Kian banyak
kita mendapati kisah teladan para sahabat, kian rindulah kita pada kehadiran
sosok pejuang Islam dan pemimpin yang ikhlas, amanah, dan bersahaja. Pada masa
pemerintahan Khalifah Umar bin Khathab, penduduk Hims sangat kritis terhadap
para pembesar mereka sehingga sering mengadu kepada Khalifah Umar.
Setiap pembesar yang baru datang memerintah ada saja celanya bagi mereka.
Dicatatnya segala kesalahan pembesar itu lalu dilaporkannya kepada khalifah dan
minta diganti dengan yang lebih baik. Penduduk Hims tidak ingin diperintah oleh
'politisi bermasalah'. Karena itu Khalifah Umar mencari seorang yang tidak
bercacat dan namanya belum pernah rusak untuk menjadi gubernur di sana.
Lalu beliau menyebarkan pembantu-pembantunya untuk mencari orang yang paling tepat. Akhirnya, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Saad. Ketika itu Umair sedang bertugas memimpin pasukan perang kaum Muslimin di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia berhasil memimpin pasukannya untuk membebaskan beberapa kota, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya. Pada saat seperti itulah Umair dipanggil pulang ke Madinah untuk memangku jabatan Gubernur Hims.
Umair menerima tugas barunya dengan hati enggan karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah. Setibanya di Hims ia mengajak penduduk berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah. Selesai shalat dia menyampaikan pidato. ''Hai manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran. Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna.
Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kokoh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak.'' Umair bin Saad bertugas sebagai Gubernur Hims hanya setahun. Selama itu dia tidak menulis surat sepucuk pun kepada Khalifah Umar di Madinah. Bahkan, ia pun tidak menyetorkan pajak satu dinar atau satu dirham pun ke Baitul Mal di Madinah. Karena itu timbul kecurigaan di hati Khalifah Umar.
Dia sangat khawatir ada masalah dengan pemerintahan Umair. Lalu, ia memerintahkan sekretaris negara untuk menulis surat kepada Gubernur Umair. ''Katakan kepadanya, bila surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin.'' Selesai surat tersebut dibaca oleh Gubernur Umair, maka diambilnya kantong perbekalan dan diisinya tempat air untuk persediaan air wudhu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan Hims.
Dia pergi mengayun langkah menuju Madinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Madinah, keadaannya pucat (karena kurang makan dalam perjalanan), tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampak sangat letih karena perjalanan yang begitu jauh. Khalifah Umar yang terkejut melihat keadaan Umair dan mempertanyakan keadaannya. Jawab Umair, ''Tidak kurang suatu apa pun. Saya sehat, alhamdulillah, saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.''
Lalu beliau menyebarkan pembantu-pembantunya untuk mencari orang yang paling tepat. Akhirnya, tidak diperolehnya orang yang lebih baik selain Umair bin Saad. Ketika itu Umair sedang bertugas memimpin pasukan perang kaum Muslimin di wilayah Syam. Dalam tugas itu dia berhasil memimpin pasukannya untuk membebaskan beberapa kota, menundukkan beberapa kabilah, dan membangun masjid di setiap negeri yang dilaluinya. Pada saat seperti itulah Umair dipanggil pulang ke Madinah untuk memangku jabatan Gubernur Hims.
Umair menerima tugas barunya dengan hati enggan karena baginya tidak ada yang lebih utama selain perang fi sabilillah. Setibanya di Hims ia mengajak penduduk berkumpul di masjid untuk shalat berjamaah. Selesai shalat dia menyampaikan pidato. ''Hai manusia, sesungguhnya Islam adalah benteng pertahanan yang kokoh dan pintu yang kuat. Benteng Islam itu ialah keadilan dan pintunya ialah kebenaran. Apabila benteng itu ambruk dan pintunya roboh, pertahanan agama akan sirna.
Islam akan senantiasa kuat selama kekuasaan tegak dengan kokoh. Tegaknya kekuasaan bukanlah dengan cemeti dan tidak pula dengan pedang, melainkan dengan menegakkan keadilan dan melaksanakan yang hak.'' Umair bin Saad bertugas sebagai Gubernur Hims hanya setahun. Selama itu dia tidak menulis surat sepucuk pun kepada Khalifah Umar di Madinah. Bahkan, ia pun tidak menyetorkan pajak satu dinar atau satu dirham pun ke Baitul Mal di Madinah. Karena itu timbul kecurigaan di hati Khalifah Umar.
Dia sangat khawatir ada masalah dengan pemerintahan Umair. Lalu, ia memerintahkan sekretaris negara untuk menulis surat kepada Gubernur Umair. ''Katakan kepadanya, bila surat ini sampai di tangan Anda, tinggalkanlah Hims dan segeralah menghadap Amirul Mukminin. Jangan lupa membawa sekalian pajak yang Anda pungut dari kaum muslimin.'' Selesai surat tersebut dibaca oleh Gubernur Umair, maka diambilnya kantong perbekalan dan diisinya tempat air untuk persediaan air wudhu dalam perjalanan. Lalu, dia berangkat meninggalkan Hims.
Dia pergi mengayun langkah menuju Madinah dengan berjalan kaki. Ketika hampir tiba di Madinah, keadaannya pucat (karena kurang makan dalam perjalanan), tubuhnya kurus kering dan lemah, rambut dan jenggotnya sudah panjang, dan dia tampak sangat letih karena perjalanan yang begitu jauh. Khalifah Umar yang terkejut melihat keadaan Umair dan mempertanyakan keadaannya. Jawab Umair, ''Tidak kurang suatu apa pun. Saya sehat, alhamdulillah, saya membawa dunia seluruhnya, saya tarik di kedua tanduknya.''
Khalifah Umar melanjutkan pertanyaannya, ''Dunia
manakah yang Anda bawa?"
Umair menjawab, ''Saya membawa kantong perbekalan dan tempat air untuk bekal
di perjalanan, beberapa lembar pakaian, air untuk wudhu, untuk membasahi kepala,
dan untuk minum. Itulah seluruh dunia yang saya bawa. Yang lain tidak saya
perlukan.'' Khalifah Umar tak menghentikan pertanyaannya. Gubernur Umair pun
selalu memberi jawaban. ''Apakah Anda datang berjalan kaki?'' ''Betul, ya Amirul
Mukminin'' ''Apakah Anda tidak diberi hewan kendaraan oleh pemerintah?''
''Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari mereka.'' ''Mana setoran pajak yang Anda bawa untuk Baitul Mal?'' ''Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal'' ''Mengapa?'' ''Setibanya di Hims, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.''
Mendengar penjelasan demikian, Khalifah Umar lantas memerintahkan untuk memperpanjang masa jabatan Umair sebagai Gubernur Hims. Namun, Umair menolaknya. ''Maaf Khalifah, saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah Anda, wahai Amirul Mukminin.'' Umair pun minta izin untuk pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Di sana ia hidup sangat sederhana dan bahagia hingga ajal menjemputnya.
Ketika Khalifah Umar mendengar kematian Umair, ia berduka sangat dalam. Ia berkata, ''Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Saad untuk membantu saya mengelola masyarakat kaum muslimin.'' Kisah perjalanan hidup para sahabat atau umat Islam generasi awal, selalu menarik untuk dikaji dan digali hikmahnya. Kita, umat Islam, sebenarnya tidak pernah mengalami krisis keteladanan. Perjalanan hidup para sahabat Nabi yang menjadi warga biasa ataupun penguasa senantiasa melahirkan hikmah yang patut dipetik.
Penggalan kisah Umair bin Saad di atas terasa aktual dan kontekstual bagi kehidupan umat Islam masa sekarang. Kian banyak kita mendapati kisah teladan para sahabat, kian rindulah kita pada kehadiran sosok-sosok pejuang Islam dan pemimpin yang ikhlas, amanah, dan bersahaja. Mestinya, kisah-kisah pejuang Islam seperti itulah yang dikabarkan kepada generasi Islam masa kini. Sehingga proses kaderisasi pemimpin yang ikhlas, amanah, dan bersahaja berjalan dengan baik dan kita tidak mengalami krisis keteladanan dan kepemimpinan seperti sekarang.
Seperti kata Khalifah Umar, kita membutuhkan sosok-sosok pemimpin dan pejuang seperti Umair untuk memimpin dan mengurus masalah umat Islam. Pengangkatan Umair sebagai Gubernur Hims juga tidak lepas dari sosok Umar bin Khattab yang ikhlas, amanah, dan bersahaja dalam memimpin umat Islam. Kita pun bisa meneladani penduduk Hims yang kritis dan korektif terhadap pemerintahnya, bukannya malah ikut menikmati kue kekuasaan dengan mendekati para pejabat yang tidak amanah dengan berbagai cara dan proposal jadi-jadian. Kita berharap sosok pemimpin umat Islam yang sedang dan akan menjadi pembesar, pejabat, atau penguasa, berlomba-lomba dalam kebajikan, untuk meneladani sikap amanah dan bersahaja seperti ditunjukkan Umair dan para sahabat Rasulullah lainnya.
Mereka tidak ambisius memegang jabatan, sesuai dengan perintah Nabi. Namun ketika amanah itu datang, mereka menjalankannya dengan baik, penuh keikhlasan, tidak korup dan otoriter, serta senantiasa mengedepankan semangat syuro dan melibatkan partisipasi rakyatnya dalam pengambilan kebijakan. Kini, adakah calon legislatif atau calon presiden yang berani dan tulus berjanji dalam kampanyenya, bahwa ia akan menjadi pejabat atau penguasa yang ikhlas, amanah, dan bersahaja seperti Umar dan Umair? Jika ada, kita berdosa jika tidak memilihnya. Wallahu a'lam.
''Tidak, mereka tidak memberi saya dan saya tidak pula memintanya dari mereka.'' ''Mana setoran pajak yang Anda bawa untuk Baitul Mal?'' ''Saya tidak membawa apa-apa untuk Baitul Mal'' ''Mengapa?'' ''Setibanya di Hims, saya kumpulkan penduduk yang baik-baik, lalu saya perintahkan mereka memungut dan mengumpulkan pajak. Setiap kali mereka berhasil mengumpulkannya, saya bermusyawarah dengan mereka, untuk apa harta itu harus digunakan dan bagaimana cara membagi-bagikannya kepada yang berhak.''
Mendengar penjelasan demikian, Khalifah Umar lantas memerintahkan untuk memperpanjang masa jabatan Umair sebagai Gubernur Hims. Namun, Umair menolaknya. ''Maaf Khalifah, saya tidak menghendaki jabatan itu lagi. Mulai saat ini saya tidak hendak bekerja lagi untuk Anda atau untuk orang lain sesudah Anda, wahai Amirul Mukminin.'' Umair pun minta izin untuk pergi ke sebuah dusun di pinggiran kota Madinah dan akan menetap di sana bersama keluarganya. Di sana ia hidup sangat sederhana dan bahagia hingga ajal menjemputnya.
Ketika Khalifah Umar mendengar kematian Umair, ia berduka sangat dalam. Ia berkata, ''Saya membutuhkan orang-orang seperti Umair bin Saad untuk membantu saya mengelola masyarakat kaum muslimin.'' Kisah perjalanan hidup para sahabat atau umat Islam generasi awal, selalu menarik untuk dikaji dan digali hikmahnya. Kita, umat Islam, sebenarnya tidak pernah mengalami krisis keteladanan. Perjalanan hidup para sahabat Nabi yang menjadi warga biasa ataupun penguasa senantiasa melahirkan hikmah yang patut dipetik.
Penggalan kisah Umair bin Saad di atas terasa aktual dan kontekstual bagi kehidupan umat Islam masa sekarang. Kian banyak kita mendapati kisah teladan para sahabat, kian rindulah kita pada kehadiran sosok-sosok pejuang Islam dan pemimpin yang ikhlas, amanah, dan bersahaja. Mestinya, kisah-kisah pejuang Islam seperti itulah yang dikabarkan kepada generasi Islam masa kini. Sehingga proses kaderisasi pemimpin yang ikhlas, amanah, dan bersahaja berjalan dengan baik dan kita tidak mengalami krisis keteladanan dan kepemimpinan seperti sekarang.
Seperti kata Khalifah Umar, kita membutuhkan sosok-sosok pemimpin dan pejuang seperti Umair untuk memimpin dan mengurus masalah umat Islam. Pengangkatan Umair sebagai Gubernur Hims juga tidak lepas dari sosok Umar bin Khattab yang ikhlas, amanah, dan bersahaja dalam memimpin umat Islam. Kita pun bisa meneladani penduduk Hims yang kritis dan korektif terhadap pemerintahnya, bukannya malah ikut menikmati kue kekuasaan dengan mendekati para pejabat yang tidak amanah dengan berbagai cara dan proposal jadi-jadian. Kita berharap sosok pemimpin umat Islam yang sedang dan akan menjadi pembesar, pejabat, atau penguasa, berlomba-lomba dalam kebajikan, untuk meneladani sikap amanah dan bersahaja seperti ditunjukkan Umair dan para sahabat Rasulullah lainnya.
Mereka tidak ambisius memegang jabatan, sesuai dengan perintah Nabi. Namun ketika amanah itu datang, mereka menjalankannya dengan baik, penuh keikhlasan, tidak korup dan otoriter, serta senantiasa mengedepankan semangat syuro dan melibatkan partisipasi rakyatnya dalam pengambilan kebijakan. Kini, adakah calon legislatif atau calon presiden yang berani dan tulus berjanji dalam kampanyenya, bahwa ia akan menjadi pejabat atau penguasa yang ikhlas, amanah, dan bersahaja seperti Umar dan Umair? Jika ada, kita berdosa jika tidak memilihnya. Wallahu a'lam.
Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Kita Membutuhkan Sosok Umair Bin Saad
Artikel Kita Membutuhkan Sosok Umair Bin Saad ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
0 Comments:
Posting Komentar