Fanatisme
hizbiyah mengancam jalinan ukhuwah Islamiyah, mendorong seseorang hanya mau
menerima informasi dan "kebenaran" dari satu sumber, yakni pemimpin atau anggota
kelompoknya. Terbaginya umat Islam ke dalam kelompok-kelompok yang berbeda (iftiroqul
ummah) merupakan kenyataan yang tidak dapat dihindari.
Sebenarnya, iftiroqul ummah tidak menjadi masalah jika masing-masing kelompok
memiliki sikap toleran, mengabaikan perbedaan (ikhtilaf) yang sifatnya "cabang"
(furu'iyah) atau bukan "pokok" (ushuliyah), dan mengedepankan persamaan, yakni
sama-sama Muslim. Pada masa Rasulullah sendiri sering terjadi perbedaan pendapat
di kalangan para sahabat, namun tidak membuat mereka bercerai-berai, apalagi
saling bermusuhan.
Kunci menyikapi perbedaan pendapat itu adalah keyakinan, bahwa kebenaran hakiki hanya Allah yang tahu. Para ulama dahulu, misalnya KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Ibnu Taimiyah, bahkan "empat imam mazhab" sekalipun, tidak pernah mengklaim kebenaran itu sebagai miliknya. Kebenaran yang hakiki milik Allah semata, sedang usaha manusia merupakan sedikit percikan dari-Nya.
Para mujtahid besar, bahkan Rasulullah SAW sendiri begitu toleran terhadap perbedaan. Iftiroqul ummah akan menjadi bencana besar jika kaum Muslim yang ada di masing-masing organisasi terjangkiti penyakit ganas bernama fanatisme hizbiyah (fanatisme golongan), yakni merasa kelompoknya paling benar dan menafikan kebenaran pihak lain. Sikap demikian tidak saja bisa menjerumuskan ke jurang kemusyrikan (karena kebenaran hanya milik Allah), tetapi juga merusak ukhuwah Islamiyah.
Tegasnya, fanatisme hizbiyah akan memutuskan ikatan-ikatan kuat tali ukhuwah sekaligus melemahkan kekuatan umat Islam secara keseluruhan. Fanatisme hizbiyah yang parah bisa memunculkan sikap "mendua", misalnya menunjukkan wajah ceria dan salam hangatnya pada orang satu kelompok, sedangkan pada kelompok lain ia bermuka masam. Padahal mereka satu saudara, sama-sama Muslim. Bisa jadi pula, fanatisme hizbiyah akan membuat kita mengabaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan kawan sekelompok, sementara jika orang lain di luar kelompok kita melakukan kesalahan yang sama, kita menggunjingkan dan menyebarluaskannya.
Fanatisme hizbiyah pun bisa menjadikan kita tidak mau belajar atau menimba ilmu kepada kelompok lain, melainkan hanya dari satu arah, yaitu hanya dari orang sekelompoknya. Itulah sumber lahirnya cara berpikir sempit, jumud, "bak katak dalam tempurung", serta tidak melihat melainkan hanya dari satu sudut pandang. Syekh Ali bin Hasan Al-Atsari dalam tulisannya mengemukakan, kaum hizbiyun biasanya melarang para pengikutnya untuk menimba ilmu dari orang-orang selain golongannya.
Kalaupun sikap mereka menjadi lunak, namun mereka akan memberikan kelonggaran dengan banyak syarat serta ikatan-ikatan yang njlimet, supaya akal-akal pikiran para pengikutnya tetap tertutup bila mendengar hal-hal yang bertentangan dengan jalan mereka atau mendengar bantahan terhadap bid'ah mereka. Menurutnya, hizbiyah mempunyai sepak terjang bid'ah yang tidak pernah dilakukan para salaf. Hal demikian teranggap sebagai penghambat ilmu dan sebab terbesar bagi terpecah belahnya jamaah.
Karena betapa banyaknya tali persatuan Islam telah terurai, dan betapa banyaknya kaum Muslim menjadi lengah karenanya. Jelaslah, fanatisme hizbiyah mengancam jalinan ukhuwah Islamiyah. Fanatisme demikian juga akan mendorong seseorang hanya mau menerima informasi, juga kebenaran atau yang dianggapnya benar, dari satu sumber, yakni pemimpin atau anggota kelompoknya. Klaim paling baik dan benar, dengan demikian, harus dienyahkan jauh-jauh dari diri kita, sebagai anggota organisasi mana pun.
Yang harus dikembangkan adalah semangat berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan semangat ukhuwah yang tetap terjaga. Sesama aktivis dakwah, meski berbeda organisasi, hendaknya mengedepankan persamaan, yakni menegakkan syi'ar Islam. Perbedaan strategi dan teknis dakwah tidak boleh sampai membuat kita bermusuhan. Dalam situasi menjelang pemilu, kita sangat rentan bermusuhan karena perbedaan partai politik. Mari, kita singkirkan fanatisme hizbiyah dalam diri kita yang hanya akan mencelakakan diri dan umat keseluruhan.
Para politisi Muslim dan massanya kita harapkan menegakkan ukhuwah Islamiyah. Meski berbeda wadah politik, mereka diharapkan tetap bersaudara, bahkan berkoalisi atau beraliansi. Kita menyadari sepenuhnya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengamalan agamanya, termasuk dalam bidang politik. Perbedaan demikian sah-sah saja, selama menyangkut furu', bukan menyangkut pokok seperti akidah.
Harapan akan bersatunya umat Islam dalam satu wadah organisasi, ormas ataupun orpol, sangat kecil kemungkinannya terpenuhi. Memang, selintas sangat mengherankan, mengapa partai-partai Islam itu tidak bersatu saja, toh sama-sama berasas Islam, sama-sama Muslim pula pengurus dan anggotanya, bahkan sama-sama menginginkan kejayaan Islam dan kaum Muslim. Apa alasan untuk berpecah dan terkotak-kotak dalam parpol berbeda? Demikian kira-kira pertanyaan kita.
Banyak hal penyebab perbedaan tersebut, antara lain adanya perbedaan strategi, selera, dan kepentingan. Hanya saja, perbedaan tersebut kita harapkan jangan lantas menimbulkan konflik, namun tetap berada dalam koridor ukhuwah Islamiyah dan kerangka persatuan umat. Kini, banyaknya partai dari kalangan umat Islam sudah tidak dapat dihindari, meski kemungkinan untuk bersatu tetap ada, namun dalam bentuk lain, misalnya koalisi atau aliansi strategis.
Apakah hal ini bertentangan dengan Alquran, 'dan berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah bercerai-berai'? Dr Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Daulah (1997) menjelaskan, tidak ada nash yang melarang adanya multipartai dalam daulah Islam. Bahkan, boleh jadi multipartai sangat dibutuhkan pada zaman sekarang, sebab hal ini bisa mencegah otokrasi kekuasaan individu dan golongan tertentu yang akan diterapkan terhadap manusia.
Otokrasi kekuasaan akan menghalangi kekuatan yang memungkinkan untuk berkata "Tidak" atau "Mengapa" di hadapannya. Namun, Qardhawi mengingatkan, tidak boleh ada partai yang menyeru kepada ateisme, permisivisme, sekularisme, atau menganggap enteng hal-hal yang disucikan Islam. Qardhawi mengemukakan, multipartai dalam politik sama dengan multimadzhab dalam fikih. Para pengikut partai bisa diserupakan dengan para pengikut mazhab fikih.
Masing-masing orang mendukung mana yang dilihatnya lebih dekat dengan kebenaran dan memang lebih layak untuk didukung. Namun demikian, Qardhawi mengingatkan, jangan sampai terjadi taqlid dan fanatisme buta, serta menganggap para pemegang kekuasaan sebagai orang-orang yang suci. "Partai merupakan sarana untuk menghadapi dan memperhitungkan kekuasaan yang menyimpang, lalu mengembalikannya ke jalan yang benar, atau menggesernya dan menggantinya dengan yang lain," tulisnya. Elit politisi Muslim selayaknya menunjukkan kepada umat, bahwa berbeda bukan berarti saling benci. Kita berbeda partai, tapi kita tetap bersaudara, begitu idealnya bukan? Semoga! Wallahu a'lam.
Kunci menyikapi perbedaan pendapat itu adalah keyakinan, bahwa kebenaran hakiki hanya Allah yang tahu. Para ulama dahulu, misalnya KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asy'ari, Ibnu Taimiyah, bahkan "empat imam mazhab" sekalipun, tidak pernah mengklaim kebenaran itu sebagai miliknya. Kebenaran yang hakiki milik Allah semata, sedang usaha manusia merupakan sedikit percikan dari-Nya.
Para mujtahid besar, bahkan Rasulullah SAW sendiri begitu toleran terhadap perbedaan. Iftiroqul ummah akan menjadi bencana besar jika kaum Muslim yang ada di masing-masing organisasi terjangkiti penyakit ganas bernama fanatisme hizbiyah (fanatisme golongan), yakni merasa kelompoknya paling benar dan menafikan kebenaran pihak lain. Sikap demikian tidak saja bisa menjerumuskan ke jurang kemusyrikan (karena kebenaran hanya milik Allah), tetapi juga merusak ukhuwah Islamiyah.
Tegasnya, fanatisme hizbiyah akan memutuskan ikatan-ikatan kuat tali ukhuwah sekaligus melemahkan kekuatan umat Islam secara keseluruhan. Fanatisme hizbiyah yang parah bisa memunculkan sikap "mendua", misalnya menunjukkan wajah ceria dan salam hangatnya pada orang satu kelompok, sedangkan pada kelompok lain ia bermuka masam. Padahal mereka satu saudara, sama-sama Muslim. Bisa jadi pula, fanatisme hizbiyah akan membuat kita mengabaikan kesalahan-kesalahan yang dilakukan kawan sekelompok, sementara jika orang lain di luar kelompok kita melakukan kesalahan yang sama, kita menggunjingkan dan menyebarluaskannya.
Fanatisme hizbiyah pun bisa menjadikan kita tidak mau belajar atau menimba ilmu kepada kelompok lain, melainkan hanya dari satu arah, yaitu hanya dari orang sekelompoknya. Itulah sumber lahirnya cara berpikir sempit, jumud, "bak katak dalam tempurung", serta tidak melihat melainkan hanya dari satu sudut pandang. Syekh Ali bin Hasan Al-Atsari dalam tulisannya mengemukakan, kaum hizbiyun biasanya melarang para pengikutnya untuk menimba ilmu dari orang-orang selain golongannya.
Kalaupun sikap mereka menjadi lunak, namun mereka akan memberikan kelonggaran dengan banyak syarat serta ikatan-ikatan yang njlimet, supaya akal-akal pikiran para pengikutnya tetap tertutup bila mendengar hal-hal yang bertentangan dengan jalan mereka atau mendengar bantahan terhadap bid'ah mereka. Menurutnya, hizbiyah mempunyai sepak terjang bid'ah yang tidak pernah dilakukan para salaf. Hal demikian teranggap sebagai penghambat ilmu dan sebab terbesar bagi terpecah belahnya jamaah.
Karena betapa banyaknya tali persatuan Islam telah terurai, dan betapa banyaknya kaum Muslim menjadi lengah karenanya. Jelaslah, fanatisme hizbiyah mengancam jalinan ukhuwah Islamiyah. Fanatisme demikian juga akan mendorong seseorang hanya mau menerima informasi, juga kebenaran atau yang dianggapnya benar, dari satu sumber, yakni pemimpin atau anggota kelompoknya. Klaim paling baik dan benar, dengan demikian, harus dienyahkan jauh-jauh dari diri kita, sebagai anggota organisasi mana pun.
Yang harus dikembangkan adalah semangat berlomba-lomba dalam kebaikan, dengan semangat ukhuwah yang tetap terjaga. Sesama aktivis dakwah, meski berbeda organisasi, hendaknya mengedepankan persamaan, yakni menegakkan syi'ar Islam. Perbedaan strategi dan teknis dakwah tidak boleh sampai membuat kita bermusuhan. Dalam situasi menjelang pemilu, kita sangat rentan bermusuhan karena perbedaan partai politik. Mari, kita singkirkan fanatisme hizbiyah dalam diri kita yang hanya akan mencelakakan diri dan umat keseluruhan.
Para politisi Muslim dan massanya kita harapkan menegakkan ukhuwah Islamiyah. Meski berbeda wadah politik, mereka diharapkan tetap bersaudara, bahkan berkoalisi atau beraliansi. Kita menyadari sepenuhnya, meski sama-sama beragama Islam, namun umat Islam berbeda dalam hal penafsiran, pemahaman, dan pengamalan agamanya, termasuk dalam bidang politik. Perbedaan demikian sah-sah saja, selama menyangkut furu', bukan menyangkut pokok seperti akidah.
Harapan akan bersatunya umat Islam dalam satu wadah organisasi, ormas ataupun orpol, sangat kecil kemungkinannya terpenuhi. Memang, selintas sangat mengherankan, mengapa partai-partai Islam itu tidak bersatu saja, toh sama-sama berasas Islam, sama-sama Muslim pula pengurus dan anggotanya, bahkan sama-sama menginginkan kejayaan Islam dan kaum Muslim. Apa alasan untuk berpecah dan terkotak-kotak dalam parpol berbeda? Demikian kira-kira pertanyaan kita.
Banyak hal penyebab perbedaan tersebut, antara lain adanya perbedaan strategi, selera, dan kepentingan. Hanya saja, perbedaan tersebut kita harapkan jangan lantas menimbulkan konflik, namun tetap berada dalam koridor ukhuwah Islamiyah dan kerangka persatuan umat. Kini, banyaknya partai dari kalangan umat Islam sudah tidak dapat dihindari, meski kemungkinan untuk bersatu tetap ada, namun dalam bentuk lain, misalnya koalisi atau aliansi strategis.
Apakah hal ini bertentangan dengan Alquran, 'dan berpegang teguhlah kepada tali Allah dan janganlah bercerai-berai'? Dr Yusuf Qardhawi dalam Fiqih Daulah (1997) menjelaskan, tidak ada nash yang melarang adanya multipartai dalam daulah Islam. Bahkan, boleh jadi multipartai sangat dibutuhkan pada zaman sekarang, sebab hal ini bisa mencegah otokrasi kekuasaan individu dan golongan tertentu yang akan diterapkan terhadap manusia.
Otokrasi kekuasaan akan menghalangi kekuatan yang memungkinkan untuk berkata "Tidak" atau "Mengapa" di hadapannya. Namun, Qardhawi mengingatkan, tidak boleh ada partai yang menyeru kepada ateisme, permisivisme, sekularisme, atau menganggap enteng hal-hal yang disucikan Islam. Qardhawi mengemukakan, multipartai dalam politik sama dengan multimadzhab dalam fikih. Para pengikut partai bisa diserupakan dengan para pengikut mazhab fikih.
Masing-masing orang mendukung mana yang dilihatnya lebih dekat dengan kebenaran dan memang lebih layak untuk didukung. Namun demikian, Qardhawi mengingatkan, jangan sampai terjadi taqlid dan fanatisme buta, serta menganggap para pemegang kekuasaan sebagai orang-orang yang suci. "Partai merupakan sarana untuk menghadapi dan memperhitungkan kekuasaan yang menyimpang, lalu mengembalikannya ke jalan yang benar, atau menggesernya dan menggantinya dengan yang lain," tulisnya. Elit politisi Muslim selayaknya menunjukkan kepada umat, bahwa berbeda bukan berarti saling benci. Kita berbeda partai, tapi kita tetap bersaudara, begitu idealnya bukan? Semoga! Wallahu a'lam.
sumber :
republika Online
Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Mengikis Fanatisme Hizbiyah
Artikel Mengikis Fanatisme Hizbiyah ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
0 Comments:
Posting Komentar