|
||
“Apabila Allah menghendaki kebaikan
pada suatu keluarga. Dia memperdalamkan pengetahuan agama kepada mereka.
Menjadikan anak-anak mereka menghormati orang tua mereka. Memberikan kemudahan
pada kehidupan mereka. Kesederhanaan dalam nafkah mereka dan memperlihatkan aib
mereka, sehingga mereka menyadarinya,lalu menghentikan perbuatannya.
Namun,apabila menghendaki sebaliknya, Dia meninggalkan dan menelantarkan mereka.”
(H.R. Daaruqthni )
Semoga Allah yang Maha Mengatur Segala Kejadian serta Maha Memudahkan Segala Urusan melindungi hamba-hamba-Nya dari sikap berkecil hati,terutama manakala kepada kita dikaruniakan niat dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup. Sebagian kecil dari kisah kehidupan yang terpapar berikut ini, masya Alloh,telah menunjukan kepada kita betapa tidak mudah mengayuh bahtera rumah tangga itu. Tidak cukup hanya diawali dengan keinginan untuk menikah belaka. Karena, ternyata tidak sedikit pasangan yang telah memasuki dunia rumah tangga menemui kenyataan bahwa pergantian hari-harinya telah menjadi pergantian kesusahan yang satu ke kesusahan berikutnya. Pernik-pernik masalah seakan telah menjadi seluruh dinding rumahnya.
Seorang ibu rumah tangga yang mengaku telah 16 tahun berumah tangga serta telah dikaruniai 3 orang putra-putri yang sehat dan cerdas, menumpahkan keluhan mengenai masalah rumah tangganya di rubrik konsultasi sebuah surat kabar. Dari segi materi duniawi, mereka keluarga yang berkecukupan karena keduanya bekerja di kantor.
Akan tetapi, ada ganjalan yang semula diabaikan dari pikiran sang istri. Ia merasakan pernikahannya terasa manis pada hari Sabtu dan Minggu saja, yakni ketika keduanya tidak ngantor, sehingga dapat berkumpul dengan seluruh keluarga. Selebihnya, dari Senin sampai Jumat, terasa hambar. Suaminya berkantor di sebuah gedung pusat perkantoran modern, yang menurut anggapan sang istri, tentulah setiap harinya akan bertemu dengan segala macam wanita, dari yang berbusana minim sampai yang bergaun sebatas tumit. Pemandangan semacam itu akan ditemui sang suami dari Senin hingga Jumat. Sedangkan, sang istri mengaku penampilannya di rumah biasa-biasa saja. Kini ia rasakan tidak lagi seramping dulu. Rata-rata suaminya pergi ke kantor sejak subuh dan pulang malam hari. Artinya, selama 15 jam setiap harinya. Ketika tiba di rumah pun, kegiatan-nya hanya makan malam, lalu pergi tidur. Begitu yang terjadi setiap hari. Suaminya seperti sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk berbincang-bincang dengannya. Kalaupun ia bertanya tentang sesuatu, jawaban yang keluar dari mulut sang suami singkat-singkat saja. Kalau suatu ketika ia bercerita tentang sesuatu, ia tidak tahu apakah didengarkan atau tidak karena suaminya Cuma diam dan acuh tak acuh. Kalaupun mengomentarinya, pastilah kata-kata yang terlontar itu berbau memojokkan sang istri.
Satu hal yang paling ia benci adalah saat tiba hari Minggu malam. Sepulang dari suatu tempat, biasanya suaminya mulai ketus. Bahkan tidak jarang keduanya terlibat lagi dipersoalkan sang suami adalah sikap sang istri yang dinilai cerewet dan suka mengatur. Suaminya mulai bersikap baik lagi kalau tiba Jumat malam. Karena, Sabtu paginya mereka akan berkumpul bersama lagi hingga Minggu petang. Yang lebih repot lagi, ia sering bermimpi bahwa suaminya menyeleweng dengan wanita lain. Sehingga, kalau sang suami lagi tampak terdiam melamun, ia pun langsung teringat akan mimpinya tersebut. Karuan saja dari hari ke hari kian bergumpal kecemasan dan kegelisahan yang tak berujung dan berpangkal.
Itulah gambaran tentang satu sisi getir dari kehidupan berumah tangga, yang bias dialami oleh siapa saja, tanpa terkecuali. Lebih-lebih pada pasangan muda, yang notabene pengalaman berumah tangganya masih sedikit. Tentu cerita nyata ini tidak mengajak siapa pun untuk bersikap pesimistis dan cemas sebelum berbuat. Bagaimanapun pernik-pernik problematika rumah tangga semacam ini bisa juga terjadi menimpa kita. Terutama, kalau ada sesuatu yang tidak sempat kita persiapkan, baik sebelum memasuki gerbang pernikahan maupun setelah menjalani kehidupan berumah tangga. Faktor-faktor apa saja yang perlu kita persiapkan itu? Mudah-mudahan beberapa “resep” ini kalau dicoba diterapkan, bisa membuat perjalanan pernikahan yang kita titi menjadi indah dan menenteramkan kalbu.
Bekal Ilmu
Faktor yang pertama adalah bahwa sebuah rumah tangga akan menjadi kokoh,kuat, dan mantap kalau suami istri sam-sama mencintai ilmu. Rasullulah SAW pernah bersabda, ”Barangsiapa yang menginginkan dunia,(mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat,(mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia dan akhirat (mendapatkannya pun) harus memakai ilmu.”
Artinya, bila ada yang bertanya, mengapa rumah tangga yang dijalaninya terasa berat, banyak kesulitan, dan tidak menemukan kedamaian, jawabannya adalah karena ternyata ilmu tentang berumah tangga yang dimiliki tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi. Setiap hari akan selalu bertambah maslah, kebutuhan, maupun peluang munculnya konflik. Semua ini merupakan kenyataan hidup yang tidak akan pernah bisa dipungkiri .Bila pertambahan segala pernik kehidupan ini tidak diimbangi dengan pertambahan ilmu untuk menyiasatinya, maka pastilah sebuah keluarga tidak akan pernah mampu menghadapi hidup ini dengan bai Jangan heran kalau rumah tangga yang seperti ini bagaikan perahu yang kelebihan muatan. Dia akan tampak oleng, miring ke kiri, tak mau melaju denhgan semestinya, bahkan bias-bisa akan tenggelam karam.
Adapun ciri khas yang tampak adalah para penghuni rumah tangga itu selalu sangat mengandalkan emosi di dalam mengatasi setiap masalah yang muncul.
Semoga Allah yang Maha Mengatur Segala Kejadian serta Maha Memudahkan Segala Urusan melindungi hamba-hamba-Nya dari sikap berkecil hati,terutama manakala kepada kita dikaruniakan niat dan keinginan untuk memiliki pasangan hidup. Sebagian kecil dari kisah kehidupan yang terpapar berikut ini, masya Alloh,telah menunjukan kepada kita betapa tidak mudah mengayuh bahtera rumah tangga itu. Tidak cukup hanya diawali dengan keinginan untuk menikah belaka. Karena, ternyata tidak sedikit pasangan yang telah memasuki dunia rumah tangga menemui kenyataan bahwa pergantian hari-harinya telah menjadi pergantian kesusahan yang satu ke kesusahan berikutnya. Pernik-pernik masalah seakan telah menjadi seluruh dinding rumahnya.
Seorang ibu rumah tangga yang mengaku telah 16 tahun berumah tangga serta telah dikaruniai 3 orang putra-putri yang sehat dan cerdas, menumpahkan keluhan mengenai masalah rumah tangganya di rubrik konsultasi sebuah surat kabar. Dari segi materi duniawi, mereka keluarga yang berkecukupan karena keduanya bekerja di kantor.
Akan tetapi, ada ganjalan yang semula diabaikan dari pikiran sang istri. Ia merasakan pernikahannya terasa manis pada hari Sabtu dan Minggu saja, yakni ketika keduanya tidak ngantor, sehingga dapat berkumpul dengan seluruh keluarga. Selebihnya, dari Senin sampai Jumat, terasa hambar. Suaminya berkantor di sebuah gedung pusat perkantoran modern, yang menurut anggapan sang istri, tentulah setiap harinya akan bertemu dengan segala macam wanita, dari yang berbusana minim sampai yang bergaun sebatas tumit. Pemandangan semacam itu akan ditemui sang suami dari Senin hingga Jumat. Sedangkan, sang istri mengaku penampilannya di rumah biasa-biasa saja. Kini ia rasakan tidak lagi seramping dulu. Rata-rata suaminya pergi ke kantor sejak subuh dan pulang malam hari. Artinya, selama 15 jam setiap harinya. Ketika tiba di rumah pun, kegiatan-nya hanya makan malam, lalu pergi tidur. Begitu yang terjadi setiap hari. Suaminya seperti sudah tidak mempunyai waktu lagi untuk berbincang-bincang dengannya. Kalaupun ia bertanya tentang sesuatu, jawaban yang keluar dari mulut sang suami singkat-singkat saja. Kalau suatu ketika ia bercerita tentang sesuatu, ia tidak tahu apakah didengarkan atau tidak karena suaminya Cuma diam dan acuh tak acuh. Kalaupun mengomentarinya, pastilah kata-kata yang terlontar itu berbau memojokkan sang istri.
Satu hal yang paling ia benci adalah saat tiba hari Minggu malam. Sepulang dari suatu tempat, biasanya suaminya mulai ketus. Bahkan tidak jarang keduanya terlibat lagi dipersoalkan sang suami adalah sikap sang istri yang dinilai cerewet dan suka mengatur. Suaminya mulai bersikap baik lagi kalau tiba Jumat malam. Karena, Sabtu paginya mereka akan berkumpul bersama lagi hingga Minggu petang. Yang lebih repot lagi, ia sering bermimpi bahwa suaminya menyeleweng dengan wanita lain. Sehingga, kalau sang suami lagi tampak terdiam melamun, ia pun langsung teringat akan mimpinya tersebut. Karuan saja dari hari ke hari kian bergumpal kecemasan dan kegelisahan yang tak berujung dan berpangkal.
Itulah gambaran tentang satu sisi getir dari kehidupan berumah tangga, yang bias dialami oleh siapa saja, tanpa terkecuali. Lebih-lebih pada pasangan muda, yang notabene pengalaman berumah tangganya masih sedikit. Tentu cerita nyata ini tidak mengajak siapa pun untuk bersikap pesimistis dan cemas sebelum berbuat. Bagaimanapun pernik-pernik problematika rumah tangga semacam ini bisa juga terjadi menimpa kita. Terutama, kalau ada sesuatu yang tidak sempat kita persiapkan, baik sebelum memasuki gerbang pernikahan maupun setelah menjalani kehidupan berumah tangga. Faktor-faktor apa saja yang perlu kita persiapkan itu? Mudah-mudahan beberapa “resep” ini kalau dicoba diterapkan, bisa membuat perjalanan pernikahan yang kita titi menjadi indah dan menenteramkan kalbu.
Bekal Ilmu
Faktor yang pertama adalah bahwa sebuah rumah tangga akan menjadi kokoh,kuat, dan mantap kalau suami istri sam-sama mencintai ilmu. Rasullulah SAW pernah bersabda, ”Barangsiapa yang menginginkan dunia,(mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan akhirat,(mendapatkannya) harus memakai ilmu. Barangsiapa yang menginginkan dunia dan akhirat (mendapatkannya pun) harus memakai ilmu.”
Artinya, bila ada yang bertanya, mengapa rumah tangga yang dijalaninya terasa berat, banyak kesulitan, dan tidak menemukan kedamaian, jawabannya adalah karena ternyata ilmu tentang berumah tangga yang dimiliki tidak sebanding dengan masalah yang dihadapi. Setiap hari akan selalu bertambah maslah, kebutuhan, maupun peluang munculnya konflik. Semua ini merupakan kenyataan hidup yang tidak akan pernah bisa dipungkiri .Bila pertambahan segala pernik kehidupan ini tidak diimbangi dengan pertambahan ilmu untuk menyiasatinya, maka pastilah sebuah keluarga tidak akan pernah mampu menghadapi hidup ini dengan bai Jangan heran kalau rumah tangga yang seperti ini bagaikan perahu yang kelebihan muatan. Dia akan tampak oleng, miring ke kiri, tak mau melaju denhgan semestinya, bahkan bias-bisa akan tenggelam karam.
Adapun ciri khas yang tampak adalah para penghuni rumah tangga itu selalu sangat mengandalkan emosi di dalam mengatasi setiap masalah yang muncul.
“Dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.” (Q.S.Shaad [38]:26
Ciri khas yang tampak dari keluarga yang tidak memiliki ilmu dalam berumah tangga adalah para penghuninya selalu sangat mengandalkan emosi di dalam mengatasi setiap masalah yang muncul . Betapa tidak ! Karena, mereka tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi masalah yang selalu muncul seiring bertambahnya jumlah anggota keluarga. Seorang ayah yang kurang ilmu akan sangat mengandalkan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan yang muncul. Ini dikarenakan semakin hari tuntutan kebutuhan hidup terus meningkat , sehingga potensial akan bertumpuk dalam pikiran , berjalin berkelindan dengan beban stressing mental karena rutinitas kesibukan kantor.Manakala iman tengah menipis, kendati batin pun akan mengendur. Ini mengakibatkan tindakan mencari nafkah untuk mengatasi pertambahan kebutuhan tersebut menjadi kurang terkontrol. Tak ayal , pertimbangan halal haram dan hak bathil pun jadi tertepiskan. Keberkahan atas rezeki yang diperoleh pun praktis terkikis. Ketika rezeki itu telah dinikmati oleh istri dan anak-anak di rumah, maka tidak bisa tidak , ia bukannya membuahkan ketenangan batin, melainkan kegundahgelisahan, yang ujung-ujungnya malah bisa menaikkan kadar emosionalitas sang ayah.
Sementara itu, anak-anak semakin hari semakin beranjak besar. Ketika masih bayi mereka butuh perhatian khusus. Keterbatasan ilmu orang tua, tidak bisa tidak, akan mengakibatkan bayi menjadi teraniaya, baik ketika itu maupun setelah mereka besar kelak. Tidakkah kalau mereka menjadi penyakitan karena orang tua tidak mengetahui cara memperhatikan aspek kesehatan mereka, akan membuat mereka menjadi sengsara dan menderita hidup di dunia? Tidakkah kalau mereka kelak menjadi rendah kadar intelektualitasnya, akan membuatnya tidak memiliki prestasi hidup, sehingga menjadi manusia yang gagal dan tersisihkan? Bukankah kalau kelak mereka menjadi anak-anak nakal, tersesat dari jalan yang benar akan membuat mereka menderita dunia akhirat ? Masih banyak lagi akibat buruk lainnya yang akan menimpa anak-anak karena kita para orang tua tidak memiliki bekal ilmu.
Belum lagi kalau pihak orang tua terlalu mengandalkan emosi dan kekerasan, sehingga praktis segala pendekatan yang kita gunakan hampir bisa dipastikan selalu membuahkan kegagalan dalam memecahkan masalah. Menghadapi anak-anak yang nakal dan enggan menuruti nasihat orang tua, misalnya. Tentulah akan didekati dengan kepala and hati yang panas membara. Menghadapi istri yang terkesan rewel , sok mengatur, dan mulai membosankan , atau sebaliknya, menghadapi suami yang terkesan otoriter , banyak tuntutan , sering telat pulang ke rumah, misalnya. Tentulah semua itu akan membuat rumah menjadi terasa gerah karena darah yang selalu bergolak panas. Na’udzubillah!
Walhasil, sekiranya ada diantara suami-istri yang jarang mendatangi majelis-majelis ilmu, enggan menyisihkan waktu untuk membuka bahan bacaan ataupun berdialog dengan orang yang lebih tahu, hampir dapat dipastikan rumah tangganya akan tidak seimbang, akan selalu dekat dengan kesusahan dan penderitaan batin, tidak arif dalam menyelesaikan aneka masalah, dan bukan mustahil akan berujung pada kegagalan yang sangat menyakitkan dan merugikan. Oleh karena itu, tampaknya kita harus mempersiapkan bekal ilmu ini justru semenjak kita berkeinginan untuk menikah. Atau, kalaupun kita sudah lama berumah tangga , belum terlambat untuk menyadari bahwa ilmu adalah bekal utama yang harus segera digapai. Jangan merasa sayang untuk menyisihkan sebagian dari waktu maupun penghasilan nafkah kita untuk menambah ilmu. Apakah itu untuk membeli buku dan bahan bacaan lainnya yang dibutuhkan, untuk mendatangi majelis-majelis ta’lim yang di dalamnya justru tidak hanya bertaburkan ilmu, tetapi juga rahmat dan pertolongan Allah , mengikuti training, kursus, dan sejenisnya.
Ingat, gagalnya seorang ayah atau ibu dalam menyelesaiakan aneka masalah yang muncul di tengah-tengah keluarga, bukannya karena masalahnya yang berat atau rumit, melainkan lebih dikarenakan lemahnya keterampilan dan sikap kita dalam menyikapi dan menyiasati masalah itu sendiri.
Jangan salahkan siapapun kalau rumah tangga kita dari hari ke hari selalu terasa runyam dan tidak nyaman. Salahkanlah diri sendiri sebagai orang tua yang enggan menjadikan ilmu sebagai bekal utama untuk mengarungi samudera kehidupan yang memang penuh ombak dan badai ini. Ilmu agama adalah utama, tetapi ilmu dunia pun tak kalah pentingnya. Rumah tangga yang tidak dekat dengan ilmu adalah rumah tangga yang akan selalu dekat dengan kesusahan dan kesempitan. Camkanlah!
Gemar Beramal
Ternyata setiap ilmu itu tidak membawa manfaat, kecuali bila sudah mewujud dalam bentuk amal. Rumus kehidupan ini sebenanya sederhana saja, yakni: seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang diinginkan, tetapi dari apa yang bisa ia lakukan. Karenanya, syarat yang kedua bagi tercapainya rumah tangga yang ideal setelah menguasai ilmu adalah gemar mengamalkannya. Hidup ini bagaikan gaung di pegunungan. Apa yang kembali kepada kita tergantung dari apa yang kita bunyikan. Sekiranya menginginkan suatu kebaikan menghampiri kita, maka ia tidak bisa datang hanya dengan cara meminta orang lain berbuat baik. Akan tetapi, terlebih dulu harus melakukan suatu kebaikan kepada orang lain.
Suami yang sibuk menyayangi dan membahagiakan istrinya lahir batin, niscaya akan mendapatkan balasan yang amat mengesankan dari sang istri. Demikian pun kalau istri ingin disayangi dan dibahagiakan suami. Jawabannya hanya satu : barangsiapa bisa memuliakan suaminya dengan ikhlas, Allah pun akan melembutkan hati sang suami untuk menyayanginya dengan penuh keikhlasan pula.
Ciri khas yang tampak dari keluarga yang tidak memiliki ilmu dalam berumah tangga adalah para penghuninya selalu sangat mengandalkan emosi di dalam mengatasi setiap masalah yang muncul . Betapa tidak ! Karena, mereka tidak pernah tahu bagaimana cara menghadapi masalah yang selalu muncul seiring bertambahnya jumlah anggota keluarga. Seorang ayah yang kurang ilmu akan sangat mengandalkan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan yang muncul. Ini dikarenakan semakin hari tuntutan kebutuhan hidup terus meningkat , sehingga potensial akan bertumpuk dalam pikiran , berjalin berkelindan dengan beban stressing mental karena rutinitas kesibukan kantor.Manakala iman tengah menipis, kendati batin pun akan mengendur. Ini mengakibatkan tindakan mencari nafkah untuk mengatasi pertambahan kebutuhan tersebut menjadi kurang terkontrol. Tak ayal , pertimbangan halal haram dan hak bathil pun jadi tertepiskan. Keberkahan atas rezeki yang diperoleh pun praktis terkikis. Ketika rezeki itu telah dinikmati oleh istri dan anak-anak di rumah, maka tidak bisa tidak , ia bukannya membuahkan ketenangan batin, melainkan kegundahgelisahan, yang ujung-ujungnya malah bisa menaikkan kadar emosionalitas sang ayah.
Sementara itu, anak-anak semakin hari semakin beranjak besar. Ketika masih bayi mereka butuh perhatian khusus. Keterbatasan ilmu orang tua, tidak bisa tidak, akan mengakibatkan bayi menjadi teraniaya, baik ketika itu maupun setelah mereka besar kelak. Tidakkah kalau mereka menjadi penyakitan karena orang tua tidak mengetahui cara memperhatikan aspek kesehatan mereka, akan membuat mereka menjadi sengsara dan menderita hidup di dunia? Tidakkah kalau mereka kelak menjadi rendah kadar intelektualitasnya, akan membuatnya tidak memiliki prestasi hidup, sehingga menjadi manusia yang gagal dan tersisihkan? Bukankah kalau kelak mereka menjadi anak-anak nakal, tersesat dari jalan yang benar akan membuat mereka menderita dunia akhirat ? Masih banyak lagi akibat buruk lainnya yang akan menimpa anak-anak karena kita para orang tua tidak memiliki bekal ilmu.
Belum lagi kalau pihak orang tua terlalu mengandalkan emosi dan kekerasan, sehingga praktis segala pendekatan yang kita gunakan hampir bisa dipastikan selalu membuahkan kegagalan dalam memecahkan masalah. Menghadapi anak-anak yang nakal dan enggan menuruti nasihat orang tua, misalnya. Tentulah akan didekati dengan kepala and hati yang panas membara. Menghadapi istri yang terkesan rewel , sok mengatur, dan mulai membosankan , atau sebaliknya, menghadapi suami yang terkesan otoriter , banyak tuntutan , sering telat pulang ke rumah, misalnya. Tentulah semua itu akan membuat rumah menjadi terasa gerah karena darah yang selalu bergolak panas. Na’udzubillah!
Walhasil, sekiranya ada diantara suami-istri yang jarang mendatangi majelis-majelis ilmu, enggan menyisihkan waktu untuk membuka bahan bacaan ataupun berdialog dengan orang yang lebih tahu, hampir dapat dipastikan rumah tangganya akan tidak seimbang, akan selalu dekat dengan kesusahan dan penderitaan batin, tidak arif dalam menyelesaikan aneka masalah, dan bukan mustahil akan berujung pada kegagalan yang sangat menyakitkan dan merugikan. Oleh karena itu, tampaknya kita harus mempersiapkan bekal ilmu ini justru semenjak kita berkeinginan untuk menikah. Atau, kalaupun kita sudah lama berumah tangga , belum terlambat untuk menyadari bahwa ilmu adalah bekal utama yang harus segera digapai. Jangan merasa sayang untuk menyisihkan sebagian dari waktu maupun penghasilan nafkah kita untuk menambah ilmu. Apakah itu untuk membeli buku dan bahan bacaan lainnya yang dibutuhkan, untuk mendatangi majelis-majelis ta’lim yang di dalamnya justru tidak hanya bertaburkan ilmu, tetapi juga rahmat dan pertolongan Allah , mengikuti training, kursus, dan sejenisnya.
Ingat, gagalnya seorang ayah atau ibu dalam menyelesaiakan aneka masalah yang muncul di tengah-tengah keluarga, bukannya karena masalahnya yang berat atau rumit, melainkan lebih dikarenakan lemahnya keterampilan dan sikap kita dalam menyikapi dan menyiasati masalah itu sendiri.
Jangan salahkan siapapun kalau rumah tangga kita dari hari ke hari selalu terasa runyam dan tidak nyaman. Salahkanlah diri sendiri sebagai orang tua yang enggan menjadikan ilmu sebagai bekal utama untuk mengarungi samudera kehidupan yang memang penuh ombak dan badai ini. Ilmu agama adalah utama, tetapi ilmu dunia pun tak kalah pentingnya. Rumah tangga yang tidak dekat dengan ilmu adalah rumah tangga yang akan selalu dekat dengan kesusahan dan kesempitan. Camkanlah!
Gemar Beramal
Ternyata setiap ilmu itu tidak membawa manfaat, kecuali bila sudah mewujud dalam bentuk amal. Rumus kehidupan ini sebenanya sederhana saja, yakni: seseorang tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang diinginkan, tetapi dari apa yang bisa ia lakukan. Karenanya, syarat yang kedua bagi tercapainya rumah tangga yang ideal setelah menguasai ilmu adalah gemar mengamalkannya. Hidup ini bagaikan gaung di pegunungan. Apa yang kembali kepada kita tergantung dari apa yang kita bunyikan. Sekiranya menginginkan suatu kebaikan menghampiri kita, maka ia tidak bisa datang hanya dengan cara meminta orang lain berbuat baik. Akan tetapi, terlebih dulu harus melakukan suatu kebaikan kepada orang lain.
Suami yang sibuk menyayangi dan membahagiakan istrinya lahir batin, niscaya akan mendapatkan balasan yang amat mengesankan dari sang istri. Demikian pun kalau istri ingin disayangi dan dibahagiakan suami. Jawabannya hanya satu : barangsiapa bisa memuliakan suaminya dengan ikhlas, Allah pun akan melembutkan hati sang suami untuk menyayanginya dengan penuh keikhlasan pula.
“Dan
masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang
dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”(Q.S. Al-An’aam
[6]: 132)
Jangan menuntut sesuatu kepada orang lain, tetapi tuntutlah terlebih dahulu diri kita untuk berbuat suatu kebaikan semaksimal mungkin. Tidakkah Allah Azza wa Jalla telah berfirman,”Barangsiapa yang mengerjakan kebaiakan sebesar dzarrah pun,niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya) pula. ?”(Q.S. Az-Zalzalah[99]:7-8 ). Artinya, segalanya tergantung kita. Sesungguhnyalah balasan Allah itu akan sangat dirasakan adilnya mana kala kita menyadari satu hal, yakni bahwa segalanya akan kembali kepada kita, tergantung apa bentuk amal yang dilakukan.
Camkan sekali lagi :bahwa kita tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang kita inginkan dan harapkan, tetapi kita akan mendapatkan banyak dari apa yang diberikan. Semakin gemar bersedekah, maka insya Allah akan semakin melimpah rezeki hak kita dari -Nya. Semakin senang menolong orang lain, akan semakin banyak pula orang menolong kita. Semakin kita biasakan untuk membahagiakan dan memudahkan urusan orang lain, maka rasakanlah, betapa akan semakin banyak hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan sementara segala urusan kita pun dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla. Hendaknya di mana kita berada harus membuat orang lain merasa diuntungkan dengan kehadiran kita. Setidaknya keberadaan kita jangan sampai merugikan orang lain. Rumah tangga yang memiliki komitmen hidup semacam ini niscaya akan mendapati betapa jaminan Allah itu teramat mengesankan. “ Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Menegtahui.”(Q.S. Al-Baqarah[2]: 158)
Sebaliknya, semakin pelit kepada orang lain, maka hidup ini akan terasa banyak menemukan kesulitan. Semakin senang berlaku aniaya terhadap orang lain, niscaya akan semakin banyak yang menzhalimi kita. Demikian pun, rumah tangga yang banyak menyakiti orang lain, niscaya akan menjadi rumah tangga yang banyak tersakiti pula. Inilah rumus sunatullah yang akan dialami oleh siapapun, sebagaimana pula yang telah ditegaskan oleh-Nya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. “(Q.S. Al –An’aam[6]:132)
Jadi,janganlah ingin menjadi suami yang disayangi istri, tetapi jadilah suami yang menyayangi istri. Janganlah ingin dihormati oleh anak-anak atau mertua, namun hormatilah mereka. Nanti toh semuanya akan kembali kepada kita jua. Janganlah ingin diberi sesuatu oleh tetangga, namun berilah mereka. Nanti Allah akan menggerakkan hati mereka untuk mengulurkan tangan bantuannya kepada kita. Walhasil, rumus yang kedua setelah ilmu sebagai bekal utama dalam berumah tangga, adalah hendaknya di mana pun kita berada menjadi orang yang selalu bisa berbuat sesuatu. Itulah amal-amal kebaikan.
Ikhlas
Ternyata sehebat apapun amal-amal kita tidak akan bermanfaat dihadapan Allah, kecuali amal-amal yang dilakukan dengan ikhlas. Orang yang ikhlas adalah orang yang berbuat sesuatu tanpa berharap mendapatkan apa pun ,kecuali ingin disukai oleh Allah. Inilah bekal utama ketiga dalam berumah tangga. Dalam mengarungi kehidupan ini akan banyak didapati aneka masalah. Kita pasti akan menemukan berbagai kesulitan ,kesempitan, dan kesengsaraan lahir batin, kecuali kalau mendapat pertolongan-Nya. Allah tahu persis kebutuhan kita, lebih tahu daripada kita sendiri. Dia tahu persis masalah yang akan menimpa kita , lebih tahu daripada kita sendiri. Karenanya, Allah menjanjikan , “Wa man yattaqillah yaj’allahu makhrajan.” (Q.S. Ath-Thalaaq [65]: 2) Rumah Tangga yang terus-menerus meningkatkan ketaatannya kepada Allah , akan senantiasa dikaruniai oleh-Nya jalan keluar atas segala urusan dan masalah yang dihadapinya. Anak-anak membutuhkan biaya , Allah akan mencukupi mereka karena Dia Dzat yang Mahakaya. Pelacur,perampok, dan orang-orang zhalim saja diberi rezeki,bagaimana mungkin anak-anak kita dilalaikan-Nya? Suami hatinya keras membatu, otoriter, dan suka bertindak kasar, apa sulitnya bagi Allah membolak-balikkan setiap hati, sehingga menjadi berhati lembut,baik, dan bijak.
Masalahnya, adakah keluarga kita layak mendapat jaminan-Nya ataukah tidak? Kuncinya adalah bahwa rumah tangga yang selalu dekat kepada Allah dan sangat menjaga keikhlasan dalam beramal, itulah rumah tangga yang layak memperoleh jaminan pertolongan -Nya. Semakin suatu rumah tangga jarang shalat, enggan bersedekah dan menolong orang lain, malas melakukan amal-amal kebaikan, ditambah lagi berhati busuk, maka semakin letihlah dalam mengelola rumah tangga ini. Rumah seluas apa pun akan tetap terasa sempit kalau hati para penghuninya sempit. Ketika berada di lapangan yang luas , lalu menemukan anjing atau ular, kita toh tidak merasa gentar. Akan tetapi, ketika di kamar mandi , berdua dengan tikus saja bisa jadi masalah.
Jangan menuntut sesuatu kepada orang lain, tetapi tuntutlah terlebih dahulu diri kita untuk berbuat suatu kebaikan semaksimal mungkin. Tidakkah Allah Azza wa Jalla telah berfirman,”Barangsiapa yang mengerjakan kebaiakan sebesar dzarrah pun,niscaya ia akan melihat (balasannya). Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya ia akan melihat (balasannya) pula. ?”(Q.S. Az-Zalzalah[99]:7-8 ). Artinya, segalanya tergantung kita. Sesungguhnyalah balasan Allah itu akan sangat dirasakan adilnya mana kala kita menyadari satu hal, yakni bahwa segalanya akan kembali kepada kita, tergantung apa bentuk amal yang dilakukan.
Camkan sekali lagi :bahwa kita tidak akan mendapatkan sesuatu dari apa yang kita inginkan dan harapkan, tetapi kita akan mendapatkan banyak dari apa yang diberikan. Semakin gemar bersedekah, maka insya Allah akan semakin melimpah rezeki hak kita dari -Nya. Semakin senang menolong orang lain, akan semakin banyak pula orang menolong kita. Semakin kita biasakan untuk membahagiakan dan memudahkan urusan orang lain, maka rasakanlah, betapa akan semakin banyak hal-hal yang dapat mendatangkan kebahagiaan sementara segala urusan kita pun dimudahkan oleh Allah Azza wa Jalla. Hendaknya di mana kita berada harus membuat orang lain merasa diuntungkan dengan kehadiran kita. Setidaknya keberadaan kita jangan sampai merugikan orang lain. Rumah tangga yang memiliki komitmen hidup semacam ini niscaya akan mendapati betapa jaminan Allah itu teramat mengesankan. “ Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Menegtahui.”(Q.S. Al-Baqarah[2]: 158)
Sebaliknya, semakin pelit kepada orang lain, maka hidup ini akan terasa banyak menemukan kesulitan. Semakin senang berlaku aniaya terhadap orang lain, niscaya akan semakin banyak yang menzhalimi kita. Demikian pun, rumah tangga yang banyak menyakiti orang lain, niscaya akan menjadi rumah tangga yang banyak tersakiti pula. Inilah rumus sunatullah yang akan dialami oleh siapapun, sebagaimana pula yang telah ditegaskan oleh-Nya, “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. “(Q.S. Al –An’aam[6]:132)
Jadi,janganlah ingin menjadi suami yang disayangi istri, tetapi jadilah suami yang menyayangi istri. Janganlah ingin dihormati oleh anak-anak atau mertua, namun hormatilah mereka. Nanti toh semuanya akan kembali kepada kita jua. Janganlah ingin diberi sesuatu oleh tetangga, namun berilah mereka. Nanti Allah akan menggerakkan hati mereka untuk mengulurkan tangan bantuannya kepada kita. Walhasil, rumus yang kedua setelah ilmu sebagai bekal utama dalam berumah tangga, adalah hendaknya di mana pun kita berada menjadi orang yang selalu bisa berbuat sesuatu. Itulah amal-amal kebaikan.
Ikhlas
Ternyata sehebat apapun amal-amal kita tidak akan bermanfaat dihadapan Allah, kecuali amal-amal yang dilakukan dengan ikhlas. Orang yang ikhlas adalah orang yang berbuat sesuatu tanpa berharap mendapatkan apa pun ,kecuali ingin disukai oleh Allah. Inilah bekal utama ketiga dalam berumah tangga. Dalam mengarungi kehidupan ini akan banyak didapati aneka masalah. Kita pasti akan menemukan berbagai kesulitan ,kesempitan, dan kesengsaraan lahir batin, kecuali kalau mendapat pertolongan-Nya. Allah tahu persis kebutuhan kita, lebih tahu daripada kita sendiri. Dia tahu persis masalah yang akan menimpa kita , lebih tahu daripada kita sendiri. Karenanya, Allah menjanjikan , “Wa man yattaqillah yaj’allahu makhrajan.” (Q.S. Ath-Thalaaq [65]: 2) Rumah Tangga yang terus-menerus meningkatkan ketaatannya kepada Allah , akan senantiasa dikaruniai oleh-Nya jalan keluar atas segala urusan dan masalah yang dihadapinya. Anak-anak membutuhkan biaya , Allah akan mencukupi mereka karena Dia Dzat yang Mahakaya. Pelacur,perampok, dan orang-orang zhalim saja diberi rezeki,bagaimana mungkin anak-anak kita dilalaikan-Nya? Suami hatinya keras membatu, otoriter, dan suka bertindak kasar, apa sulitnya bagi Allah membolak-balikkan setiap hati, sehingga menjadi berhati lembut,baik, dan bijak.
Masalahnya, adakah keluarga kita layak mendapat jaminan-Nya ataukah tidak? Kuncinya adalah bahwa rumah tangga yang selalu dekat kepada Allah dan sangat menjaga keikhlasan dalam beramal, itulah rumah tangga yang layak memperoleh jaminan pertolongan -Nya. Semakin suatu rumah tangga jarang shalat, enggan bersedekah dan menolong orang lain, malas melakukan amal-amal kebaikan, ditambah lagi berhati busuk, maka semakin letihlah dalam mengelola rumah tangga ini. Rumah seluas apa pun akan tetap terasa sempit kalau hati para penghuninya sempit. Ketika berada di lapangan yang luas , lalu menemukan anjing atau ular, kita toh tidak merasa gentar. Akan tetapi, ketika di kamar mandi , berdua dengan tikus saja bisa jadi masalah.
Apa sebab
? Di ruangan kecil, perkara kecil akan menjadi besar. Sebaliknya diruangn yang
lapang, perkara besar akan menjadi kecil. Karenanya, rumah tangga itu akan
dirasakan kebahagiaannya hanya oleh orang-orang yang berhati bersih dan ikhlas.
Bila kita temukan beberapa kekurangan pada istri kita , bukan masalah , karena
toh isteri kita bukan malaikat. Demikian pun kekurangan yang ada pada suami,
janganlah sampai jadi masalah, karena suami pun bukan malaikat. Kekurangan yang
ada untuk saling dilengkapi, sedangakan kelebihannya untuk disyukuri. Lain
lagi,bagi yang berhati busuk, kekurangan yang ditemukan pada istri atau suami
akan dijadikan jalan untuk saling berbuat aniaya. Na’udzubillah! [
“Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji. apa yang ada dalam hatimu Allah Maha Mengetahui isi hati”(Q.S. Ali Imran [3]: 154)
Dalam kaca mata ruhiyah,bersatunya seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu ikatan pernikahan, adalah berhimpunnya dua hati yang memiliki harapan mulia, yakni membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Demikianlah sesungguhnya yang dikehendaki Allah yang memiliki sifat Rahman dan Rahim, sebagaimana firman-Nya, “Dan diantara bukti-bukti kekuasaan-Nya ialah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapatkan ketenangan hati dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran –Nya bagi orang-orang yang berpikir.”(Q.S. Ar-Ruum [30]: 21)
Namun, dalam sisi lain, ternyata ikatan pernikahan itu berarti juga berhimpunnya dua manusia yang memiliki aneka sisi perbedaan. Demikian pula halnya manakala dikemudian hari hadir anak-anak di tengah-tengah mereka. Jenis kelaminnya saja sudah berbeda, apalagi karakternya, emosinya, keinginannya ,harapannya, sikapnya terhadap sesuatu, dan sebagainya.
Kalaupun sepasang suami istri tampak sering sejalan dalammenyikapi dan melakukan berbagai hal, itu hampir dapat dipastikan karena ada upaya dari masing-masingnya untuk rela saling menahan diri serta saling mengorbankan apa-apa yang potensial bisa memicu perbedaan itu sendiri. Walhasil, lahirlah dalam rumah tangga yang mereka bina perasaan tenteram,lapang hati , dan cinta kasih.
Itulah pula hikmah dari pernikahan itu sendiri, yakni dikaruniai-Nya mereka nikmat sakinah, mawaddah, warahmah. Titik-titik perbedaan itu sendiri, sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan, terutama bila diantara mereka sudah tumbuh keinginan untuk saling memaksakan kehendak dan enggan saling menghargai aspirasi masing-masing. Apalagi dan biasanya kalau semua itu lahir dari karakter dan tingkat emosionalitas masing-masing. Tidak jarang kita temukan rumah tangga yang hari-harinya penuh dengan pertengkaran dan kesalahpahaman , sehingga tidak sedikit berakhir dimeja perceraian.
Inilah justru bagian dari fenomena yang mungkin akan dihadapi oleh setiap pasangan suami istri, sehingga kita butuh bekal yang efektif untuk menyikapi dan menyiasatinya, agar kemungkinan munculnya potensi konflik semacam ini bisa dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalisasi. Apakah bekal yang harus kita miliki itu ? Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla mengaruniai kita ilmu yang bermanfaat serta kesanggupan untuk mengamalkannya dengan tepat.
Bersih Hati
Setiap saat ujian dan aneka masalah bukan tidak mungkin akan datang mendera rumah tangga dengan tiba-tiba. Bagaimana seorang suami atau seorang istri menyikapinya, ternyata tergantung dari satu hal, yakni qalbu ! Terserah kita, apa yang akan kita lakukan dengan masalah itu? Mau dibuat rumit, perumitlah. Nanti kita sendiri yang akan melihat dan merasakan buahnya.Namun, mau dibuat sederhana juga, silakan sederhanakan , nanti kita pun akan melihat dan merasakan buahnya.
Setiap masalah dalam rumah tangga bisa menjadi rumit dan bisa juga menjadi sederhana,tentu bergantung bagaimana kondisi hati kita yang kita miliki, yang akhirnya membuat kita harus memutuskan langkah bagaimana menyikapinya. Padahal,bagi kita kuncinya hanya satu : sesungguhnya tak ada masalah dengan masalah karena yang menjadi masalah adalah cara kita yang salah dalam menyikapi masalah.
Oleh sebab itu, hati yang bersih adalah bekal utama keempat yang harus dimiliki oleh para pelaku rumah tangga, setelah memiliki bekal ilmu , amal,dan keiklasan. Bersih hati,tidak bisa tidak, akan menjadi senjata pamungkas dalam menyiasati serumit dan sesulit apapun masalah yang muncul dalam sebuah keluarga. Adapun buahnya hampir dapat dipastikan adalah rumah tangga yang tenang tenteram, penuh cinta kasih , dan selalu saling mengingatkan dalam hal mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan rumah tangga yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, banyak dikumandangkan ayat-ayat -Nya, dan mampu menyempurnakan ikhtiar dalam mencari jalan keluar atas setiap masalah,niscaya akan menjadi keluarga yang sangat dekat dengan pertolongan–Nya dan akan menjadi suri tauladan bagi yang lain.
Subhanallah! Ujian dan masalah rumah tangga memang akan datang setiap saat, suka atau tidak suka. Namun,bagi suami dan istri yang berhati bersih ,semua itu akan disikapi sebagai nikmat dari Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena, bagaimanapun dibalik setiap ujian dan masalah itu pasti terkandung hikmah yang luar biasa mengesankan, yang akan semakin meningkatkan, kedewasaan dan kearifan, sekiranya mampu menyikapi segalanya dengan tepat, yang hal ini justru lahir dari hati yang bening dan bersih dari segala noktah-noktah kekotoran hawa nafsu.
Ujian dan persoalan hidup yang menimpa justru benar-benar akan membuat kita semakin merasakan indahnya hidup ini karena yakin bahwa semua itu merupakan perangkat kasih sayang Allah, yang membuat sebuah rumah tangga tampak semakin bermutu. Tidak usah heran, sehebat apapun kesulitan hidup yang menimpa, sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam.
Tidak usah heran, sehebat apa pun kesulitan hidup yang menimpa , sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam. Tidak akan pernah terguncang meski ombak dan badai saling menerjang. Pun laksana karang yang tegak tegar, yang tak akan pernah bergeser saat dihantam gelombang sedahsyat apapun. Sekali-kali tidak akan terbersit rasa putus asa ataupun keluh kesah berkepanjangan. Memang, betapa luar biasa para penghuni rumah tangga yang memiliki hati yang bersih. Nikmat datang tak akan pernah membuatnya lalai dari bersyukur. Andai pun musibah yang menerjang, ia akan mampu menegndalikan kayuh bahtera dengan tenang. Subhanalloh, sungguh teramat menegesankan. Wallahu a’lam Bisshowab
“Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji. apa yang ada dalam hatimu Allah Maha Mengetahui isi hati”(Q.S. Ali Imran [3]: 154)
Dalam kaca mata ruhiyah,bersatunya seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam satu ikatan pernikahan, adalah berhimpunnya dua hati yang memiliki harapan mulia, yakni membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Demikianlah sesungguhnya yang dikehendaki Allah yang memiliki sifat Rahman dan Rahim, sebagaimana firman-Nya, “Dan diantara bukti-bukti kekuasaan-Nya ialah diciptakan-Nya untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu mendapatkan ketenangan hati dan dijadikan-Nya rasa kasih sayang di antara kamu. Sesungguhnya yang demikian itu menjadi tanda-tanda kebesaran –Nya bagi orang-orang yang berpikir.”(Q.S. Ar-Ruum [30]: 21)
Namun, dalam sisi lain, ternyata ikatan pernikahan itu berarti juga berhimpunnya dua manusia yang memiliki aneka sisi perbedaan. Demikian pula halnya manakala dikemudian hari hadir anak-anak di tengah-tengah mereka. Jenis kelaminnya saja sudah berbeda, apalagi karakternya, emosinya, keinginannya ,harapannya, sikapnya terhadap sesuatu, dan sebagainya.
Kalaupun sepasang suami istri tampak sering sejalan dalammenyikapi dan melakukan berbagai hal, itu hampir dapat dipastikan karena ada upaya dari masing-masingnya untuk rela saling menahan diri serta saling mengorbankan apa-apa yang potensial bisa memicu perbedaan itu sendiri. Walhasil, lahirlah dalam rumah tangga yang mereka bina perasaan tenteram,lapang hati , dan cinta kasih.
Itulah pula hikmah dari pernikahan itu sendiri, yakni dikaruniai-Nya mereka nikmat sakinah, mawaddah, warahmah. Titik-titik perbedaan itu sendiri, sewaktu-waktu bisa muncul ke permukaan, terutama bila diantara mereka sudah tumbuh keinginan untuk saling memaksakan kehendak dan enggan saling menghargai aspirasi masing-masing. Apalagi dan biasanya kalau semua itu lahir dari karakter dan tingkat emosionalitas masing-masing. Tidak jarang kita temukan rumah tangga yang hari-harinya penuh dengan pertengkaran dan kesalahpahaman , sehingga tidak sedikit berakhir dimeja perceraian.
Inilah justru bagian dari fenomena yang mungkin akan dihadapi oleh setiap pasangan suami istri, sehingga kita butuh bekal yang efektif untuk menyikapi dan menyiasatinya, agar kemungkinan munculnya potensi konflik semacam ini bisa dihilangkan atau setidak-tidaknya diminimalisasi. Apakah bekal yang harus kita miliki itu ? Mudah-mudahan Allah Azza wa Jalla mengaruniai kita ilmu yang bermanfaat serta kesanggupan untuk mengamalkannya dengan tepat.
Bersih Hati
Setiap saat ujian dan aneka masalah bukan tidak mungkin akan datang mendera rumah tangga dengan tiba-tiba. Bagaimana seorang suami atau seorang istri menyikapinya, ternyata tergantung dari satu hal, yakni qalbu ! Terserah kita, apa yang akan kita lakukan dengan masalah itu? Mau dibuat rumit, perumitlah. Nanti kita sendiri yang akan melihat dan merasakan buahnya.Namun, mau dibuat sederhana juga, silakan sederhanakan , nanti kita pun akan melihat dan merasakan buahnya.
Setiap masalah dalam rumah tangga bisa menjadi rumit dan bisa juga menjadi sederhana,tentu bergantung bagaimana kondisi hati kita yang kita miliki, yang akhirnya membuat kita harus memutuskan langkah bagaimana menyikapinya. Padahal,bagi kita kuncinya hanya satu : sesungguhnya tak ada masalah dengan masalah karena yang menjadi masalah adalah cara kita yang salah dalam menyikapi masalah.
Oleh sebab itu, hati yang bersih adalah bekal utama keempat yang harus dimiliki oleh para pelaku rumah tangga, setelah memiliki bekal ilmu , amal,dan keiklasan. Bersih hati,tidak bisa tidak, akan menjadi senjata pamungkas dalam menyiasati serumit dan sesulit apapun masalah yang muncul dalam sebuah keluarga. Adapun buahnya hampir dapat dipastikan adalah rumah tangga yang tenang tenteram, penuh cinta kasih , dan selalu saling mengingatkan dalam hal mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla. Sedangkan rumah tangga yang di dalamnya banyak disebut nama Allah, banyak dikumandangkan ayat-ayat -Nya, dan mampu menyempurnakan ikhtiar dalam mencari jalan keluar atas setiap masalah,niscaya akan menjadi keluarga yang sangat dekat dengan pertolongan–Nya dan akan menjadi suri tauladan bagi yang lain.
Subhanallah! Ujian dan masalah rumah tangga memang akan datang setiap saat, suka atau tidak suka. Namun,bagi suami dan istri yang berhati bersih ,semua itu akan disikapi sebagai nikmat dari Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang. Karena, bagaimanapun dibalik setiap ujian dan masalah itu pasti terkandung hikmah yang luar biasa mengesankan, yang akan semakin meningkatkan, kedewasaan dan kearifan, sekiranya mampu menyikapi segalanya dengan tepat, yang hal ini justru lahir dari hati yang bening dan bersih dari segala noktah-noktah kekotoran hawa nafsu.
Ujian dan persoalan hidup yang menimpa justru benar-benar akan membuat kita semakin merasakan indahnya hidup ini karena yakin bahwa semua itu merupakan perangkat kasih sayang Allah, yang membuat sebuah rumah tangga tampak semakin bermutu. Tidak usah heran, sehebat apapun kesulitan hidup yang menimpa, sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam.
Tidak usah heran, sehebat apa pun kesulitan hidup yang menimpa , sungguh bagaikan air di relung lautan yang dalam. Tidak akan pernah terguncang meski ombak dan badai saling menerjang. Pun laksana karang yang tegak tegar, yang tak akan pernah bergeser saat dihantam gelombang sedahsyat apapun. Sekali-kali tidak akan terbersit rasa putus asa ataupun keluh kesah berkepanjangan. Memang, betapa luar biasa para penghuni rumah tangga yang memiliki hati yang bersih. Nikmat datang tak akan pernah membuatnya lalai dari bersyukur. Andai pun musibah yang menerjang, ia akan mampu menegndalikan kayuh bahtera dengan tenang. Subhanalloh, sungguh teramat menegesankan. Wallahu a’lam Bisshowab
Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Bekal Utama Berumah Tangga
Artikel Bekal Utama Berumah Tangga ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
0 Comments:
Posting Komentar