My Profile

Sabtu, 17 Maret 2012

Hikmah Edisi Pertama



Manajemen Keluarga

 

''Seorang suami adalah pemimpin dalam keluarganya, dia akan dituntut atas kepemimpinannya (oleh Allah SWT). Seorang istri adalah pemimpin di rumah suaminya, dia akan dituntut atas kepemimpinannya. Seorang khadam adalah pemimpin pada harta tuannya, dia akan dituntut atas kepemimpinannya. Seorang anak adalah pemimpin harta ayahnya, dia akan dituntut atas kepemimpinannya.''

Hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim itu menjelaskan mengenai manajemen keluarga, bahwa di lingkungan keluarga terdapat pembagian tugas yang setiap individu bertanggung jawab penuh terhadap tugas yang diembannya. Kelak atas tugasnya itu mereka akan diminta pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.

Seorang suami diposisikan sebagai kepala keluarga. Ini bukan karena menomorsatukan kaum lelaki, tetapi karena secara fisik dan mental mereka dianggap mampu memimpin keluarga dengan baik. Meskipun demikian, seorang suami tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap anggota keluarganya.

Dia berkewajiban menafkahi, membina, dan membimbing mereka menjadi anggota keluarga yang baik dan mandiri. Dia juga diharuskan membela anggota keluarga yang lemah dan melindungi serta mengayominya, sehingga mereka merasa tenteram dan aman atas kepemimpinannya.

Rasulullah SAW bersabda, Sesungguhnya sebagian dari kesempurnaan orang-orang Mukmin adalah yang paling baik akhlaknya dan paling lembut (bijak) terhadap keluarganya. (HR Thabrani dan Hakim).
Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya (keluarganya). Ini juga bukan berarti menomorduakan perempuan atau merendahkan kedudukannya, tetapi merupakan pembagian kerja dalam keluarga. Sebab, tidak mungkin dalam keluarga ada dua pemimpin utama.

Seorang istri bertanggung jawab di rumahnya, karena pekerjaan tersebut biasanya sulit dikerjakan suami, apalagi jika suami juga pemimpin di masyarakat. Dalam beberapa fakta banyak terjadi seorang suami ditinggal wafat istrinya, lalu anak-anak mereka berantakan. Sebaliknya, banyak istri yang ditinggal mati suaminya, anak-anak mereka tetap baik karena secara kejiwaan ibu lebih dekat pada anak-anak.

Sekalipun istri menjadi pemimpin di rumah suaminya, tidak berarti aktivitas di luar rumah terhalangi. Sepanjang tidak meninggalkan tanggung jawabnya di rumah dan bisa menjaga dirinya, mereka boleh beraktivitas di luar rumah. Dan, ternyata banyak kaum ibu yang sukses beraktivitas di luar dan sukses mengurus rumah tangga.

Bisa jadi sebagian rumah tangga gagal dibangun karena sang istri enggan menunaikan tugasnya mengurus berbagai pekerjaan rumah tangga, inginnya jadi kepala keluarga. Seorang khadam berkewajiban menunaikan tugasnya sebagai pekerja untuk meringankan beban berat tuannya.

Demikian juga seorang anak yang sedang dalam pembinaan orang tua, dia berkewajiban membelanjakan harta pemberian orang tuanya sebaik mungkin demi kesuksesan mereka di masa depan.
Kesuksesan menunaikan tugas masing-masing dalam keluarga itulah yang kelak akan membawa kebahagiaan keluarga.


Manusia Makhluk Sosial
 
 

Allah menjadikan manusia sebagai hamba sekaligus khalifah di muka bumi, dengan fungsi melestarikan ciptaan-Nya yang disediakan sebagai fasilitas hidup. Fasilitas yang lengkap tak tertandingi ini disediakan secara gratis atau cuma-cuma. Allah SWT hanya memberi rambu-rambu kepada manusia untuk diperhatikan sehingga tidak tergelincir dan terjerumus ke dalam lembah kesesatan.

Di sinilah sifat rahman dan rahim (kasih dan sayang) Allah yang diberikan kepada semua hamba-Nya, secara merata tanpa pilih kasih entah itu laki-laki atau perempuan. Sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya surat An-Nahl ayat 97: Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Kami akan memberikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.

Ayat di atas merupakan indikator atau pertanda pentingnya berbuat baik di muka bumi, sekaligus sebagai motivator agar manusia tidak hanya menikmati fasilitas Allah, tapi juga melakukan kebaikan secara kontinu dan terus-menerus. Berbuat di sini tentunya dimulai dari individu-individu yang akhirnya akan berimbas secara kolektif.

Secara psikologis anjuran Allah dalam ayat tersebut sejalan dengan fitrah manusia yang cenderung untuk berbuat baik. Namun, kadang fitrah ini berubah menjadi jahat tak terkendalikan ketika manusia kehilangan sifat kemanusiaannya. Maka, untuk memulihkan keadaan yang demikian tentunya manusia perlu melatih diri untuk senantiasa mengingat Allah SWT.

Dalam era yang serba modern ini sering kita menyaksikan umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya, cenderung mementingkan kepentingan diri sendiri. Ego dan keakuan manusia telah mengalahkan kepentingan bersama. Mereka tidak lagi mempedulikan kepentingan orang lain.

Semua itu bisa terjadi lantaran minimnya pengetahuan mereka terhadap esensi makna agama yang mereka yakini sebagai pedoman. Mereka menomorduakan nilai sosial daripada nilai-nilai ubudiyah secara vertikal. Mereka lebih menyukai simbol-simbol daripada esensi nilai-nilai agama.

Mereka tampak religius dan agamis, sementara dalam keseharian tidak tecermin ajaran dan nilai-nilai agama.

Sebagai orang yang beragama, sifat-sifat ketuhanan, seyogianya menjadi cermin jiwa, kaca hati, dan perilaku kehidupan. Untuk mencapai semua itu diperlukan pemahaman agama secara benar dan melaksanakannya dengan konsisten (istiqamah). Hanya dengan itu, kita, mudah-mudahan, tergolong sebagai hamba yang saleh, baik sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial.





Manusia Tercela

 

''Tetapi dia cenderung pada dunia dan memperturutkan hawa nafsu yang rendah. Maka, perumpamaannya seperti anjing, jika kamu menghalaunya ia menjulurkan lidah dan bila kamu membiarkannya dia menjulurkan lidahnya juga. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.'' (Al-A'raf: 176).

Ibn Abbas meriwayatkan ayat ini terkait dengan kisah Bal'am bin Ba'ura', seorang pria Yahudi terpandang dengan kedalaman ilmu dan dimuliakan karena pengetahuan agamanya. Kredibilitas intelektualnya membuat Bal'am mendapat kehormatan diutus oleh Nabi Musa AS guna menyeru Raja Madyan kepada jalan Allah.

Cuma setelah berhadapan, sang raja justru menggodanya dengan harta benda dan jabatan terhormat. Tentu saja dengan syarat ia harus bersedia meninggalkan tugas mulia menyeru agama tauhid. Ternyata Bal'am terpesona gemerlap dunia. Sifat gila harta dan tamak jabatan membuatnya gelap mata.

Pribadi seperti itu dikecam Alquran sebagai manusia bermental anjing. Kesamaannya terletak pada dua hal. Pertama, visi kehidupannya hanya berkisar kesenangan duniawi semata. Kedua, diberi peringatan ataupun tidak ia tetap memilih jalan kesesatan.

Lidah yang menjulur mencerminkan sifat rakus, sekaligus simbol dari penghambaan diri terhadap nafsu. Rakus merupakan suatu kondisi psikologis di mana seseorang terus-menerus merasa tidak puas dengan apa yang dimiliki berupa materi. Punya lidah yang suka menjilat kotoran, dan selalu meneteskan air liur karena tiada pernah merasa puas. Diberi ataupun tidak dia tetap saja merasa kurang.

Celakanya, hampir setiap episode sejarah melahirkan orang berilmu yang bermental bobrok. Layaknya karakter Bal'am: pribadi yang menggadaikan intelektualitas demi memuaskan syahwat semata.

Itulah manusia tercela, budak nafsu yang gelap mata, buta hati, dan mati rasa. Mereka merendahkan martabatnya karena hanyut dalam kesenangan dunia yang amat sementara. Ayat-ayat Tuhan dipermainkan, direkayasa, dimanipulasi dengan terlebih dahulu mematikan hati nuraninya sendiri.

Suatu kali Abu Dzar al-Ghifari kedatangan utusan dari Hubaib bin Abi Muslim. Gubernur Syam itu berkenan memberinya uang 300 dinar untuk dipergunakan sebagai biaya hidup. Tapi, Abu Dzar tegas menolak. Ulama zahid itu berkata kepada sang utusan, ''Kembalikan uang itu pada gubernurmu! Apakah dia tidak menemukan orang lain yang lebih pantas menerimanya di sisi Allah?

Kami telah merasa cukup dengan tempat berteduh, beberapa ekor domba untuk penghidupan, serta para pelayan yang bersedekah dengan membantu pekerjaan. Karena kami adalah golongan yang takut menerima harta yang berlebihan.''

Demikian tegasnya Abu Dzar menolak intervensi penguasa lewat harta, semata-mata menjaga independensinya selaku ulama intelektual. Sifat qana'ah sudah cukup menjadi alasan baginya mempertahankan izzah dengan hidup sederhana. Sebab, Allah meninggikan derajat orang-orang yang memiliki wibawa intelektual yang baik.



Mendidik dengan Keteladanan
 
 

Jika anak banyak dicela, ia akan terbiasa menyalahkan.
Jika anak banyak dikasihani, ia akan terbiasa meratapi nasibnya.
Jika anak serba dimengerti, ia akan terbiasa menjadi penyabar.
Jika anak banyak diberi dorongan, ia akan terbiasa menghargai.
Jika anak diperlakukan dengan jujur, ia akan terbiasa melihat kebenaran.

Penggalan ungkapan Dorothy Low Nolte dalam Children Learn What They Live With di atas menggambarkan kepada kita bahwa anak akan tumbuh sebagaimana lingkungan mengajarinya. Jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat baik maka insya Allah dia akan terbiasa untuk selalu berbuat baik. Sebaliknya jika seorang anak tumbuh dalam lingkungan yang mengajarinya berbuat kejahatan, kekerasan maka ia akan tumbuh menjadi pelaku kekerasan dan kejahatan yang baru.

Anak-anak adalah makhluk yang paling senang meniru. Orang tuanya merupakan figur dan idolanya. Bila mereka melihat kebiasaan baik dari ayah ibunya, maka mereka pun akan dengan cepat mencontohnya. Orang tua yang berperilaku buruk akan ditiru perilakunya oleh anak-anak. Anak-anak pun paling mudah mengikuti kata-kata yang keluar dari mulut kita.

Oleh karena itu tanggung jawab kita sebagai orang tua untuk memberikan lingkungan terbaik bagi pertumbuhan anak-anak kita. Salah satunya dengan memberikan keteladanan yang baik buat anak-anak kita. Karena kenangan terindah bagi anak-anak kita adalah kepribadian ayah-ibunya yang benar-benar mulia.

Rasulullah pun terkadang memberikan nasihat secara langsung kepada anak-anak. Rasulullah bersabda, "Hai anak, jagalah semua perintah Allah, niscaya Allah memeliharamu. Periharalah semua perintah Allah, niscaya engkau dapati Dia di hadapanmu. Apabila engkau memohon sesuatu, mohonlah hal itu kepada Allah, dan bila meminta pertolongan, mintalah kepada Allah. Dan ketahuilah, sekiranya seluruh masyarakat sepakat berbuat sesuatu yang bermanfaat bagimu, maka semua manfaat itu hanyalah Allah yang menentukannya, dan bila mereka akan berbuat jahat kepadamu, maka kejahatan itu tidak akan menimpamu kecuali yang telah ditetapkan Allah pula. Terangkat qalam dan keringlah pena." (HR At-Turmuzi)

Dalam konteks realitas sosial bangsa ini, jutaan anak tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang tidak wajar. Mereka tumbuh di bawah jembatan. Mereka hidup di setiap perempatan jalan. Mereka bergaul dalam lingkungan yang mengajarinya yang lemah akan tertindas dan yang kuat akan menguasai. Bahkan, sebagian mereka masih ada yang hidup dalam pengungsian.

Kondisi tersebut merupakan permasalahan sosial yang harus segera dibenahi. Oleh karena itu kesungguhan pemerintah, elit politik, atau LSM menjadi sebuah keharusan dalam menyelesaikan permasalahan ini. Kita bisa membayangkan bagaimana jadinya bangsa ini jika generasi mendatang merupakan generasi yang tumbuh dari lingkungan yang kurang wajar.




Membantu Sesama
 
 

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda bahwa sesungguhnya Allah SWT pada hari kiamat nanti akan berfirman, "Wahai bani Adam, Aku sakit, mengapa kalian tidak menjengukku?" Manusia bertanya, "Ya Rabb, bagaimana kami menjenguk-Mu padahal Engkau Rabbul 'Alamin?"

Allah menjawab, "Bukankah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku yang sakit, mengapa kalian tidak menjenguknya? Tahukah kalian, bila kalian menjenguknya kalian akan dapati Aku di sampingnya!"

"Wahai manusia, Aku minta makan kepadamu, mengapa kalian tidak memberiku?" Manusia langsung bertanya, "Ya Rabb, bagaimana kami memberi-Mu makan, padahal Engkau Rabbul 'Alamin?"

Allah menjawab, "Bukankah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku fulan yang minta makan, mengapa kalian tidak memberinya? Tahukah kalian bila kalian berikan makanan kepadanya, kalian akan mendapati Aku di sampingnya?"
"Wahai manusia, Aku minta minum kepadamu, mengapa kalian tidak mau memberinya?" Manusia bertanya lagi, "Ya Rabb, bagaimana kami memberi-Mu minum, padahal Engkau Rabbul 'Alamin?" Allah menjawab, "Tidakkah kalian tahu bahwa ada seorang hamba-Ku yang minta minum, mengapa kalian tidak memberinya? Tahukah kalian bila kalian berikan minuman kepadanya, kalian akan dapati Aku di sampingnya?" (HR Muslim).

Bukankah setiap kita ketika sakit ingin dijenguk, walaupun hanya dengan seulas senyum. Ketika lapar ingin ada yang memberi makan, walau hanya sesuap. Dan ketika haus ingin ada seseorang yang menuangkan air walau hanya seteguk. Setiap Muslim sudah seharusnya berusaha membantu saudaranya sebagai wujud kecintaannya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.

Marilah kita lihat contoh perilaku nan agung dari Abu Hurairah ra. Ketika beliau sedang beritikaf di Masjid Rasulullah, tiba-tiba didapatinya seorang lelaki yang sedang bersedih duduk di sudut masjid. Abu Hurairah mendekatinya dan bertanya perihal kesedihannya. Begitu mengetahui persoalannya, Abu Hurairah berkata, "Ayo berdirilah bersamaku, aku akan memenuhi kebutuhanmu."

Lelaki itu berkata, "Apakah engkau akan meninggalkan itikafmu di Masjid Rasul yang mulia ini hanya demi aku?" Abu Hurairah menangis dan berkata, "Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, "Berjalannya seorang di antara kalian untuk memenuhi kebutuhan saudaranya hingga terpenuhi, lebih baik baginya daripada itikafnya di masjidku ini selama sepuluh tahun."

Alangkah indahnya ungkapan sebuah syair Arab yang menggambarkan kebahagiaan orang yang membantu saudaranya, "Engkau melihatnya begitu bahagia dengan sesuatu yang diberikannya kepadamu, seakan-akan engkaulah yang memberikan kepadanya sesuatu yang kau minta."





Mari Berwakaf

 

Diberitakan dalam hadis, suatu hari Umar bin Khattab minta saran Nabi Muhammad SAW bahwa ia mempunyai sebidang tanah di Khaibar, daerah pinggiran Madinah. Tanah itu sangat disukainya, tapi ia juga ingin hartanya itu bermanfaat bagi umat. Lantas apa yang harus ia lakukan? Nabi memberi saran; "Tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya." Itulah sejarah wakaf dalam Islam.

Menurut Ensiklopedi Islam Indonesia (1992), wakaf, berasal dari kata waqafa yang menurut bahasa berarti menahan atau berhenti. Dalam hukum fikih istilah tersebut berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama zatnya kepada seseorang, atau nadzir (penjaga wakaf), atau kepada suatu badan pengelola, dengan ketentuan bahwa hasil atau manfaatnya digunakan kepada hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat Islam.

Wakaf adalah salah satu realisasi dari pelaksanaan perintah Allah dalam Alquran agar orang yang beriman menafkahkan sebagian hartanya di jalan Allah. Nabi SAW mewakafkan hasil dari tujuh pohon kurma kepada fakir miskin, orang telantar dan para pejuang sabilillah. Para sahabat juga berwakaf sesuai kemampuannya.

Umat muslim mengikuti tradisi Nabi dan para sahabat itu sampai kini, sehingga wakaf sebagai pranata keagamaan berkembang pesat di dunia Islam. Wakaf memiliki keistimewaan sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak terputus meski orang yang mewakafkan hartanya telah meninggal dunia. Selain bernilai ibadah, wakaf memiliki fungsi sosial dan ekonomis.

Untuk bisa memberikan kemaslahatan kepada umat secara ekonomi, sosial dan moral, maka harta wakaf yang sekarang tidak hanya dalam bentuk benda tidak bergerak tetapi juga benda bergerak (wakaf uang dan lain-lain) harus dikelola secara profesional.

Bagaimana wakaf di Indonesia?
Meskipun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, artikulasi wakaf dan prestasi yang diraih dalam pengelolaannya belum optimal. Dalam hubungan ini perlu disadari bahwa penyempurnaan regulasi di bidang wakaf memang perlu, tetapi regulasi bukanlah segalanya. Yang terpenting adalah bagaimana wakaf itu dilaksanakan sepenuhnya oleh umat Islam di tengah realitas hidup yang makin individualistik dan memuja materi.

Ada baiknya direnungkan pesan K.H. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, delapan puluh tahun lalu, "Janganlah kamu berteriak-teriak sanggup membela agama meskipun harus menyumbangkan jiwamu sekalipun. Jiwamu tak usah kau tawarkan. Kalau Allah menghendakinya, entah dengan jalan sakit atau tidak, tentu akan mati sendiri. Tetapi beranikah kamu menawarkan harta bendamu untuk kepentingan agama? Itulah yang lebih diperlukan sekarang ini."






Membangun Kapal Kehidupan

 

Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi setiap orang yang sangat sabar lagi banyak bersyukur. (Luqman: 31).

Pada ayat di atas, Allah SWT memperlihatkan salah satu kekuasaan-Nya berupa kapal yang berlayar di lautan. Kapal itu dapat berlayar mengarungi samudera berkat nikmat dari Allah. Allah memberikan contoh kapal sebagai tanda kekuasaan-Nya untuk kita jadikan pelajaran bagi kehidupan kita.
Perumpamaan sebuah kapal itu dapat dipahami. Bukankah kehidupan kita layaknya mengendarai kapal yang sedang terapung mengarungi samudera kehidupan?

Sebelum digunakan mengarungi samudera, kapal haruslah dipersiapkan dengan baik. Misalnya, dibuat dengan bahan-bahan berkualitas tingi, yaitu berupa amal saleh (suatu perbuatan yang bukan sekadar baik, tapi perbuatan baik yang sesuai dengan aturan-aturan agama). Kita berusaha memilih perbuatan yang bukan saja baik untuk diri kita, tapi baik untuk kepentingan orang lain.

Kapal juga harus dibangun oleh ahlinya. Bila kapal dibuat oleh sembarang orang, pasti dalam waktu yang tidak lama kapal itu akan rusak dan membahayakan bagi kehidupan kita. Rasulullah SAW pernah berpesan, kalau suatu urusan itu diserahkan kepada seseorang yang bukan ahlinya, maka tunggu saja saat kehancurannya.

Selanjutnya, kapal tadi harus dijalankan oleh seorang yang mengerti cara mengendalikan kapal, tahu ke mana tujuan kapal, memahami seluk beluk samudera yang dilalui, dan menguasai ilmu yang terkait dengan pelayaran.

Demikian pula kapal kehidupan yang kita bangun, harus dijalankan oleh orang yang baik. Kapal kehidupan yang akan mengantarkan kita pada kehidupan yang kekal dan abadi, tidak mungkin diserahkan kepada seorang pemimpin yang bodoh, egois, dan tiran. Kita mesti memilih pemimpin yang adil, memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas, visi dan misi jelas, jujur, dan mendahulukan kepentingan penghuni kapal.

Dalam mengarungi samudera, para penumpang kapal tidak selamanya berada dalam kondisi yang tenang. Tidak jarang ombak gulung-gemulung menyerang, badai dahsyat menghantam, dan karang tajam menghadang. Dalam kondisi seperti inilah para pemimpin harus mampu menenangkan para penumpang dan menjamin keselamatan mereka. Dalam konteks beragama, penyelamatan penumpang itu, antara lain, dengan menyeru manusia kembali kepada Allah, dan berusaha mendekatkan diri kepada-Nya sedekat-dekatnya.

Bukan hanya dalam kondisi kesempitan, dalam kelapangan pun pemimpin juga terus harus mengingatkan rakyatnya. Sudah menjadi kecenderungan, ketika harta telah diraih, kepandaian telah dikuasai, jabatan dan kekuasaan telah didapat, dan segala nikmat dirasakan, seringkali Allah kita lupakan, ibadah kita ditinggalkan. Kita lupa bersyukur. Kita lupa bahwa kapal kehidupan ini berlayar di atas samudra Allah Sang Maha Kuasa.





Memilih Pemimpin 

 

Menjelang Perang Badar, Rasulullah bertanya kepada sahabat, ''Bagaimanakah pendapatmu untuk memerangi mereka?'' Para sahabat menjawab, ''Kami telah memberikan janji dan kepercayaan kami kepada engkau dengan penuh ketaatan. Demi Zat yang mengutusmu dengan kebenaran, andai kata engkau membawa kami ke sebuah samudra, lalu menceburkan diri ke sana, tentu kami juga menceburkan diri bersamamu.''

Kredibilitas merupakan suatu penghargaan terhadap seseorang yang didapat melalui proses interaksi seseorang dengan orang lain. Rasulullah Saw sebelum diangkat menjadi rasul digelari sebagai Al Amin, yaitu orang yang bisa dipercaya.

Hal ini disebabkan selama interaksi beliau dengan penduduk Quraisy, tak pernah sekalipun berbuat curang, menipu, berbohong, atau akhlak tercela lainnya. Seluruh amanah yang diberikan dilaksanakan dengan baik dan sempurna. Maka, tak heran kendati sebagian besar penduduk Mekah ingin mengusir bahkan membunuh beliau, namun masih saja ada di antara mereka menitipkan barang-barangnya pada beliau.

Said Hawwa dalam buku Ar Rasul menulis bahwa kredibilitas antara manusia dan pemimpin merupakan permasalahan esensial. Sebab, selagi masyarakat masih percaya pada pemerintah, maka dengan sendirinya mereka bisa menutup kekurangan. Tapi, kalau sudah kehilangan kepercayaaan; semua akan menjadi kacau, kekuatan umat akan hilang. Keadaan inikah yang kita rasakan sekarang?

Dalam ajaran Islam, kredibilitas merupakan salah satu faktor dipilihnya seseorang menjadi pemimpin. Karena, jabatan merupakan amanah yang memiliki pertanggungjawaban dunia dan akhirat. Begitu beratnya tanggung jawab sebagai pemimpin, hingga Rasulullah bersabda, ''Apabila seorang hamba (manusia) yang diberikan kekuasaan memimpin rakyat mati, sedangkan di hari matinya dia telah mengkhianati rakyatnya, maka Allah mengharamkan surga kepadanya.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Pemilu 2004 di depan mata. Sudah saatnya umat Islam memilah dan memilih di antara mereka yang kredibel untuk memimpin. Caranya? Jangan pusing! Carilah orang seperti ini; Ia tak (mungkin) seperti Rasulullah, tapi dalam setiap tarikan napasnya, sikapnya, tingkah lakunya, keluarganya, orang-orang terdekatnya, kelompoknya, partainya, berusaha seperti Rasulullah. Wallahu a'lam.



Memulai Perubahan 
 

Kesalahan banyak orang, menurut Syekh Muhammad al-Ghazali, seorang ulama kontemporer Mesir, adalah memulai lembaran baru hidupnya dengan menunggu awal tahun baru atau di saat ulang tahun. Menurutnya hal ini sia-sia dan pasti gagal. Tekad dan cita-cita untuk berubah kepada yang lebih baik hubungannya dengan hati (faktor dari dalam diri), bukan dengan awal tahun atau saat ulang tahun (faktor luar).

Maka di saat lahir himmah atau keinginan yang kuat untuk berubah dan mereformasi diri, jangan tunggu-tunggu lagi dan lakukan saat lagi menggebu-gebu itu. Saat tekad seseorang semakin kuat, beban yang dirasakannya akan semakin lemah. Pada saat itu mulailah perubahan. Dan kebanyakan sesuatu itu, yang beratnya adalah memulainya. Jika kita sudah memulai suatu pekerjaan, seterusnya, pada umumnya akan mudah.

Bagi seorang Muslim, sebenarnya tak perlu memahami sesuatu perubahan terlalu rumit. Simbol pertama perubahan adalah bergerak. Islam mendidik para pemeluknya untuk selalu bergerak. Shalat yang menjadi ibadah ritual terpenting yang dilakukan berulang-ulang lima kali setiap hari adalah rangkaian gerakan-gerakan yang penuh padat. Bukan hanya berdiam diri termenung.

Ada pesan yang dalam dari shalat, bahwa musuh utama Muslim sejati adalah kemandekan, diam, atau hanya berjalan di tempat. Susungguhnya memang esensi terpenting dari tauhid adalah memusuhi kebodohan, kemandekan, serta perbudakan dan pengabdian kepada selain Allah.

Muslim harus penuh aktivitas, seperti shalat yang disyariatkan kepadanya. Mulai dari saat dia bangun saat matahari belum terbit, hingga ujung malam. Maka bergerak dan penuh karya, serta memiliki etos kerja yang tinggi, adalah ciri yang semestinya paling menonjol dari seorang Muslim dalam kehidupannya sehari-hari.

Selain itu perubahan harus dengan perencanaan yang baik. Harus dipikirkan matang-matang. Bisa saja seseorang berubah namun kepada yang lebih jelek, lebih memprihatinkan, atau bahkan lebih mempercepat kehancuran.

Seseorang yang tengah mendirikan shalat, dengan gerakan-gerakan yang teratur dan berkesinambungan itu, juga dituntut untuk khusyuk. Yaitu, konsentrasi penuh yang menghadirkan seluruh jiwa dan segenap pikirannya. Satu lagi pesan penting di sana tentang keseimbangan yang tiada berhenti antara berpikir dan bertindak sepanjang hayat seorang Muslim. Demi sebuah perubahan yang benar dan terus-menerus dalam kehidupan individu seseorang atau pada sebuah tatanan sosial.

Pikiran dan ide-ide yang cemerlang akan sia-sia tanpa dilanjutkan dengan sebuah tindakan. Sebaliknya gerakan tanpa pikiran yang matang dan benar adalah kebodohan, kesia-siaan, dan kehancuran.

Rasulullah SAW bersabda, ''Mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah SWT daripada mukmin yang lemah.'' Hadits ini mencakup semua potensi kekuatan yang ada pada diri manusia. Yang kuat jasmaninya, kuat pikirannya, dan kuat ibadahnya lebih baik dan dicintai-Nya daripada yang lemah.

Anda bisa memulai perubahan sekarang.




Mencari Harta Halal 
 

Dari sahabat Jabir bin Abdullah, bahwasanya pada suatu ketika Nabi Muhammad SAW berkata di hadapan para sahabatnya, ''Wahai umat manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dan perbaikilah dalam hal mencari rezeki. Karena, sesungguhnya manusia itu tidak akan mati sebelum disempurnakan rezekinya. Allah hanya memperlambat turunnya rezeki kepadanya. Dan kemudian menurunkannya secara berangsur-angsur. Karena itu (sekali lagi), bertakwalah kalian semua kepada Allah dan perbaikilah usahamu dalam meraih rezeki. Ambillah yang halal dan tinggalkanlah yang haram.'' (HR Ibnu Majah).
Hadis Nabi yang diriwayatkan Imam Ibnu Majah ini mengajarkan beberapa hal yang amat penting kepada umat manusia, karena ia berkaitan sekali dengan kehidupan sehari-hari.

Yakni, dalam perekonomian yang bermoral dan harta yang benar-benar bersih. Anjuran Nabi dimulai dengan perintah bertakwa kepada Allah sebelum kemudian disusul dengan perintah untuk berusaha meraih rezeki. Ini artinya bahwa usaha apa pun tidak akan berarti kalau tidak dilandasi dengan ketakwaan dan keimanan. Bagaimana orang akan meraih kebahagiaan sejati kalau apa yang ia makan, apa yang ia minum, dan apa yang ia pergunakan dalam kehidupannya berasal dari sesuatu yang tidak diridhai Allah.

Karena itu, memperbaiki cara dalam meraih rezeki itu sesungguhnya yang Nabi tekankan kepada umatnya. Karena, cara inilah yang kadang-kadang kurang diperhatikan orang. Mereka cenderung mencari harta dengan segala cara, sehingga terkadang menghalalkan segala hal yang sesungguhnya dilarang oleh ajaran agama. Mereka beranggapan bahwa di masa-masa sulit seperti ini, tidak ada salahnya menggunakan jalan pintas, toh kesempatan itu ada dan terbuka lebar. Hal-hal semacam ini yang coba diwaspadai oleh Nabi.

Pertama, beliau mengingatkan bahwa rezeki setiap manusia itu sudah ada ukurannya masing-masing di sisi Allah, sehingga janganlah sekali-kali rakus memakan harta orang lain secara zalim karena itu berarti tidak percaya pada dirinya sendiri.
Kedua, selalu beranggapan takut miskin. Ajaran Islam tidak seperti itu. Islam mengajarkan bahwa urusan rezeki sesungguhnya berkaitan dengan usaha seseorang. Optimal tidaknya rezeki yang ia peroleh bergantung pada usaha manusia itu sendiri. Ada nilai tersendiri yang ingin Allah berikan kepada orang yang berusaha mencari rezeki dengan cara yang halal.

Hal ini bisa dilihat dari penutup hadis di atas, yaitu perintah tegas dari Nabi untuk hanya mengambil harta yang diperoleh dengan cara yang halal dan meninggalkan harta yang diperoleh dengan cara-cara yang diharamkan oleh Allah SWT. Dengan demikian apa yang disampaikan oleh Nabi sesungguhnya adalah pesan moral nan abadi demi menjaga kestabilan perekonomian. Meraih harta yang halal berarti cerminan manusia-manusia takwa. Cerminan manusia-manusia yang akan mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat kelak.






Mencari Solusi
 

Kita sering kali congkak, merasa benar sendiri dan tidak mengakui kesalahan, menyalahkan orang lain, dan tidak sadar bahwa kesalahan itu terkadang berawal dari kita. Kita dongakkan kepala dan kita rendah-rendahkan yang lainnya. Kita tuding makhluk di luar diri kita dan kita lupa untuk menuding diri sendiri.

Introspeksi tidak kita beri ruang. Konsep etika-filosofis Socrates sama sekali tidak kita jadikan sebagai pedoman: "Kenalilah dirimu".

Kita sucikan diri sendiri, padahal kotoran yang sesungguhnya melekat pada diri kita. Tuhan berfirman: "...Fal tuzakkû anfusakum wa huwa a'lamu bi man-ittaqâ" (Q.S., an-Najam: 32). Janganlah kau sucikan dirimu! Hanya Tuhan yang paling tahu siapa yang bertaqwa.

Besar kepala adalah natijah dari sifat buruk di atas. Akal dan hati tidak lagi berfungsi, yang bergerak hanyalah egoisme. Biarpun ribuan orang memberi tahu kesalahan kita, kita akan tetap membusungkan dada dan berkata "saya benar dan saya pasti selalu benar". Entah, kekuatan apa yang bisa menyadarkan manusia yang telah mencapai kepada "derajat" semacam itu. Mungkin kehancuran dari hasil kesalahannyalah yang dapat menyadarkannya.

Dalam hal ini, dialah yang menanggung kesalahan perbuatannya itu seratus persen. Tuhan sama sekali tidak bertanggung jawab. Tuhan telah membekali manusia dengan potensi kebaikan dan keburukan. Bekal itu murni diserahkan kepada manusia dan manusia bertanggung jawab dengan pilihan, dominasi sikap dan apa yang telah diperbuatnya. Tuhan berfirman: "fa alhamahâ fujûrahâ wa taqwâhâ. Qad aflaha man zakkâhâ wa qad khâba man dassâhâ". (Q.S., asy-Syams: 8) Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu jalan kefasikan dan ketakwaan (kebaikan dan keburukan). Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.

Sebagai antitesa dari sifat-sifat di atas, kita perlu mengedepankan sifat alternatif berupa rendah hati, selalu introspeksi dan siap mengakui kesalahan. Jika ratusan orang mengatakan bahwa perbuatan kita salah dan hati nurani kitapun mengatakan itu salah, seyogyanya kita tidak bersikeras untuk mengatakannya sebagai suatu kebenaran.

Dalam konteks keindonesiaan, sikap melemparkan kesalahan ke orang lain dan melupakan kesalahan diri sendiri adalah satu sikap yang membawa bencana bagi bangsa ini. Bangsa Indonesia terjangkiti sifat buruk membenarkan diri sendiri atau kelompok sendiri dan menyalahkan orang lain atau kelompok lain. Kita salahkan orang lain dan kita lupa bahwa kitapun kadang ikut andil di dalamnya.

Bangsa Indonesia sibuk menyalahkan satu dengan yang lainnya, sedangkan problem yang seharusnya kita carikan solusi bersama, kita abaikan. Bangsa Indonesia lupa bahwa common enemy kita adalah krisis multi dimensi, bukan kawan seiring, sesama anak bangsa.

Seyogyanya, kita punya kerendahan hati untuk mengakui kesalahan bersama dan memperbaikinya. Untuk selanjutnya, kita kedepankan pencarian solusi dari pada pencarian kesalahan. Di Renungan Ilir-Ilir Emha Ainun Najib berkata: "Masih tersediakah ruang di dada dan akal kepala kita untuk sesekali berkata kepada diri sendiri bahwa yang bersalah bukan hanya mereka, bahwa yang melakukan dosa bukan hanya dia, tapi juga kita".
                                                      




Menebar Salam
 
 

Rasulullah saw bersabda, ''Demi Zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, kalian sama sekali tidak akan masuk surga sampai kalian beriman. Sama sekali tidak dikatakan beriman, sebelum kalian saling mencintai. Maukah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang jika kalian lakukan, pasti kalian akan saling mencintai? Tebarkanlah salam di antara kalian.'' (HR Muslim).
Secara bahasa salam artinya keselamatan, kedamaian, ketenteraman, dan keamanan. Sedangkan salam yang dimaksud dalam hadis di atas adalah kalimat assalamualaikum.
Rasulullah bersabda, ''Setelah Allah menciptakan Adam, Allah berfirman, 'Pergilah dan ucapkan salam kepada mereka para malaikat yang sedang duduk. Kemudian, dengar, seperti apa salam mereka kepadamu. Sungguh itulah salam kamu dan juga keturunanmu.' Adam berkata, 'Assalamualaikum'. Para malaikat berkata, 'Assalamualaika warahmatullah'.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Islam adalah agama yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Allah saja, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesamanya, dan mengatur perlakuan manusia pada dirinya sendiri. Islam memerintahkan agar kita senantiasa menebarkan salam, kapan pun dan dimana pun, ketika bertamu ke rumah orang lain (QS An-Nur: 27), berkendaraan, berjalan, memulai pertemuan (HR Bukhari-Muslim), dan bahkan setiap kali bertemu dengan sesamanya (HR Abu Dawud). Menebarkan salam itu tidak cukup hanya dengan mengucapkan Assalamu'alaikum.

Namun, lebih dari itu adalah bagaimana keselamatan, kedamaian, ketenteraman, dan keamanan itu dapat diwujudkan. Di negara yang mayoritas penduduknya muslim ini, para pemimpinnya mulai dari yang teratas hingga yang terbawah selalu mengucapkan salam. Namun, mereka sepertinya tidak mau berusaha mewujudkan makna salam yang mereka ucapkan itu sehingga keselamatan, kedamaian, ketentraman, dan keamanan menjadi barang langka. Padahal Allah SAW sangat membenci orang yang hanya pandai berucap, tetapi tidak mau mewujudkannya (QS Ash-Shaf: 3).

Untuk mewujudkan makna salam itu setidaknya ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, beriman bahwa hanya hukum Allah yang mampu memberikan keselamatan, kedamaian, ketenteraman, dan keamanan. Kedua, usaha menerapkan aturan Allah itu secara menyeluruh melalui penerapan yang telah dicontohkan oleh Rasulullah saw dan generasi-generasi terbaik sesudah beliau.
Jika dua hal itu dilakukan, maka Allah SWT berjanji memberikan kendali kekuasaan di bumi ini kepada orang-orang yang memiliki keimanan tinggi, meneguhkan Islam sebagai satu-satunya agama yang diridai-Nya, dan mengubah keadaan yang penuh ketakutan ini menjadi keadaan aman sentosa (QS An-Nur: 55). Wallahu a'lam bish-shawab.





Menegakkan Keadilan
 
 

Suatu ketika pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab mengumumkan pembagian kain baju dari negara kepada seluruh kaum Muslimin. Pembagian ditetapkan harus adil dan sama rata. Tidak ada bedanya jatah kepala negara dan pejabat dengan rakyat biasa.
Pembagian baju dinyatakan selesai.

Seluruh warga mendapatkan bagiannya sama rata, tak terkecuali Umar bin Khathab, sang kepala negara. Namun, Umar bin Khathab tampak memakai baju yang besar karena badannya besar. Dan orang-orang mengetahuinya karena pembagian dilaksanakan secara terang-terangan.

Suatu saat Umar berkhutbah memberi semangat kepada kaum Muslimin untuk berjihad dan menjelaskan keutamaan jihad. ''Dengarlah dan taatilah,'' kata Umar dengan semangat. Namun, tidak ada suara gemuruh aplaus atau tanda mendukung khutbahnya itu. Malah secara bergantian terdengar suara cukup nyaring, ''Tidak ada perhatian dan tidak pula ketaatan.

Tidak ada tentara yang maju dengan senjata-senjatanya di medan pertempuran.''
Umar terheran-heran mendapati suasana seperti itu. Lalu ia bertanya, ''Mengapa? Semoga Allah memberi rahmat kepada kalian semua.'' Kemudian seseorang berkata dengan nada tinggi, ''Engkau mengambil kain sebagaimana yang kami ambil, tapi bagaimana kain itu pas bagimu, sedangkan engkau laki-laki berbadan tinggi besar? Pasti ada sesuatu yang engkau khususkan untuk dirimu sendiri?''

Mendengar penjelasan ini, Umar membela dirinya. Lalu, ia memanggil putranya, Abdullah bin Umar. Putranya itu diminta menjadi saksi dan mengumumkan kepada khalayak apa yang sebenarnya terjadi. Abdullah bin Umar pun bersaksi bahwasanya ia memberikan bagiannya kepada ayahnya sehingga ayahnya dapat memakai pakaian yang menutup auratnya, sesuai dengan postur tubuhnya.

Orang yang berbicara lantang tadi pun duduk dan berkata, ''Sekarang kami mendengar dan kami taat.'' Dan diikuti serempak oleh segenap hadirin. Subhanallah, betapa indah hubungan antara kepala negara dan rakyatnya. Kepala negara merasa tidak harus dilebihkan dari rakyatnya dan bebas ditegur, direformasi oleh warganya. Dalam artian, kepala negara ingin dimiliki dan berbuat untuk rakyat.

Begitu pula sistem pemerintahannya memandang semua warga sama dalam hak dan kewajiban.
Juga kita melihat profil kepala negara yang tidak menggunakan kekuasaannya untuk kepentingannya sendiri. Begitu pula keluarganya yang tidak menggunakan posisi itu untuk memperkaya diri. Dalam artian profil pejabat yang bersih dari praktik KKN.

Memang nuansa kehidupan bernegara seperti di atas sulit didapatkan saat ini, apalagi di negara kita. Di mana KKN sudah membudaya di setiap lini pemerintahan. Namun, semua itu bukannya tidak mungkin diubah, direformasi. Semuanya bergantung pada keseriusan dan kegigihan semua komponen bangsa dalam memberantasnya. Dan harus dimulai dan dibuktikan oleh para pemimpin bangsa ini.




Zikir Bukan Sebatas Bibir
 
 

Suatu waktu, Khalifah Umar bin Khattab kedatangan tamu dari negeri Himsy, salah satu wilayah kekuasaan Islam. Khalifah Umar dengan ramah tamah menghormati tamu-tamunya. Selang beberapa saat, Khalifah Umar mengadakan temu wicara dengan mereka. Ia banyak bertanya tentang kondisi rakyatnya di sana, baik pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraannya.

Seusai dialog, Khalifah Umar bin Khattab menyuruh para tamunya itu untuk mencatat dan melaporkan rakyatnya yang kurang mampu. Ketika membaca laporan tersebut, Khalifah Umar tiba-tiba terlihat kaget saat melihat nama Sa'id bin 'Amir tercantum dalam daftar orang miskin.

Dengan keadaan penasaran Khalifah Umar memanggil mereka dan bertanya. ''Wahai tamu-tamuku, siapakah gerangan Sa'id ibn 'Amir yang kalian maksud?''

Mereka menjawab, ''Beliau adalah gubernur kami dan salah seorang utusan Amirul Mukminin yang telah diamanahi tugas untuk memimpin kami.''

Pada saat itu, Khalifah Umar langsung menangis. Ia tak kuat menahan haru atas kejujuran serta keamanahan utusannya. Khalifah Umar pun segera memberikan hadiah khusus buat sang gubernurnya.

Sesampainya hadiah tersebut kepada Sa'id bin 'Amir, ia justru bukan merasakan kebahagiaan dengan mendapatkan bingkisan dari atasannya. Yang terjadi malah sebaliknya. Ia sangat khawatir dengan ujian kenikmatan mendapatkan materi.

Dengan bersegera, Sa'id pun membagikan kembali hadiah tersebut kepada rakyatnya yang betul-betul membutuhkannya. Ia bahkan tidak mengambil sepeser pun buat kepentingan pribadi dan keluarganya.

Sungguh dalam kisah ini terkandung banyak hikmah yang bisa kita petik. Seorang pemimpin besar yang mempunyai kekuasaan luas, walau ia belum sempat mengunjungi semuanya, tapi ia sangat telaten untuk mengetahui keadaan rakyatnya. Kebutuhan rakyatnya selalu ia perhatikan serta segera dipenuhi. Bukan malah sebaliknya, kebutuhan rakyat yang sangat mendasar dihilangkan atau kurang dipenuhi, sehingga menelantarkan dan menyusahkan mereka.

Begitu pula pejabat yang diamanahi tugas, betul-betul melaksanakan amanahnya. Para pembantunya tidak serta-merta karena mempunyai wewenang, lantas manfaatkan kedudukannya dengan mengeksploitasi segala hal untuk memenuhi keinginannya. Penunjukan pejabat bukan karena hasil kolusi dan nepotisme atau uang pelicin. Tapi, lebih berdasarkan pada profesionalisme. Dengan cara seperti itulah insya Allah semua tugas akan mampu dilaksanakan dengan baik. Sungguh, alangkah rindunya kita kepada tipe pemimpin dan pejabat seperti mereka. Wallahu a'lam.





Menjaga Aurat
 
 

Suatu ketika, Rasulullah Saw ditanya oleh seorang laki-laki, ''Wahai Rasulullah, apa yang seharusnya kami lakukan dan apa yang harus kami jauhi dari masalah aurat?''  Mendengar pertanyaan ini, Rasulullah Saw kemudian menjawab, ''Peliharalah auratmu kecuali kepada kepada istri-istrimu dan para budak yang ada dalam penguasaanmu.''  Lelaki itu bertanya lagi, ''Lalu bagaimanakah jika antara dua orang laki-laki?'' Rasulullah menjawab, ''Kalau engkau mampu untuk tidak melihatnya (melihat auratnya) maka lakukakanlah.''  Laki-laki itu bertanya lagi, ''Lalu kalau ia dalam keadaan sendiri?'' Untuk yang terakhir kalinya Rasulullah menjawab, ''Kalau demikian, maka Allah lebih berhak untuk dimalui (HR Tirmizi).

Dalam dialog itu, kita dapat mengambil beberapa hikmah yang coba disampaikan oleh Rasulullah Saw dalam kaitannya dengan usaha atau upaya menjaga aurat agar jangan sampai aurat itu diumbar seenaknya di depan khalayak ramai dengan berbagai dalih apa pun jua.

Pertama, menjaga aurat manusia adalah suatu hal yang mesti, karena ia sangat berkaitan dengan aib atau cela manusia. Menurut asal katanya, aurat berarti cela atau aib ataupun kekurangan pada diri manusia yang seharusnya dijaga dan disembunyikan agar tidak sampai terlihat oleh orang lain yang dikhawatirkan akan menimbulkan hal-hal negatif dalam kehidupan sosialnya.

Karena, terkadang segala bentuk kejahatan itu bersumber dari aurat manusia yang diumbar tak terkendali. Kita banyak mendengar ataupun membaca di berbagai media massa kasus-kasus perkosaan, misalnya, berawal dari melihat aurat orang lain sehingga membangkitkan nafsu bejatnya.

Ataupun, segala bentuk tarian erotis yang mengundang atau mengarah pada hal-hal negatif, atau minimal menjadi fantasi yang suatu saat ingin dilampiaskan pada orang lain. Karenanya, segala bentuk pornografi dalam bentuk pengumbaran aurat itulah sesungguhnya menjadi salah satu biang kerok yang pada akhirnya akan membawa manusia pada berbagai tindak kejahatan.

Kedua, bahwasanya aurat itu hanya diperuntukkan atau diperbolehkan untuk diperlihatkan kepada para istri atau suaminya. Ini menunjukkan bahwasannya kerukunan rumah tangga akan terwujud jikalau di antara anggota keluarga mampu memelihara auratnya sebaik mungkin, jangan sampai aurat itu diperlihatkan pada keluarga lain, karena bisa jadi itu akan menimbulkan fitnah di antara mereka.

Ketiga, Rasulullah Saw sangat perhatian terhadap hal-hal yang dalam pandangan manusia dianggap remeh, namun itu sesungguhnya besar. Seperti masalah aurat, meskipun tampak remeh, namun ia memiliki akibat yang luar biasa besarnya kalau ditunjukkan secara bebas pada manusia lain, yang memiliki keimanan yang tidak sama.

Karenanya, sebagai tindakan antisipatif, Rasulullah Saw jauh-jauh hari sudah memperingatkan manusia untuk menjaga auratnya masing-masing. Betapa pentingnya menjaga aurat, sampai-sampai sekiranya seseorang itu dalam keadaan sendirian, tidak ada yang melihatnya ataupun memperhatikannya, maka sesungguhnya pada waktu itu Allah SWT melihatnya.

Inilah pesan yang ingin disampaikan oleh Rasulullah Saw kepada seluruh umat manusia, untuk berperilaku dan berbuat dalam kehidupan sosialnya sebagai manusia yang bermoral, bukan manusia yang berperilaku hewan, yang tidak mengenal sama sekali apa itu adab, apa itu moral, yang dipikirkan hanya bagaimana untuk makan dan kejayaan walaupun itu ditempuh dengan cara-cara yang amoral.




Menyebarluaskan Salam
 
 

Suatu hari Thufail bin Ubay bin Ka'ab berkunjung ke tempat Abdullah bin Umar. Kemudian mereka pergi bersama-sama ke pasar. Di pasar, Abdullah putra Umar bin Khatab ini mengucapkan salam kepada siapa saja yang ditemuinya.

Pada hari lain, Thufail kembali mengunjungi rumah Abdullah bin Umar. Lalu, Abdullah mengajaknya pergi ke pasar lagi. Thufail berkata, ''Apa yang akan kamu lakukan di pasar nanti, karena kamu tidak akan membeli sesuatu, tidak akan mencari sesuatu, tidak akan menawar sesuatu, dan tidak akan duduk di pasar? Lebih baik kita duduk-duduk di sini dan berbincang-bincang saja.''

Abdullah menjawab, ''Wahai Abu Bathn (panggilan untuk Thufail karena mempunyai perut yang besar), kita pergi ke pasar untuk menyebarluaskan salam. Kita mengucapkan salam kepada siapa saja yang kita jumpai.''

Kisah singkat di atas merupakan satu teladan tentang kekonsistenan Abdullah bin Umar dalam mengamalkan ajaran Rasulullah SAW. Dalam kisah tadi, Abdullah lebih memilih pergi ke pasar untuk bersilaturahmi dan menyebarluaskan salam kepada banyak orang daripada hanya duduk di rumah. Menyebarluaskan salam akan menambah pahala dan saudara, sedangkan duduk berbincang di rumah belum tentu menambah pahala. Bahkan, bisa jadi akan menambah dosa, kalau membicarakan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Mengucapkan salam sangat dianjurkan dalam Islam. Ia merupakan tahiyatul Islamiyah, sapaan resmi para malaikat, para nabi dan rasul, serta para penghuni surga kelak. Allah SWT berfirman: ''Sudahkah sampai kepadamu (Muhammad) cerita tamu Ibrahim (malaikat-malaikat) yang dimuliakan? (Ingatlah) ketika mereka masuk ke tempatnya lalu mengucapkan, 'Salaaman', Ibrahim menjawab, 'Salaamun'.'' (QS Adz-Dzaariyat 24-25).

Dilihat dari artinya, memberi salam berarti memberikan doa, sehingga dinilai ibadah. Oleh karena itu, dianjurkan untuk memjawab salam dengan kalimat yang lengkap, walaupun orang yang memberikan salam tidak lengkap. Menjawab salam secara lebih lengkap merupakan suatu penghormatan kepada yang memberikannya. Allah SWT berfirman: ''Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik, atau balaslah (dengan yang serupa).'' (An-Nisaa 86).

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Kamu sekalian tidak akan masuk surga sebelum beriman dan kamu sekalian tidaklah beriman sebelum saling mencintai. Maukah aku tunjukkan sesuatu yang apabila kamu mengerjakannya maka kamu sekalian akan saling mencintai? Yaitu, seberluaskanlah salam.'' (HR Muslim).

Jadi, jelaslah mengucapkan salam bisa memperkuat jalinan silaturahmi, sehingga makin tumbuh rasa cinta di antara umat Islam. Kondisi bangsa Indonesia yang majemuk, perbedaan suku dan karakter yang cukup menonjol, adalah kondisi yang ideal dalam penyebarluasan salam. Sehingga, dengan salam kerukunan di antara penganut agama Islam bisa terjaga. Semoga.





Muslimah Sejati
 
 

Di zaman yang penuh kebebasan ini banyak sekali wanita Muslimah yang tidak memiliki ciri Muslimah. Mereka bersikap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam. Seperti dalam masalah materi, wanita Muslimah seharusnya lebih mementingkan yang halal daripada jumlahnya.

Muslimah sejati tergambar pada riwayat yang menyebutkan bahwa seorang wanita ketika melepaskan suaminya yang akan pergi bekerja mencari nafkah berkata, "Bawa pulanglah rezeki yang halal, jika tidak kau dapatkan maka kami lebih rela kelaparan daripada menerima siksa api neraka."

Keimanan wanita ini menjadikan dia mengucapkan kata-kata yang jika kita ukur dengan keadaan sekarang sungguh aneh dan berbeda. Tetapi, itulah Muslimah sejati. Dia lebih senang kekurangan harta dan makanan daripada harus kelak menanggung beban siksaan api neraka.

Suami dari wanita seperti ini tentu tidak akan mau melakukan keharaman demi menyenangkan hati istri dan keluarganya. Tidak akan muncul para koruptor, penipu, maling, dan perampok, serta orang-orang yang berlumuran dengan riba, karena para istri menolak menerima uang haram.

Riwayat lain menyebutkan tentang Muslimah sejati yang perlu diteladani dan direnungi oleh wanita sekarang. Ada seorang wanita yang tengah ditinggal oleh suaminya pergi berjihad fi sabilillah. Wanita tetangganya berkata kepadanya, "Bagaimana kau biarkan suamimu pergi meninggalkanmu dan anak-anakmu, siapa yang akan memberi makan kalian sekeluarga?" Wanita itu menjawab dengan penuh keimanan, "Setahuku suamiku itu akkaal (orang yang selalu makan) bukan Razzaaq (yang selalu memberi rezeki), jika akkaal telah pergi maka Razzaaq masih ada."

Pemahaman yang jernih wanita ini memberinya keyakinan bahwa yang memberikan rezeki itu adalah Allah maka jika pun suaminya pergi berjihad, tidak ada keraguan dalam hatinya untuk melepaskan pergi berjuang. Adapun yang akan memberikan rezeki baginya dan anak-anaknya adalah Allah, Ar Razzaaq.

Keyakinan seperti ini yang harus dimiliki oleh setiap Muslimah agar dunia ini tegak berdasarkan Islam, karena bagaimana mungkin para pejuang akan ikhlas jika para istri masih saja memberati suami mereka, takut menghadapi tantangan hidup dan menjadi orang-orang yang lemah iman dan daya juangnya.

Walhasil, para Muslimah sejati seperti ini harus ditumbuhkembangkan agar kehidupan ini lebih baik dan Islami. Dan benarlah perkataan seorang bijak yang menyebutkan bahwa, "Di balik setiap laki-laki yang hebat itu ada wanita yang hebat yang pula."



Musuh Bersama
 
 

Salah satu hal yang harus dijadikan musuh bersama orang-orang beriman adalah kesombongan atau ketakaburan. Iblis dikutuk Allah SWT karena kesombongan yang dimilikinya, yang menjadikan ia tidak mau melakukan sujud/memberikan penghormatan kepada Nabi Adam As (perhatikan QS 2: 34 dan QS 7: 12--13).

Ditenggelamkannya Firaun di Laut Merah oleh Allah SWT ketika mengejar Nabi Musa dan orang-orang yang bersamanya itu karena kesombongan dan kecongkakannya. Ia merasa memiliki kekuasaan yang begitu hebat dan anak buah yang begitu banyak, sehingga merasa diri Tuhan (perhatikan QS 10: 90--91 dan QS 79: 24).

Kisah Qarun yang digambarkan di dalam QS 28: 78--81, menjelaskan kepada kita bahwa kesombongan yang ada pada dirinya karena memiliki kekayaan yang begitu luar biasa banyaknya, telah mengantarkannya pada kehancuran dan kecelakaan hidup, yaitu dengan dibenamkan oleh Allah SWT beserta seluruh kekayaannya itu ke bumi.

Kesombongan dan ketakaburan menyebabkan pula seseorang terhalang mendapatkan hidayah (perhatikan QS 7: 146), seperti terjadi pada Abu Jahal, yang merasa memiliki kekuatan dan pengaruh sehingga merasa tidak perlu pertolongan Allah SWT dan menafikan ajakan Rasulullah SAW untuk beriman kepada-Nya, seperti digambarkan dalam QS 96: 6--7. Kesombongan ini pulalah yang menyebabkan seseorang tidak akan pernah merasakan wanginya surga (Al-Hadis).

Kesombongan dan keangkuhan ini pulalah yang menyebabkan George W Bush dan sekutunya (semoga Allah malaknat mereka) melakukan agresi dan menyulutkan api peperangan terhadap negara berdaulat, Irak, tanpa persetujuan Dewan Keamanan PBB.

Dengan kesombongannya, Bush menyatakan bahwa peperangan ini untuk menyelamatkan dunia internasional dari perilaku Saddam Hussein yang memiliki senjata pemusnah massal. Padahal tim inspeksi senjata PBB telah melakukan tugasnya dan menyatakan tidak terdapat bukti adanya senjata tersebut.

Kesombongan Bush telah merusak tatanan kehidupan dunia umat manusia, nilai-nilai kemanusiaan, dan bahkan peradaban. Korban-korban nyawa orang-orang yang tidak berdosa dan kerusakan material maupun psikologis banyak berjatuhan.

Dunia internasional yang beradab dan bermoral harus menjadikan kesombongan Bush dan sekutunya sebagai musuh bersama yang harus dilawan secara bersama-sama pula dengan cara yang sesuai dengan kaidah internasional dan nilai-nilai kemanusiaan universal.

Kita harus memperlihatkan kepada dunia bahwa kesombongan, betapapun hebatnya, bisa dikalahkan oleh kekuatan moral, akhlak, dan diplomatik yang terorganisasi dengan rapi dengan menjadikan kekuatan rakyat sebagai basisnya. Wallahu a'lam bi ash-shawab.





Ngerumpi
 
 

Ketika kita menonton televisi, banyak sekali ditemukan acara tentang gosip para seleberiti. Ini menunjukkan betapa pemirsa televisi, masyarakat kita, amat menyenangi gosip: ngerumpi. Yang salah satu konsekuensinya, kita tahu sempat ada "perang" antarartis. Bahkan, ada tuntutan sampai miliaran rupiah.

Itulah sebabnya Nabi Muhammad Saw mengumpamakan kepada orang yang melakukan ghibah, ngerumpi itu tadi, seperti layaknya orang yang memakan daging saudaranya sendiri yang sudah meninggal. Orang yang telah meninggal tentu tidak merasakan jasadnya disakiti.
Alkisah, suatu ketika di zaman Rasulullah, seseorang dihukum rajam karena melakukan perbuatan zinah. Orang itu sudah betul-betul bertobat dan bersedia dirajam demi membersihkan dosa besarnya. Tapi, tiba-tiba Rasulullah mendengar dua orang laki-laki menggunjingkan orang yang mati diranjam itu, menjelek-jelekkan orang yang dirajam itu bak seekor anjing.

Nabi saw berkata, "Wahai kalian fulan berdua, apa yang kamu ceritakan tentang saudaramu itu tadi lebih menjijikkan daripada makan bangkai himar. Demi Allah, sesungguhnya dia (yang mati dirajam itu) sekarang sedang bersenang-senang di sungai-sungai di surga dan berendam di dalamnya, dalam kenikmatan."

Ghibah artinya mengumpat atau menggunjing, yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain yang tidak hadir di hadapannya, dengan perkataan yang tidak disukai seandainya orang yang digunjingkan itu mendengarnya. Baik faktanya benar ataupun tidak, tetap merupakan dosa dan haram hukumnya.

Ghibah menjadi gosip yang semakin menyebarluaskan berita aib yang terkadang dibumbui lagi dengan berbagai macam cerita, hingga jauh menyimpang dari kenyataan yang sesungguhnya dan dapat mengarah ke fitnah yang dosanya jauh lebih besar dari pembunuhan. Ghibah hanya akan menebar benih permusuhan, menimbulkan dendam, dan kebencian.

Orang yang melakukan ghibah, sesuai sabda Rasulullah, akan mengalami kerugian besar, bangkrut, karena pahala amal kebaikannya, yang dia kumpulkan dengan susah payah, siang maupun malam, harus dia berikan kepada orang yang menjadi sasaran rumpiannya. Dosa-dosa orang yang digosipkan akan ditanggung oleh yang menggosipkan. Maka, bangkrutlah amal ibadahnya. Naudzubillah.

Jika tak bisa berkata baik, lebih baik diam, sesuai sabda Rasulullah, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhirat, maka hendaklah ia berkata baik, atau (jika tidak bisa) hendaklah diam." (HR Buchori dan Muslim). Berumpi ria, nikmat rasanya, gampang dilakoninya, perih akibatnya.







Nilai Manusia
 

 

Abu Said Al-Khudri, seorang sahabat terkenal, menuturkan bahwa Abu Bakar pernah bercerita di hadapan Nabi saw. Saat itu Abu Bakar menuturkan pengalamannya melihat seorang lelaki berwajah tampan sedang melakukan salat dengan khusyuk ketika melintasi padang pasir. ''Pergi dan bunuhlah orang itu,'' kata Nabi. Abu Bakar segera pergi menemui lelaki itu, yang masih dalam keadaan seperti semula. Abu Bakar ragu untuk membunuhnya. Akhirnya ia kembali kepada Rasulullah.

Nabi kemudian memanggil Umar bin Khatab. ''Pergilah ke sana dan bunuhlah lelaki itu,'' perintah Nabi kepada Umar. Umar pun segera pergi. Umar melihat lelaki itu sedang larut dalam ibadahnya. Umar tidak sampai hati membunuhnya. Akhirnya ia pun kembali menghadap nabi. ''Wahai Nabi, yang aku lihat adalah seorang lelaki yang sedang salat dengan sangat khusyuk. Aku tidak tega membunuhnya,'' ujar Umar. Nabi akhirnya menyuruh Ali untuk membunuhnya.

Ali segera pergi ke sana, tetapi ia tidak menemukan lelaki itu. Ali kembali menghadap Nabi, lalu memberitahukan hal itu kepada Beliau. Nabi berkata, ''Orang itu dan kawan-kawannya membaca Alquran hanya sampai tenggorokan. Mereka telah keluar dari agama bagai anak panah melesat dari busurnya. Bunuhlah mereka! Karena mereka adalah seburuk-buruk makhluk di muka bumi.'' (HR Muslim).
Dalam hadis lain dikisahkan bahwa seorang kali-laki lewat di hadapan Nabi saw. Lalu Nabi bertanya kepada para sahabat, ''Bagaimana pendapat kalian mengenai laki-laki ini?'' Mereka menjawab, ''Laki-laki ini pantas jika melamar, dinikahkan; jika meminta tolong, ditolong, dan jika berkata, didengar.'' Nabi diam.

Kemudian lewat lagi laki-laki Muslim dari kalangan kaum fakir miskin, maka Nabi bertanya, ''Bagaimana pendapat kalian tentang laki-laki ini?'' Mereka menjawab, ''Laki-laki ini pantas; jika melamar, ditolak lamarannya; jika meminta tolong, tidak diberi pertolongan; dan jika berkata, tidak didengar.'' Maka Rasulullah bersabda, ''Laki-laki terakhir ini lebih baik daripada sepenuh bumi laki-laki seperti itu.'' (HR Bukhari)
Kedua kisah tersebut di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa nilai baik buruknya manusia tidak dilihat hanya dari penampakan luarnya saja.

Manusia dianggap baik bukan karena ketampanannya, kekayaannya, jabatan/kedudukannya, kepintarannya, keterpandangnya atau keterhormatannya di mata masyarakat. Begitu pula manusia dianggap buruk bukan karena kejelekan rupa dan kemiskinan serta kedudukannya di masyarakat.

Namun, nilai manusia itu, baik atau buruk, di mata Allah bergantung pada ketakwaannya. Seorang miskin yang bertakwa lebih mulia bila dibandingkan dengan seorang ulama yang membohongi umatnya, yang menyimpangkan pemahaman umat terhadap kemurnian ide Islam, meskipun ilmunya lebih banyak. Mahasuci Allah yang menilai manusia bukan karena sesuatu yang tampak.





Nilai yang Lebih Mulia
 
 

Seseorang yang sudah menyatakan diri sebagai hamba Allah, maka ia mempunyai kewajiban untuk menaati perintah dan menjauhi larangan Allah. Bahkan dalam perbuatannya ia akan senantiasa mengutamakan nilai perbuatan yang lebih mulia. Ia akan mencintai Allah dan Rasul-Nya di atas segala-galanya. Ia mau mengorbankan kepentingan; kesenangan; dan harta; bahkan keluarga; demi Allah, Rasul, dan jihad di jalan-Nya. Ia mampu mengorbankan keterikatannya terhadap siapa pun demi berjuang di jalan Allah dan menempatkan dakwah sebagai poros hidup.
Rasulullah SAW telah mengajarkan kepada kita urutan nilai yang lebih mulia, dengan sabdanya, "Manakala kalian telah melakukan transaksi jual beli dengan cara 'al-ienah dan kalian lebih memilih mengikuti buntut sapi, serta lebih rela dengan tanaman-tanaman kalian, sementara kalian meninggalkan jihad, niscaya Allah akan menimpakan kehinaan atas kalian, yang tidak akan dicabut-Nya sebelum kalian kembali kepada agama kalian". Bahkan para sahabat Rasulullah dahulu telah memberikan gambaran kepada kita bagaimana mereka mengisi kehidupannya dengan nilai yang lebih mulia.
Pada suatu hari Khalid bin Walid berkata, "Tidak ada suatu malam pun, tidak malam pengantin, tidak juga malam lahirnya anak laki-laki, yang dapat menandingi kegembiraanku daripada malam yang sangat dingin ketika aku dengan ekspedisi para mujahidin melakukan serangan fajar terhadap orang-orang musyrik".
Begitu juga Qadli Baha'uddin bin Syaddad pernah mengatakan perihal Shalahuddin Al-Ayyubi ra, "Sungguh kecintaan Shalahuddin terhadap jihad benar-benar telah merasuk ke hati dan seluruh anggota badannya. Tidak ada yang dibicarakannya, kecuali jihad; tidak ada yang digagasnya, selain peralatan jihad; tidak ada yang diperhatikannya, melebihi pasukan jihadnya; dan tidak ada kecenderungannya, kecuali kepada orang yang senantiasa mengingat jihad dan mengobarkan semangat jihad. Demi kecintaannya kepada jihad fi sabilillah, ia rela meninggalkan keluarga, anak-anak, dan kampung halamannya, bahkan seluruh negerinya. Ia lebih puas tinggal di bawah naungan kemah yang diterpa angin dari kanan-kirinya". Begitulah gambaran seorang muslim yang mempunyai tujuan hidup mencari rida Allah.
Saat ini, kita mempunyai banyak kesempatan untuk melaksanakan nilai yang lebih mulia, berjuang untuk mendakwahkan Islam, menyadarkan masyarakat, dan mengembalikan kejayaan Islam. Saat inilah kita bisa membuktikan seberapa besar kecintaan kita kepada Allah dan Rasul-Nya dengan bersama-sama menyatukan kekuatan, menghancurkan musuh-musuh Islam, dan menerapkan Islam secara sempurna, di bumi ini. Tiada kemuliaan, kecuali dengan Islam; tiada Islam, kecuali dengan penerapan syariat Islam; dan tiada penerapan syariat Islam, kecuali dengan daulah khilafah Islamiyah.
Wallahu 'alam.




Optimisme
 
 

Imam Malik, dalam bukunya Al-Muwatha' meriwayatkan bahwa Abu 'Ubaidah ibn al-Jarrah, sahabat Nabi yang memimpin pasukan Islam menghadapi Romawi pada masa pemerintahan Umar bin Khattab, suatu ketika menyurati Umar, menggambarkan kekhawatirannya akan kesulitan menghadapi pasukan Romawi.

Umar menjawab, "Betapapun seorang Muslim ditimpa kesulitan, Allah akan menjadikan sesudah kesulitan itu kelapangan, karena sesungguhnya satu kesulitan tidak akan mampu mengalahkan dua kelapangan.

Kesulitan dan kelapangan adalah dua hal yang senantiasa berputar menimpa diri manusia, silih berganti. Kesulitan identik dengan kegagalan dan kesengsaraan. Seseorang yang ditimpa kesulitan, maka ia tengah berkutat dengan kekhawatiran dan kesedihan.

Kelapangan yang dimaksud dalam jawaban Umar merupakan bentuk penyikapan terhadap kesulitan, mengubah energi negatif menjadi energi positif. Kelapangan akan mampu mengalahkan kesulitan tatkala dalam diri pemilik kesulitan terpatri sikap optimisme (QS Asy-Syarh: 5-6).

Optimisme tidak berarti kepercayaan diri berlebih, bukan pula kepasrahan jiwa. Akan tetapi, sebentuk semangat yang bersemayam dalam hati untuk senantiasa berusaha dan berupaya ketika kesulitan menimpa.

Di samping itu, dalam konteks seorang Muslim, optimisme merupakan pemicu agar kita bersungguh-sungguh dalam melaksanakan suatu pekerjaan, walaupun baru saja menyelesaikan pekerjaan yang lainnya. Tiada kekosongan setelah satu bidang terpenuhi (QS Asy-Syarh: 7).

Rasulullah Saw mengajak umatnya agar terus-menerus bekerja dan berusaha tanpa menggantungkan diri kepada orang lain. Sabda beliau, "Demi Tuhan, sesungguhnya seseorang di antara kamu mengambil tali, kemudian mengikat sekeping kayu dan memikul di punggungnya untuk dijual, sehingga Allah memelihara air mukanya dari meminta-minta, adalah lebih baik daripada ia meminta kepada orang lain, baik ia diberi maupun tidak." (HR Bukhari).

Sepatutnya sikap optimisme tetap tersemai di hati umat Islam. Membangun sikap optimisme, setidaknya ada dua hal yang seyogianya kita lakukan, Pertama, melakukan perbaikan diri lewat usaha-usaha konkret dan amal nyata. Sesungguhnya keterpurukan menimpa umat Islam karena kita belum mampu menghasilkan karya berharga bagi umat. Kata belum menjadi perbuatan. Konsep belum berwujud aksi.

Kedua, yakin akan ada kelapangan di hari kemudian. Kelapangan yang diperoleh dari kesungguhan, kontinuitas beramal, dan berinovasi tiada henti dengan dibarengi keyakinan adanya bantuan Ilahi. "Sesungguhnya kewajiban kita lebih banyak dari waktu yang tersedia," demikian kata Muhammad Abduh.




Pelajaran Dari Adam
 
 

Hingga kini Indonesia masih terjerembab dalam kubangan krisis. Tidak ada yang bisa meramal musibah ini berakhir. Para pakar ekonomi dan politik juga telah mengemukakan penyebab krisis serta memberi solusinya. Meski berbagai ''obat'' sudah dicoba, tetapi belum ada tanda-tanda perbaikan ekonomi negara ini.

Sebenarnya bukan obat tidak mujarab, tetapi karena jiwa para penyelenggara negara ini sakit. Terbukti, hingga kini korupsi masih terus terjadi di berbagai level birokrasi pemerintahan. Mulai dari tingkat desa hingga kepresidenan, mulai dari DPRD II hingga DPR, disebut di pelbagai media, mereka berlumuran korupsi.

Dengan kata lain, menurut psikologi, bangsa ini menderita psikosomatis: sakit fisik dan jiwanya. Bagaimana penyembuhannya? Ada baiknya para pemimpin di negara ini mengambil pelajaran moral dari Nabi Adam AS.

Sebelum diberi sanksi, Adam diberi kenikmatan yang melimpah-ruah. Allah SWT menjamin kehidupan Adam dalam firman-Nya, ''Sesungguhnya kamu tidak akan kelaparan di dalamnya dan tidak akan telanjang. Sesungguhnya kamu tidak akan merasakan dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari di dalamnya.'' (QS Thaha:118--119).

Adam diberi kebebasan untuk mendapat segala kenikmatan yang diberikan Allah. Namun, Allah memberikan ujian agar Adam jangan mendekati pohon khuldi. Dalam perjalanan waktu, Adam lalai dan tergoda oleh bujukan setan dan memakan buah khuldi. Allah lalu memberi sanksi, Adam dan istri, Hawa, dikeluarkan dari surga dan diturunkan ke bumi.

Firman Allah, ''Hai Adam, berdiamlah kamu dan istrimu di surga ini. Makanlah makanan yang baik dan lezat sesukamu. Janganlah kamu mendekati pohon ini, yang menyebabkan kamu menjadi orang di antara orang-orang yang zalim.'' (QS Al-Baqarah:35).

Menurut Dr Muhammad Mutawalli Asy-Syakrawi (Min Qadhaya al-Fikril Islami al-Muaasir, Riyadh, 1984:4--5) firman Allah ''Janganlah kamu berdua mendekati pohon ini,'' bukan, '' janganlah kamu memakan buah khuldi,'' memberi penafsiran lebih dalam. Bahwa arti ''jangan mendekati'' itu lebih dalam maknanya daripada ''jangan memakan''.
Dalam kasus korupsi di Indonesia, sebenarnya berbagai perangkat hukum sudah cukup jelas untuk menjerat para pelaku korupsi, tetapi pelanggaran terus berlangsung.

Oleh karena itu, untuk memberantas korupsi kiranya tidak cukup hanya mempertegas undang-undangnya, tetapi lebih jauh moral para penyelenggara pemerintah dan aparat negara ini harus ditegakkan. Penegakkan moral anti korupsi: jangan mendekati korupsi, apalagi melakukannya. Karena kalau sudah melakukan korupsi, mereka akan menjadi orang zalim dan Allah akan melaknat mereka.





Pemimpin Idaman
 
 

''Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul, serta ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.'' (QS. 4: 59).

Rasulullah telah mengingatkan betapa kita harus hati-hati dalam memilih seorang pemimpin. Bahkan, Rasulullah dengan tegas melarang memberikan amanah (kekuasaan) kepada orang yang meminta kekuasaan. Allah pun telah memberikan tuntunan kepada kita agar jangan menjadikan orang yang berlainan akidah sebagai pemimpin.

Perhatikan firman-Nya, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.'' (QS 5:51).

Memilih pemimpin tidak sama dengan membeli kucing dalam karung. Kita harus mengetahui semua aspek tentang calon pemimpin kita. Dan kita pun harus mempunyai kriteria bagaimana pemimpin yang baik dan tepat. Lalu, pertanyaan kita bagaimana pemimpin yang baik dan tepat itu?

Sejarah telah memberikan contoh mengenai kriteria seorang pemimpin yang baik dan tepat. Pertama, ia merupakan seorang yang beriman dan bertakwa (lihat QS 5:51). Ia merupakan seorang yang istiqamah (konsisten) dan saleh. Kedua, ia orang yang berakhlak (perilaku) baik dan terpuji. Ia tidak pernah terlibat tindakan kriminal, KKN, atau tindakan yang merugikan masyarakat dan bangsa. Ia seorang yang jujur, amanah, dan sederhana.

Ketiga, ia merupakan seorang yang memiliki kemampuan dan kapabilitas dalam memimpin. Keempat, ia memiliki keberpihakan yang jelas kepada kaum lemah (rakyat kecil). Ia juga memiliki rasa kasih sayang kepada mereka. Dan kelima, ia merupakan seorang yang adil.

Dalam konteks kekinian ketika wacana calon presiden sedang digembar-gemborkan, kita harus jeli memilah dan memilih siapa calon yang paling baik untuk memimpin bangsa ini. Kita harus pandai membedakan mana pemimpin yang benar-benar ikhlas membantu bangsa ini keluar dari krisis dan pemimpin yang hanya sekadar mengejar kekuasaan dan harta.

Umat Islam, sebagai mayoritas bangsa ini, memiliki posisi penting dalam menentukan siapa pemimpin bangsa ini dan menentukan arah perjalanan mengubah sejarah bangsa ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, kita harus segera tersadar, bangun dari buaian mimpi yang membelenggu. Mari kita tingkatkan ukhuwah Islamiyah di antara kita. Jangan sampai kita terperosok ke lubang yang sama untuk kedua kalinya. Naudzubillahi min dzalik.
Sumber : Republika Online





 

Suatu hari di Kota Thaif. Pada saat itu Rasulullah SAW sedang melakukan upaya thalabun nusyroh (mencari pertolongan dan perlindungan) kepada masyarakat Thaif, sebuah kota yang bertetangga dengan Makkah. Beliau mengharapkan mereka masuk Islam. Sementara itu, tekanan kaum kafir kepada kaum muslimin sangat berat karena penyebaran dakwah Islam di Makkah berkembang pesat.

Tetapi, upaya Rasulullah mengalami kegagalan. Bahkan sebagai balasannya justru olok-olok anak-anak kecil dan orang-orang bodoh yang beliau terima. Mereka melempari Rasulullah dengan batu, diiringi cacian dan hardikan. Tak ada jalan lain kecuali menyelamatkan diri. Saat itu, laki-laki agung ini terluka. Peluh menetes, napas yang tersengal-sengal, dan pakaian yang kotor serta kaki yang berdarah.

Untunglah, Rasulullah sampai di sebuah kebun anggur milik dua orang lelaki musyrik, 'Utbah dan Syaibah bin Rabi'ah. Rasulullah memasuki kebun anggur itu, beristirahat dan berlindung dari kejaran orang-orang Thaif. Air mata Rasulullah SAW menetes. Terasa pilu dan sangat menyedihkan. Diangkatnya kedua tangan menghadap langit, mengadukan keadaannya, seraya berucap:

"Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadukan lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya upayaku, serta tidak berdayanya aku menghadapi manusia. Wahai Dzat Yang Maha Pengasih di antara hamba-hamba yang pengasih, Engkau adalah Rabbnya orang-orang yang lemah dan juga Rabbku.

Kepada (siapa aku mengadu), apakah kepada Dzat yang membebaniku, atau kepada sesuatu yang jauh dan menerimaku dengan muka masam, ataukah kepada musuh? Sementara Engkau menguasakan perkaraku? Jika saja kemurkaan-Mu tidak menimpaku, tentu aku tidak peduli. Akan tetapi, ampunan-Mu lebih luas untukku daripada kemurkaan-Mu yang akan Engkau timpakan kepadaku, atau Engkau tempatkan aku dalam kemurkaan-Mu. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu, yang engkau hapus segala kegelapan dengan terbitnya (cahaya-Mu), dan Engkau selaraskan urusan dunia dan akhirat dengan baik di atasnya. Hanya untuk-Mu segala kerelaan hinga Engkau ridla. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama-Mu."

Sementara itu, si pemilik anggur mendengar ada suara di kebunnya. Rasa ingin tahu menguasai rongga dada, tetapi tak ingin ia mengusik orang yang dirasanya asing tersebut. Sebaliknya, dia dengarkan dengan khusyuk apa yang diucapkan orang asing itu, yang tak lain Rasulullah SAW. Terpesona dengan ucapan doa yang belum pernah didengarnya.

'Utbah dan Syaibah pun memberanikan diri mendekat dan bertanya tentang jatidiri Rasulullah serta meminta penjelasan mengenai hakikat dari ucapan doa yang beliau panjatkan. Singkat cerita, hasil dialog itu menjadikan dua lelaki musyrik pemilik kebun anggur itu menjadi muslim.

Kisah hidup Rasulullah SAW adalah hikmah abadi bagi kehidupan manusia. Sepenggal sejarah dakwah Rasulullah ini menyadarkan kita tentang semangat yang pantang menyerah, dan anti putus asa. Sedih, terluka, terhina, boleh saja, tetapi tidak berarti menyurutkan langkah dalam menyuarakan kebenaran, yaitu Islam.

Tentu, seharusnya malu bagi kita, jika dalam kondisi biasa-biasa saja, atau bahkan dalam kondisi yang serba mudah, kita malas atau bahkan takut untuk menyampaikan kebenaran. Padahal Rasulullah memberi teladan yang sebaliknya. Sungguh, amat dangkal orang yang berpikir dan menyatakan bahwa ''saat ini menyampaikan yang haram saja susah, apalagi menyampaikan yang halal''. Wallahu a'lam bishowab.

Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Hikmah Edisi Pertama


Artikel Hikmah Edisi Pertama ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
Stumble
Delicious
Technorati
Twitter
Facebook

0 Comments:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

HACKING

Terbaru >>

Top Post >>

Blog Archieve >>

 

S E R V I C E ' s aLL ShArE Copyright © 2010 Endy_Djubu is Designed by 3nfitry