Orang yang
sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individu dan sosial
yang tinggi, sebagai hasil tempaan selama mereka melaksanakan ritual haji di
Tanah Suci yang penuh hikmah Alkisah, ada sepasang suami istri yang dikenal
cukup taat beribadah dan mampu secara fisik, mental, dan material untuk
melakukan ibadah haji.
Namun, di tengah perjalanan menuju Mekkah, mereka bertemu dengan orang yang kelaparan. Karena berjiwa dermawan, sangat peduli dengan kaum yang lemah, mereka memilih membatalkan pergi ke Baitullah dengan memberikan bekal perjalanannya kepada orang tersebut, lalu kembali ke kampungnya. Ketika sampai di rumah, suami-istri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih yang langsung menyambut dan menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, ''Kami tidak jadi hajinya.''
Namun, di tengah perjalanan menuju Mekkah, mereka bertemu dengan orang yang kelaparan. Karena berjiwa dermawan, sangat peduli dengan kaum yang lemah, mereka memilih membatalkan pergi ke Baitullah dengan memberikan bekal perjalanannya kepada orang tersebut, lalu kembali ke kampungnya. Ketika sampai di rumah, suami-istri itu dikejutkan oleh orang yang berjubah putih yang langsung menyambut dan menyalaminya. Dengan kaget mereka berkata, ''Kami tidak jadi hajinya.''
Penyambut tadi menjawab, ''Kalian sudah jadi haji mabrur, karena tadi telah
menyantuni orang meski tidak berangkat ke Tanah Suci.'' Cerita sufistik yang
cukup popule rantara lain dikemukakan oleh Nurcholish Madjid (1990) itu sangat
aktual dan kontekstual untuk kita ulas sekarang ini. Saat jutaan umat Islam,
sekitar 200 ribu di antaranya dari Indonesia, selesai melaksanakan ibadah haji
dan pulang ke kota asal atau kampung halaman masing-masing.
Hikmah yang tersirat dalam kisah tadi utamanya adalah makna haji mabrur yang menyiratkan adanya watak kesalehan dan kepedulian sosial. Tegasnya, salah satu karakter haji mabrur ibadah haji yang diterima Allah SWT dengan imbalan syurga adalah tumbuhnya kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, bisa dikatakan ibadah haji merupakan salah satu pintu gerbang menuju kesalehan sosial.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individu dan sosial yang tinggi, sebagai hasil tempaan selama mereka berada di Tanah Suci. Karakteristik haji mabrur lebih rinci dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya, ''Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal: sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, sikap sabar yang dapat meredam amarah, dan bergaul baik dengan sesama manusia."
Dengan kata lain, ibadah haji memiliki implikasi individual dan sosial. Jika implikasi ini tidak dimiliki jamaah haji, maka bisa jadi sabda Rasul SAW tadi berlaku pada mereka. Implikasi itu adalah individu yang kian wara' dan sabar serta bergaul baik dengan sesama. Wajar, jika haji mabrur menjadi satu amal utama dalam Islam selain iman dan jihad, dan hanya surga yang pantas diberikan sebagai imbalan haji mabrur.
Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata untuk kepentingan hablum minallah, tapi juga dijadikan pelajaran untuk membentuk kepribadian atau moralitas dalam pergaulan antara sesama manusia. Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji merupakan keniscayaan bagi setiap umat Islam. Implikasi haji mabrur yang luar biasa tadi merupakan hasil dari tempaan ritual haji yang penuh sejarah dan hikmah. Bahkan, tempaan itu sudah dimulai saat seseorang berniat pergi ke Baitullah.
Ibadah haji tidak saja membutuhkan kesiapan fisik prima, harta untuk perjalanan, dan akomodasi, tapi juga harus memerlukan kesiapan mental yang tangguh. Seseorang memerlukan pengetahuan yang cukup bukan saja tentang ilmu haji itu sendiri, tapi juga ajaran Islam secara keseluruhan dan wawasan dunia Islam. Dalam Islam, setiap jenis ibadah mengandung setidaknya tiga hal, yakni niat, ritus (praktik), dan pengaruh atau hikmah (sosial).
Ibadah haji tak sekadar membutuhkan niat yang benar (ikhlas, bukan riya' atau ingin dipuji orang lain), ritual atau amaliah yang benar sesuai sunnah Rasul, tapi juga membutuhkan bukti keikhlasan dan amaliah yang benar itu dengan adanya perubahan pada perilaku, baik secara transendental maupun secara sosial. Hikmah ibadah haji bisa digali dari bacaan niat ibadah haji (talbiyah, ''Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya Allah, kami datang ke hadirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah, segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah.''
Kalimat itu mengandung makna pengakuan, kepasrahan, sekaligus kepatuhan dari seorang hamba kepada Sang Pencipta, sikap-sikap batin yang merupakan modal kuat bagi munculnya kejujuran, keikhlasan, dan rendah hati. Penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram) merupakan simbol kuat kepasrahan dan penghilangan egosentrisme. Dalam pandangan Ali Syari'ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah).
''Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya,'' kata Syari'ati. Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya. Ibadah haji secara lahiriah adalah napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim Itulah sebabnya ibadah haji disebut juga ziarah. Yakni, mengunjungi bukti-bukti sejarah sekaligus rekonstruksi episode perjuangan keluarga Nabi Ibrahim. Lebih dari itu, ritual demi ritual ibadah haji menyiratkan status manusia di muka bumi dan mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan ini.
Thawaf dimaksudkan untuk mengingat istri Nabi Ibrahim yang merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Ismail. Allah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan perjuangannya untuk hijrah dari kebatilan pada kebaikan. Ka'bah merupakan simbol pemersatu umat Islam. Ke sanalah seluruh umat Islam menghadap dalam shalat. Itulah potensi dasar yang sangat kuat bagi adanya persatuan umat Islam dan mengabaikan fatanisme golongan.
Berkumpulnya jamaah haji di Padang Arafah nan gersang, wuquf sampai terbenam matahari, idealnya membuat setiap pelaku ibadah haji sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Juga menyadarkan akan dialaminya pengumpulan manusia di Padang Mahsyar di akhirat kelak, saat amal perbuatan semua manusia dihisab dan diberi ganjaran surga atau neraka.
Melempar jumrah menyimbolkan pelenyapan musuh nyata dan abadi dalam diri kita, yakni nafsu setan. Sa'i, yaitu berjalan atau berlari anak antara bukit Shafa dan Marwah, menggambarkan perjuangan Siti Hajar untuk menemukan air, sekaligus isyarat keharusan berjuang keras penuh pengorbanan dan keikhlasan jika ingin mendapatkan sesuatu. Sedangkan, tahallul (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan jiwa dari sifat-sifat busuk. Tahallul mengajarkan kejernihan hati dan pikiran.
Jamaah haji yang melakukannya siap menjadi manusia baru yang memiliki kesalehan individual dan sosial. Kesalehan itulah yang menjadi modal bagi perbaikan diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa secara keseluruhan. Maka, sekitar 200 ribu jamaah haji Indonesia yang sudah dan akan kembali ke Tanah Air, diharapkan menjadi manusia-manusia baru, dengan semangat baru, untuk menjadi pionir dalam perbaikan bangsa yang sakit ini. Wallahu a'lam.
Hikmah yang tersirat dalam kisah tadi utamanya adalah makna haji mabrur yang menyiratkan adanya watak kesalehan dan kepedulian sosial. Tegasnya, salah satu karakter haji mabrur ibadah haji yang diterima Allah SWT dengan imbalan syurga adalah tumbuhnya kepedulian terhadap sesama. Dengan demikian, bisa dikatakan ibadah haji merupakan salah satu pintu gerbang menuju kesalehan sosial.
Orang yang sudah melaksanakan ibadah haji, idealnya memiliki kesalehan individu dan sosial yang tinggi, sebagai hasil tempaan selama mereka berada di Tanah Suci. Karakteristik haji mabrur lebih rinci dikemukakan Rasulullah SAW dalam salah satu sabdanya, ''Tidak akan berhasil bagi orang yang melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci sekiranya tidak membawa tiga hal: sikap wara' yang membendung dirinya melakukan yang diharamkan, sikap sabar yang dapat meredam amarah, dan bergaul baik dengan sesama manusia."
Dengan kata lain, ibadah haji memiliki implikasi individual dan sosial. Jika implikasi ini tidak dimiliki jamaah haji, maka bisa jadi sabda Rasul SAW tadi berlaku pada mereka. Implikasi itu adalah individu yang kian wara' dan sabar serta bergaul baik dengan sesama. Wajar, jika haji mabrur menjadi satu amal utama dalam Islam selain iman dan jihad, dan hanya surga yang pantas diberikan sebagai imbalan haji mabrur.
Syarat dan rukun ibadah haji tidak semata-mata untuk kepentingan hablum minallah, tapi juga dijadikan pelajaran untuk membentuk kepribadian atau moralitas dalam pergaulan antara sesama manusia. Dengan demikian, memahami dan menemukan makna sosial dalam ibadah haji merupakan keniscayaan bagi setiap umat Islam. Implikasi haji mabrur yang luar biasa tadi merupakan hasil dari tempaan ritual haji yang penuh sejarah dan hikmah. Bahkan, tempaan itu sudah dimulai saat seseorang berniat pergi ke Baitullah.
Ibadah haji tidak saja membutuhkan kesiapan fisik prima, harta untuk perjalanan, dan akomodasi, tapi juga harus memerlukan kesiapan mental yang tangguh. Seseorang memerlukan pengetahuan yang cukup bukan saja tentang ilmu haji itu sendiri, tapi juga ajaran Islam secara keseluruhan dan wawasan dunia Islam. Dalam Islam, setiap jenis ibadah mengandung setidaknya tiga hal, yakni niat, ritus (praktik), dan pengaruh atau hikmah (sosial).
Ibadah haji tak sekadar membutuhkan niat yang benar (ikhlas, bukan riya' atau ingin dipuji orang lain), ritual atau amaliah yang benar sesuai sunnah Rasul, tapi juga membutuhkan bukti keikhlasan dan amaliah yang benar itu dengan adanya perubahan pada perilaku, baik secara transendental maupun secara sosial. Hikmah ibadah haji bisa digali dari bacaan niat ibadah haji (talbiyah, ''Kami sambut seruan-Mu ya Allah, kami datang menunaikan panggilan-Mu ya Allah, kami datang ke hadirat-Mu, ya Allah, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah, segala puji, nikmat dan kekuasaan adalah untuk-Mu semata, tiada sekutu bagi-Mu, ya Allah.''
Kalimat itu mengandung makna pengakuan, kepasrahan, sekaligus kepatuhan dari seorang hamba kepada Sang Pencipta, sikap-sikap batin yang merupakan modal kuat bagi munculnya kejujuran, keikhlasan, dan rendah hati. Penanggalan pakaian yang biasa dipakai digantikan dengan hanya dua helai kain putih (kain ihram) merupakan simbol kuat kepasrahan dan penghilangan egosentrisme. Dalam pandangan Ali Syari'ati (1980), pakaian ihram melambangkan pelepasan semua sifat buruk dalam diri, yakni sifat serigala (kekejaman dan penindasan), tikus (kelicikan), anjing (tipu daya), dan kambing (penghambaan kepada selain Allah).
''Lepaskan dan berperanlah sebagai manusia sesungguhnya,'' kata Syari'ati. Dengan demikian, haji mabrur bisa membuat pelakunya menghilangkan semua sifat buruk tersebut dalam dirinya. Ibadah haji secara lahiriah adalah napak tilas perjuangan Nabi Ibrahim Itulah sebabnya ibadah haji disebut juga ziarah. Yakni, mengunjungi bukti-bukti sejarah sekaligus rekonstruksi episode perjuangan keluarga Nabi Ibrahim. Lebih dari itu, ritual demi ritual ibadah haji menyiratkan status manusia di muka bumi dan mengajarkan apa yang seharusnya dilakukan dalam kehidupan ini.
Thawaf dimaksudkan untuk mengingat istri Nabi Ibrahim yang merupakan budak dari kalangan hitam ketika menggendong putranya, Ismail. Allah menjadikannya mulia bukan karena kedudukan dan status sosialnya, tapi karena keyakinan dan perjuangannya untuk hijrah dari kebatilan pada kebaikan. Ka'bah merupakan simbol pemersatu umat Islam. Ke sanalah seluruh umat Islam menghadap dalam shalat. Itulah potensi dasar yang sangat kuat bagi adanya persatuan umat Islam dan mengabaikan fatanisme golongan.
Berkumpulnya jamaah haji di Padang Arafah nan gersang, wuquf sampai terbenam matahari, idealnya membuat setiap pelaku ibadah haji sadar akan status kemanusiaannya sebagai makhluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa orang lain. Juga menyadarkan akan dialaminya pengumpulan manusia di Padang Mahsyar di akhirat kelak, saat amal perbuatan semua manusia dihisab dan diberi ganjaran surga atau neraka.
Melempar jumrah menyimbolkan pelenyapan musuh nyata dan abadi dalam diri kita, yakni nafsu setan. Sa'i, yaitu berjalan atau berlari anak antara bukit Shafa dan Marwah, menggambarkan perjuangan Siti Hajar untuk menemukan air, sekaligus isyarat keharusan berjuang keras penuh pengorbanan dan keikhlasan jika ingin mendapatkan sesuatu. Sedangkan, tahallul (memotong rambut) mengandung isyarat pembersihan jiwa dari sifat-sifat busuk. Tahallul mengajarkan kejernihan hati dan pikiran.
Jamaah haji yang melakukannya siap menjadi manusia baru yang memiliki kesalehan individual dan sosial. Kesalehan itulah yang menjadi modal bagi perbaikan diri, keluarga, lingkungan, dan bangsa secara keseluruhan. Maka, sekitar 200 ribu jamaah haji Indonesia yang sudah dan akan kembali ke Tanah Air, diharapkan menjadi manusia-manusia baru, dengan semangat baru, untuk menjadi pionir dalam perbaikan bangsa yang sakit ini. Wallahu a'lam.
Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Haji Mabrur : Keshalihan Individu dan Sosial
Artikel Haji Mabrur : Keshalihan Individu dan Sosial ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
0 Comments:
Posting Komentar