang rusak tersebut, menuju perbaikan. Ber-amar maruf nahi munkar adalah salah satu sebab yang diperintahkan, yang bisa mendatangkan kebaikan.

Kesungguhan dalam berusaha merupakan tuntutan bagi kita. Hasilnya, kita serahkan kepada Allah karena Allahlah yang pada hakikatnya menguasai hati manusia dan paling kuasa untuk membolak-balikkannya.
Jadi rahasia tawakal dan hakikatnya adalah penyandaran hati kepada Allah semata. Ia tidak terganggu karena adanya perhatian terhadap sebab tanpa harus mengandalkan secara mutlak terhadap sebab itu. Wallahu a'lam.





Tidak Memperkaya Diri
 

 

Dua khalifah dari Bani Umaiyah, Umar bin Abdul Aziz, dan Abdul Malik bin Marwan, merupakan contoh penguasa yang benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan diri sendiri dan keluargannya. Khalifah Umar (berkuasa pada 717-720 M) bahkan sangat takut kepada Allah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadinya.

Ketika datang kerabatnya atau tamu pribadinya ke istana pada malam hari, misalnya, Khalifah Umar memadamkan lampu milik negara dan menggantinya dengan lampu teplok (lampu tempel) miliknya dendiri. Alasannya, tamu itu datang untuk urusan pribadi dan bukan untuk urusan negara.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz memang memisahkan secara tegas antara kepentingan negara dan pribadi. Tak aneh bila ketika wafat, harta benda beliau justru semakin berkurang. Hal yang hampir sama juga dialami oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan (65-86 H atau 685-705 M). Yang terakhir ini dikenal dalam sejarah sebagai penguasa yang 'iffah (amat hati-hati memelihara diri). Beliau wafat meninggalkan 12 orang anak tanpa meninggalkan harta sedikit pun.

Menjelang wafatnya, Khalifah Abdul Malik bin Marwan memanggil 12 anaknya berkumpul di sekelilingnya. Sejenak semua anak itu ditatap dalam-dalam, lalu ia menengadah sambil air mata meleleh di pipi. Katanya, ''Hai anak-anakku! Diriku meninggalkan kalian dalam pilihan antara meninggalkan kalian fakir atau ayah kalian ini masuk ke neraka, lalu aku pilih meninggalkan kalian fakir.''

Lanjut Khalifah, ''Hai anak-anakku! Mudah-mudahan Allah memelihara kalian dan memberi kalian rezeki, aku sungguh bertawakal menyerahkan urusan kalian kepada Allah. Dan, Allah itu tempat berlindung orang-orang yang saleh.''

Ketika itu ada seorang sahabat menyaksikan dan ikut prihatin, namanya Maslamah. Kepada khalifah diserahkannyalah uang 40 dinar agar khalifah membagi-bagikan kepada anak-anaknya. Kata Maslamah, ''Ini aku lakukan ikhlas dari lubuk hatiku.''.

Tapi, Khalifah Abdul Malik bin Marwan membalas, ''Aku nasihatkan kepadamu (hai Maslamah) agar uang yang kamu serahkan kepadaku untuk dibagi-bagikan kepada anak-anakku itu diambil kembali dan segera serahkan kepada siapa uang itu kamu ambil dulunya secara kejam.''

Apa yang dilakukan Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Khalifah Abdul Malik bin Marwan, sejalan dengan apa yang dicontohkan Rasulullah SAW. Ketika semua istri beliau merasa berhak dan menuntut bagian dari harta rampasan perang, Rasulullah tidak mengabulkannya.

Itu semua sesuai dengan ayat Alquran yang turun kepada beliau (Al-Ahzab: 28-29): ''Hai Nabi! Katakanlah kepada semua istrimu, jika kalian menginginkan kehidupan dan perhiasan dunia, marilah aku berikan semua itu kepada kalian dan aku ceraikan kalian dengan perceraian yang baik. Dan, kalau kalian menginginkan Allah dan Rasul-Nya serta kampung akhirat, sesungguhnya Allah telah menyediakan pahala yang besar untuk orang-orang yang berbuat kebaikan di antara kalian.''



Tipe Orang Tua
 
 

Peran orang tua sangatlah prinsip dalam ajaran Islam. Dalam sebuah riwayat, Nabi bersabda, ''Didiklah anakmu, karena mereka akan menghadapi zaman yang bukan zamanmu.'' Sabda lain, ''Setiap anak lahir dalam keadaan suci, orang tuanyalah yang akan menjadi penentu, apakah si anak akan menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi.''

Jelaslah bahwa peran orang tua dipertaruhkan, karena mereka sangat signifikan dalam menentukan masa depan anak-anak, baik di dunia maupun di akhirat.

Alquran, setidaknya, menamsilkan empat tipe orang tua berkaitan dengan sosok mereka. Tiap tipe itu akan sangat berperan dalam menentukan karakter anak-anak mereka di kemudian hari.

Pertama, tipe (pasangan) Nuh dan istrinya. Dalam tipe ini, sang ayah adalah seorang yang saleh, sedangkan sang ibu adalah manusia jahat dan kafir. Yang terjadi, anak cenderung mengikut kepada sang ibu. Kan'an, berada di barisan orang-orang kafir, penentang kenabian Nuh, bersama ibunya.

Kedua, tipe Firaun dan istrinya. Ia berkebalikan dari tipe pertama, sang ayah kafir dan pendosa. Sementara itu, sang ibu salehah dan Mukmin. Tam[aknya, anak-anak Firaun lebih condong meneladani perilaku sang ayah, sehingga dari generasi ke generasi, raja-raja penerus Firaun itu tidak berbeda jauh akhlaknya dengan sang ayah: kafir dan penentang kenabian.

Ketiga, tipe Ibrahim dan istrinya. Sang ayah saleh dan sang ibu salehah, Mukmin sejati, pembakti Allah paling utama. Oleh karena itu, anak-anak mereka mengikuti ayah ataupun ibu. Mereka sama saja. Walhasil, dari pasangan inilah lahir manusia-manusia mulia mutiara peradaban, yaitu Ishak dan Ismail. Garis darah mereka itu muasal Sayidul Anam, Rasulullah saw.

Keempat, tipe (pasangan) Abu Lahab dan istrinya. Berkebalikan dengan tipe ketiga. Baik si ayah, maupun si ibu sama kafir, durjana, dan pendosa. Keduanya pembenci dakwah menuju Allah, sehingga Allah mengutuk keduanya sebagai orang celaka.

Mereka kelak masuk neraka bersama-sama. Anak-anak mereka pun tidak jauh berbeda sosoknya: menjadi penentang kenabian Rasulullah, sehingga sangat tidak layak menjadi teladan bagi orang tua di mana pun di dunia.

Konon, para arif bijaksana mengatakan bahwa bangsa adalah laksana sebuah keluarga: keluarga besar. Pemimpin bangsa itu ibarat orang tua, penanggung jawab kelangsungan hidup anak-anak mereka.

Jika demikian, kita tentu sangat berharap pemimpin kita adalah dari tipe pasangan Ibrahim dan istrinya. Kita berlindung kepada Allah, jika pemimpin-pemimpin kita adalah duplikasi dari tipe Abu Lahab dan istrinya. Celakalah kita, dunia dan akhirat!





Wanita Tiang Negara
 
 

''Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh pada kemakrufan, mencegah kemungkaran, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya.'' (QS At-Taubah: 71).

Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya mengatakan bahwa hati mereka menyatu dalam kehangatan, kasih sayang, dan saling merasakan. Para pria mukmin dan para wanita mukmin bisa saling tolong. Mereka memiliki kerja sama yang baik dan saling mengisi dalam melakukan kemakrufan dan mencegah kemungkaran, mendirikan salat, menunaikan zakat, dan melaksanakan seluruh ketaatan dan ketundukan kepada hukum syariat Allah SWT.

Dengan demikian, jelaslah, bahwa syariat Islam itu tidak bias gender, tidak bias kelelakian, dan tidak bias keperempuanan. m Juga, dalam ayat tersebut di atas begitu jelas bahwa tugas wanita dalam pandangan Islam bukan seputar sumur, kasur, dan dapur. Namun, juga ada aktivitas dakwah dan amar makruf nahi mungkar yang dalam sekala tertentu bisa merupakan aktivitas politik tinggi.

Tatkala Khalifah Umar mengumumkan kebijakan larangan mahar tinggi, seorang wanita memprotesnya lantaran kebijakan itu bertentangan dengan firman Allah, ''sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali daripadanya barang sedikitpun.'' (QS An-Nisa: 20). Khalifah Umar pun langsung mengoreksi kebijakan itu.

Masih banyak kisah lain yang menunjukkan peranan politik penting wanita Islam di masa kejayaan islam. Namun, di samping memiliki tugas publik, tugas utama muslimah adalah tugas domestik, sebagai ibu dan pengatur rumah tangga.

Ikut aktif dalam aktivitas politik di tengah-tengah umat bukan berarti boleh baginya untuk meninggalkan atau melalaikan tugas utamanya di rumah. Jika ada benturan, dia mesti melaksanakan tugas utamanya. Namun, dia juga tidak boleh melalaikan tugas publiknya. Dia harus segera mencari jalan keluar agar tugas publik maupun domestiknya bisa sama-sama terlaksana.
Kalau wanita mengerjakan tugas utamanya sebagai ibu dan pengatur rumah tangga, bukan berarti ia pada posisi rendah.

Ibarat kesebelasan, posisi penjaga gawang bukanlah posisi rendah. Justru posisi utama yang menentukan kemenangan. Jika wanita tidak melahirkan dan mengasuh anak, siapa yang melahirkan para pejuang, para ulama, para insinyur, dan para ahli ilmu pengetahuan, serta para tentara? Oleh karena itu, pantaslah dikatakan wanita sebagai tiang negara. Jika, sebagai tiang dia lengah, ambruklah negaranya. Na'uzubillahiminzalik!






Ulama Khosyah
 
 

Terdapat dua ayat dalam Alquran yang memuat kata-kata ulama, yaitu dalam surat As-Syura ayat 197 dan surat Fathir ayat 28. Ayat yang pertama, walaupun asbabun-nuzul-nya berkaitan dengan ulama Bani Israil, tetap substansinya berlaku universal, yaitu ulama adalah kelompok orang yang memiliki pengetahuan keislaman yang mendalam yang berbeda dengan yang lainnya. Mereka mampu memberikan solusi dan jawaban terhadap berbagai permasalahan yang terjadi di tengah masyarakat.

Sedangkan ayat kedua menjelaskan bahwa ulama adalah kelompok orang yang hanya memiliki rasa takut dan rasa cinta yang bersifat absolut kepada Allah SWT (khosyah). Kecintaan dan rasa takut kepada-Nya menyebabkan mereka memiliki perilaku yang selalu disesuaikan dengan ketentuan-Nya.
Keberpihakannya sangat jelas, yaitu kepada kebenaran dan keadilan yang bersumber dari ajaran-Nya. Pancaran dari sikap ini tampak pada kejujuran ucapan, kehati-hatian dalam mengambil sikap, keteladanan akhlak, serta orientasi pemikirannya yang selalu diarahkan pada amar ma'ruf nahi munkar dalam pengertian yang luas.

Demikian pula kerendahan hati kepada sesama orang-orang yang beriman dan ketegasan sikap pada perilaku orang-orang yang buruk, tampak sangat menonjol. Kasih sayang kepada orang-orang yang lemah dengan melakukan berbagai macam kegiatan pemberdayaan dan advokasi, selalu merupakan pilihannya. Kelompok ulama inilah yang termasuk kategori kelompok orang yang menjadi hamba milik Allah SWT.
Ini sebagaimana dinyatakan dalam hadis riwayat Thabrani dari Ibn Umar, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya Allah SWT memiliki hamba-hamba yang secara khusus membantu memenuhi kebutuhan hidup manusia. Orang-orang datang kepada mereka menyampaikan kebutuhannya. Itulah orang-orang yang selamat dari azab Allah.''

Yang perlu kita sadari bersama bahwa istilah ulama yang demikian mulia dan agung itu, tidaklah otomatis sama dengan istilah kiai atau ustaz. Ulama pasti kiai dan ustaz. Tetapi, belum tentu kiai dan ustaz termasuk ulama, jika tidak memiliki kedua persyaratan tersebut di atas, walaupun masyarakat banyak menyebutnya sebagai ulama. Dalam berbagai hadis dikemukakan bahwa ulama adalah waratsatul-ambiya (ahli waris para nabi), baik ilmu pengetahuannya maupun akhlak dan kelakuannya, sekaligus perjuangannya.

Dalam dunia perpolitikan di Indonesia sekarang ini, peran para ulama tetap jelas, nyata, dan diperlukan selama mereka bertujuan melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar, memperbaiki tingkah laku masyarakat, sekaligus memberi contoh dan suri teladan. Tidak selayaknya ulama waratsatul-ambiya menjadi alat kekuasaan kelompok yang ambisius pada jabatan dan kedudukan yang berusaha meraihnya dengan segala macam cara, termasuk melakukan kebohongan-kebohongan kepada publik, apalagi disertai dengan iming-iming materi yang sifatnya sesaat dan fatamorgana. Wallahu a'lam bis-shawab.

Sumber : Republik Online

Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Hikmah Edisi II


Artikel Hikmah Edisi II ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

HACKING

Terbaru >>

Top Post >>

Blog Archieve >>

 

S E R V I C E ' s aLL ShArE Copyright © 2010 Endy_Djubu is Designed by 3nfitry