|
Laporan :
|
|
Ada dua peran
yang saling melengkapi di dalam keluarga, yaitu peran karakter orangtua dan
peran karakter anak. Interaksi antar karakter pembentuk keluarga itulah yang
menentukan sakinah, mawaddah, wa rahmah-nya sebuah keluarga.
Syarat mutlak agar hubungan yang terjadi menciptakan kondisi keluarga sakinah, adalah para karakter yang berperan dalam interaksi tersebut harus menjadi ahli ma`rifat. Sebagai penanggungjawab, orangtua wajib memelopori kegiatan pemahaman yang mendalam terhadap ilmu ma'rifatullah, ma'rifatun nabi, dan ma'rifatuddin dalam lingkup keluarganya. Diharapkan, seluruh anggota keluarga dapat menginsyafi tujuan mulia yang terkandung didalam ketiga cabang kema'rifatan tersebut.
Dalam konteks keluarga, ma`rifatullah bertujuan agar seluruh anggota keluarga mengetahui siapa Tuhannya dan melalui apa mereka dapat mengenali Tuhannya. Melalui ma`rifatuddin seluruh anggota keluarga diharapkan mengetahui dengan cara apa mereka dapat berserah diri kepada Allah SWT dan mengukur kedekatan mereka dengan sang Khaliq.
Syarat mutlak agar hubungan yang terjadi menciptakan kondisi keluarga sakinah, adalah para karakter yang berperan dalam interaksi tersebut harus menjadi ahli ma`rifat. Sebagai penanggungjawab, orangtua wajib memelopori kegiatan pemahaman yang mendalam terhadap ilmu ma'rifatullah, ma'rifatun nabi, dan ma'rifatuddin dalam lingkup keluarganya. Diharapkan, seluruh anggota keluarga dapat menginsyafi tujuan mulia yang terkandung didalam ketiga cabang kema'rifatan tersebut.
Dalam konteks keluarga, ma`rifatullah bertujuan agar seluruh anggota keluarga mengetahui siapa Tuhannya dan melalui apa mereka dapat mengenali Tuhannya. Melalui ma`rifatuddin seluruh anggota keluarga diharapkan mengetahui dengan cara apa mereka dapat berserah diri kepada Allah SWT dan mengukur kedekatan mereka dengan sang Khaliq.
Kemudian, seluruh anggota keluarga diharapkan dapat
mengenali teladan dari kalangan manusia yang dapat ditiru dalam hal ketauhidan
dan praktek ibadah yang benar dan sempurna melalui pemahaman terhadap ma`rifatun
nabi. Ikhtiar ini akan membawa seluruh keluarga menjadi ahli ma`rifat.
Menurut Junaid al-Baghdadi, ahli ma`rifat memiliki sifat-sifat seperti:
Menurut Junaid al-Baghdadi, ahli ma`rifat memiliki sifat-sifat seperti:
(1) mengenal Allah SWT seakan-akan ia dapat berhubungan langsung dengannya;
(2) Beramal sesuai petunjuk dari Rasulullah SAW;
(3) Berserah diri kepada Allah SWT
dalam mengendalikan hawa nafsunya;
(4) Merasa bahwa dirinya adalah milik Allah
SWT dan suatu saat akan kembali padanya.
Dari sifat-sifat yang dikemukakan diatas, anggota keluarga yang juga seorang ahli ma`rifat selalu mempunyai solusi dan cara-cara yang tepat dalam menyikapi masalah yang sering timbul dalam keluarga. Seorang ayah sebagai seorang pemimpin keluarga, tidak akan berlaku sewenang-wenang kepada istri dan anak-anaknya, karena ia telah mengenal Allah Azza wa Jalla dalam pengertian seakan-akan selalu berhubungan langsung dengan-Nya. Ia akan merasa bahwa Allah senantiasa menyaksikan apa yang ia perbuat.
Contoh berikutnya, adalah ketika seorang istri tertarik dengan perhiasan yang harganya sangat mahal. Jika ia tidak pernah mengkaji dan mendapatkan keteladanan dalam hal kema`rifatan oleh suami, maka bisa dipastikan bahwa ia akan terus menuntut dibelikan barang tersebut, padahal ia dan suami belum tentu memiliki cukup uang untuk membeli benda yang diinginkan. Namun jika ia memiliki sifat ahli ma`rifat maka ia tidak akan menuntut banyak kepada suami. Istri dengan sifat ahli ma`rifat ini, dapat mengekang keinginannya yang berasal dari hawa nafsu tersebut. Itu terjadi karena ia telah terbiasa berserah diri kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Sebuah keluarga yang beranggotakan ahli ma`rifat, akan dijauhkan dari perasaan suka cita yang berlebihan dan perasaan duka yang tak berkesudahan. Jika seorang ayah dan suami misalnya diamanahi pangkat dan jabatan, maka istri dan anak-anaknya akan mengingatkan kepala keluarga mereka untuk selalu berpedoman pada petunjuk Allah SWT dalam setiap langkah menjalani jabatan tersebut. Keluarga tersebut tidak akan berfoya-foya merayakan pengangkatan itu, karena mereka menganggap bahwa jabatan hanyalah sesuatu yang bersifat sementara.
Contoh selanjutnya mengenai sikap keluarga ahli ma`rifat adalah ketika keluarga itu ditinggalkan wafat oleh salah satu anggota keluarga. Keluarga tersebut tidak akan membiarkan diri mereka terus-menerus dirundung duka. Merekapun tak akan menolak keputusan yang sudah digariskan oleh Allah Azza Wa Jalla itu. Mereka akan mampu mengusir kedukaan, karena merasa bahwa segala sesuatu adalah milik Allah Ta`ala serta akan kembali pula kepada-Nya tak terkecuali dirinya juga.
Untuk mencapai maqam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah berlandaskan kema`rifatan ini, terdapat berbagai problem yang senantiasa merintangi terwujudnya kondisi tersebut. Agar problem tersebut tidak menjadi pelik atau begitu menghambat, maka mau tak mau pribadi para anggota keluarga harus dididik menjadi ahli ma`rifat.
Pembelajaran, pengamalan, pendakwahan dan kesabaran dalam mengecap kema'rifatan, akan melahirkan pribadi-pribadi dengan sifat-sifat terpuji. Seandainya berkumpul sifat-sifat terpuji tersebut dalam diri kita dan seluruh anggota keluarga, Insya Allah, keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah akan terwujud dalam keluarga kita.
Dari sifat-sifat yang dikemukakan diatas, anggota keluarga yang juga seorang ahli ma`rifat selalu mempunyai solusi dan cara-cara yang tepat dalam menyikapi masalah yang sering timbul dalam keluarga. Seorang ayah sebagai seorang pemimpin keluarga, tidak akan berlaku sewenang-wenang kepada istri dan anak-anaknya, karena ia telah mengenal Allah Azza wa Jalla dalam pengertian seakan-akan selalu berhubungan langsung dengan-Nya. Ia akan merasa bahwa Allah senantiasa menyaksikan apa yang ia perbuat.
Contoh berikutnya, adalah ketika seorang istri tertarik dengan perhiasan yang harganya sangat mahal. Jika ia tidak pernah mengkaji dan mendapatkan keteladanan dalam hal kema`rifatan oleh suami, maka bisa dipastikan bahwa ia akan terus menuntut dibelikan barang tersebut, padahal ia dan suami belum tentu memiliki cukup uang untuk membeli benda yang diinginkan. Namun jika ia memiliki sifat ahli ma`rifat maka ia tidak akan menuntut banyak kepada suami. Istri dengan sifat ahli ma`rifat ini, dapat mengekang keinginannya yang berasal dari hawa nafsu tersebut. Itu terjadi karena ia telah terbiasa berserah diri kepada Allah dalam mengendalikan hawa nafsunya.
Sebuah keluarga yang beranggotakan ahli ma`rifat, akan dijauhkan dari perasaan suka cita yang berlebihan dan perasaan duka yang tak berkesudahan. Jika seorang ayah dan suami misalnya diamanahi pangkat dan jabatan, maka istri dan anak-anaknya akan mengingatkan kepala keluarga mereka untuk selalu berpedoman pada petunjuk Allah SWT dalam setiap langkah menjalani jabatan tersebut. Keluarga tersebut tidak akan berfoya-foya merayakan pengangkatan itu, karena mereka menganggap bahwa jabatan hanyalah sesuatu yang bersifat sementara.
Contoh selanjutnya mengenai sikap keluarga ahli ma`rifat adalah ketika keluarga itu ditinggalkan wafat oleh salah satu anggota keluarga. Keluarga tersebut tidak akan membiarkan diri mereka terus-menerus dirundung duka. Merekapun tak akan menolak keputusan yang sudah digariskan oleh Allah Azza Wa Jalla itu. Mereka akan mampu mengusir kedukaan, karena merasa bahwa segala sesuatu adalah milik Allah Ta`ala serta akan kembali pula kepada-Nya tak terkecuali dirinya juga.
Untuk mencapai maqam keluarga yang sakinah, mawaddah, dan wa rahmah berlandaskan kema`rifatan ini, terdapat berbagai problem yang senantiasa merintangi terwujudnya kondisi tersebut. Agar problem tersebut tidak menjadi pelik atau begitu menghambat, maka mau tak mau pribadi para anggota keluarga harus dididik menjadi ahli ma`rifat.
Pembelajaran, pengamalan, pendakwahan dan kesabaran dalam mengecap kema'rifatan, akan melahirkan pribadi-pribadi dengan sifat-sifat terpuji. Seandainya berkumpul sifat-sifat terpuji tersebut dalam diri kita dan seluruh anggota keluarga, Insya Allah, keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah akan terwujud dalam keluarga kita.
Wallahu a`lam bishshawab.
abu rashif rn/mns/mqp
|
Laporan :
|
|
Ukuran
keunggulan diri dalam Islam, dinilai dari derajat keimanan dan keihsanan yang
terpancar dari pribadi-pribadi Muslim saat beraktivitas dan mensinergikan
potensinya menggapai kemaslahatan. Keunggulan individu itu terbentuk melalui
tahapan proses. Tahapan yang diawali dari pembentukan karakter dalam suatu wadah
atau organisasi bernama keluarga.
Sebuah keluarga berkontribusi besar terhadap pembentukan jati diri seseorang.
Nilai yang dianut keluarga adalah doktrin awal yang akan mempengaruhi cara
pandang seseorang terhadap berbagai dimensi kehidupan.
Nilai-nilai tersebut akan digunakan sebagai pedoman bersikap dalam interaksi dengan sesama maupun dalam interaksi secara vertikal dengan Allah SWT. Karena pengaruh besar faktor keluarga tersebut, maka kualitas keunggulan pribadi ditentukan pula oleh nilai keunggulan yang dimiliki oleh keluarga tempat ia dilahirkan dan tumbuh.
Keunggulan keluarga identik dengan maksimalisasi potensi para anggotanya dalam
menempuh ikhtiar mencari ilmu, melakukan kasab, dan ibadah ritual. Titik optimal
yang dituju adalah terpenuhinya kebutuhan spiritual dan material tiap-tiap
anggota keluarga, sehingga tergolong sejahtera. Pemaksimalan potensi di atas
melibatkan berbagai peran dan fungsi yang berbeda. Sesuai dengan potensi bakat
dan tuntutan kewajiban yang diemban oleh masing-masing anggota keluarga.
Pada lazimnya sebuah keluarga beranggotakan, ayah, ibu, dan anak-anak. Seorang
ayah adalah inspirator keluarga yang memberikan ilham keteladanan. Dalam
posisinya, seorang ayah dituntut untuk selalu memberikan contoh yang baik dalam
segala aktivitas, baik di lingkup internal maupun eksternal keluarga. Dedikasi
dan kredibilitas yang dibentuk, hendaknya membawa pribadi seorang ayah kepada
ciri-ciri panutan ideal. Supaya kata-katanya didengar, akhlak pribadinya ditiru,
dan penyikapannya terhadap aneka permasalahan hidup menjadi sumber inspirasi
bagi anggota keluarga lainnya.
Kontributor berikutnya dalam pengembangan potensi keluarga adalah peran dan
fungsi seorang ibu. Esensi fungsional seorang ibu adalah pengemban amanah dalam
dukungan moral spiritual. Bakat kelembutan, ketelatenan, dan kasih sayang yang
terpancar dari pribadi seorang ibu adalah perekat hubungan antara sesama anggota
keluarga. Melalui potensinya itu, seorang ibu memiliki tanggung jawab bagi
terciptanya ketenteraman di dalam rumah tangga.
Peran dan fungsi paling akhir dalam optimalisasi keunggulan keluarga terdapat
pada anak sebagai generasi penerus. Anak-anak yang diharapkan lahir dari rahim
seorang ibu adalah seorang anak yang saleh. Yaitu, seorang anak yang tumbuh
dewasa dalam ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla.
Sebagai perhiasan dunia dan amanah bagi kedua orang tua, anak-anak adalah harapan dan cita di masa yang akan datang. Lewat optimalisasi pendidikan, keteladanan, dan kasih sayang, anak-anak akan tumbuh sebagai generasi penerus yang unggul. Berkenaan dengan masalah kesalehan seorang anak, Allah SWT telah menjanjikan keutamaan bagi orang tua yang memiliki putra-putri saleh.
Menurut janji-Nya tersebut, anak yang saleh merupakan salah satu amal ibadah
yang pahalanya akan terus mengalir pada kedua orang tua, kendati ayah dan ibunya
telah berpulang ke alam baka. Oleh karenanya, seorang anak berperan sebagai
motivator di dalam keluarga. Sebab, anak-anak adalah pemilik hari depan, tempat
bergantungnya harapan keberlangsungan keluarga.
Akhirnya, semoga umat Islam menyadari bahwa generasi yang unggul terbentuk dari
keluarga yang mempunyai keunggulan pula. Keluarga yang unggul adalah keluarga
yang para anggota di dalamnya mampu berperan sesuai dengan fungsi amanah yang
diembannya. Mereka hendaknya bisa saling memberikan kontribusi positif, hingga
keragaman fungsi dan peranan tersebut dapat saling melengkapi. Potensi-potensi
yang ada dalam diri mereka akan bersatu membentuk suatu pola yang stabil menjaga
kedisiplinan proses.
Dengan kedisiplinan proses itulah, tujuan utama dari keluarga unggul yaitu
terlahirnya pribadi-pribadi salihin dapat terwujudkan. Semoga Allah Azza Wa
Jalla menakdirkan proses di dalam keluarga kita menjadi sarana dan jalan
terlahirnya generasi penerus yang unggul, yang akan meneruskan perjuangan bagi
tegaknya Islam di atas bumi ini.
Insya Allah.
ae/mns/mqp
|
Laporan :
|
|
Telah
dimaklumi bahwa di zaman kita ini, jalan seseorang untuk menikah, laki-laki
maupun perempuan, tidaklah mudah. Selalu saja ada kendala-kendala yang
menghalangi proses pernikahan itu, baik kendala materi, mentalitas, maupun
kultur sosial. Menikah akhirnya menjadi "barang" eksklusif yang tidak dengan
mudah bisa dinikmati oleh semua orang.
Katakanlah, pernikahan itu sudah berlangsung. Setelah sekian lama menanti, penuh
kesabaran, rintihan dan doa, akhirnya impian pernikahan itu menjelma menjadi
realita. Pernikahan pun terjadi dengan penuh damai, gembira dan selamat. Namun
apakah persoalan berhenti sampai disini?
Ternyata tidak. Sesudah menikah (secara sah dan benar) sepasang suami-isteri
harus bahu-membahu, berjuang keras, mengerahkan semua daya yang dimiliki untuk
satu pekerjaan besar, yaitu, melawan perceraian. Ya, perceraian. Perceraian
adalah monster mengerikan yang senantiasa menghadang mahligai keluarga di tengah
jalan.
Kenyataannya, tidak sedikit yang mampu menikah, bahkan mampu merayakan resepsi pernikahan dengan biaya bombastis, namun tak lama sesudah itu mereka bercerai, putus ikatan, saling membelakangi satu sama lain dan saling melemparkan sumpah-serapah. Terkadang terlihat lucu memang. Di kala menikah nampak anggun, sakral, penuh doa dan nasehat-nasehat bijak.
Akan tetapi sesudah akad diresmikan, pertempuran terjadi di setiap lini, pertengkaran membakar, baik ada atau pun tidak ada masalah. Konflik pun menjadi menu utama mengalahkan pesona menu-menu Perancis yang disajikan dalam buku-buku resep masakan. Ujung dari semua itu, tak lain: perceraian.
Perceraian ini sungguh telah menjadi "fitnah" bagi kehidupan modern. Kaum muslimah semakin pandai. Nilai-nilai, proses pendidikan dan arus informasi sangat berpengaruh membentuk karakter mereka. Hal ini melahirkan sikap yang cenderung liberal. Di sisi lain, para pemuda tumbuh dalam tekanan-tekanan, dunia kompetisi dan ketidak-ramahan lingkungan. Hal ini membuat urat-urat nadi mereka dialiri darah-darah panas, cepat terbakar, emosional, mudah mengangkat "kartu merah".
Problema ini jelas-jelas terasa menakutkan. Sampai-sampai muncul pertanyaan, Tidak adakah kemampuan zaman kita untuk melestarikan keindahan rumah-tangga seperti orangtua-orangtua kita dulu? Entahlah, tapi sebuah komitmen harus diambil, walau untuk itu kita harus berbenturan dengan arus kuat yang tengah deras menerjang. Kita harus berbuat, berjuang keras menyelamatkan keutuhan rumah-tangga.
Dengan apa kita harus berbuat? Jika harus komitmen, atas dasar apa ia ditegakkan? Masih adakah harapan yang bisa dibina?
Sebelum menikah hendaknya harus ada kesepakatan yang bulat diterima oleh kedua orang calon untuk menegakkan kehidupan rumah-tangga mereka di atas prinsip ibadah kepada Allah SWT (ibadah lillah). Menikah adalah ibadah. Maka apapun problema yang kemudian terjadi setelah menikah, dicarikan solusinya di sisi tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Al Quran dan sunnah adalah guide sekaligus titik temu yang paling valid untuk semua manusia dengan segala jenis problema.
Ketika pengabdian kepada Allah SWT menjadi rujukan tertinggi, maka tidak ada lagi egoisme yang mampu mengalahkan, kerakusan yang menguasai, atau hawa nafsu yang berkobar-kobar. Semua persoalan dikembalikan pada pertanyaan, "Untuk apa sebenarnya kita membangun rumah tangga ini?" Dengan cara ini, segala problema akan berujung dengan hasil: sakinah lahir-bathin, dunia-akhirat.
Bila menyimak realita, sebagian besar perceraian yang terjadi adalah lantaran kita mengacuhkan bimbingan al-Quran dan sunnah. Keduanya seolah monumen yang dibiarkan membisu terkunci di lemari. Pasrahkan diri kita kepada Allah, maka disana akan kita jumpai kebahagiaan yang didambakan. Keluarga kita insya Allah akan tetap utuh hingga kelak bertemu di jannattun na`im Allah. Amin.
Wallahu
a`lam.
jw/mns/mqp
|
Laporan :
|
|
Apakah zakat
diwajibkan atas seluruh kekayaan yang kita miliki, tanpa kecuali? Islam
mewajibkan zakat kekayaan terbatas hanya pada harta yang berkembang. Maksudnya,
harta itu tetap berkembang walaupun dibiarkan oleh pemiliknya. Harta yang
dizakati disyaratkan harus memiliki kemungkinan untuk berkembang, agar zakat
dapat dipungut dari lebihnya dan harta pokok tetap ada.
Kata zakat dalam bahasa Arab berarti tumbuh, sehingga di antara yang menyebabkan wajib zakat adalah adanya pertumbuhan harta. Sehingga para ulama berpendapat tidak mewajibkan zakat atas rumah tempat tinggal, pakaian, alat-alat tumah tangga, hewan tunggangan, senjata yang diperlukan, alat-alat produksi dan buku-buku ilmu pengetahuan karena harta tersebut tidak berkembang dan memang menjadi kebutuhan pokok pemiliknya.
Bolehkah orang fasik diberi zakat?
Kata zakat dalam bahasa Arab berarti tumbuh, sehingga di antara yang menyebabkan wajib zakat adalah adanya pertumbuhan harta. Sehingga para ulama berpendapat tidak mewajibkan zakat atas rumah tempat tinggal, pakaian, alat-alat tumah tangga, hewan tunggangan, senjata yang diperlukan, alat-alat produksi dan buku-buku ilmu pengetahuan karena harta tersebut tidak berkembang dan memang menjadi kebutuhan pokok pemiliknya.
Bolehkah orang fasik diberi zakat?
Para ulama
memperkenankan memberi zakat kepada orang fasik, selama ia berada tetap dalam
keislamannya, tidak menyakiti kaum Muslim atau perbuatannya melampaui batas, dan
untuk memperbaiki tingkah lakunya serta menghormati nilai kemanusiaannya, dan
karena zakat itu diambil pula dari orang fasik, maka berhak untuk dikembalikan
kepadanya. Walaupun berdasarkan ijma' ulama, orang-orang saleh yang istiqamah
lebih utama untuk diberikan zakat.
Apa hukuman di akhirat bagi orang yang tidak membayar zakat?
Apa hukuman di akhirat bagi orang yang tidak membayar zakat?
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW bersabda :
"Siapa yang dikaruniai Allah kekayaan tetapi
tidak mengeluarkan zakatnya, maka pada hari kamat nanti ia akan didatangi oleh
seekor ular jantan gundul yang sangat berbisa dan sangat menakutkan dengan dua
bintik di atas kedua matanya, lalu melilit dan mematuk lehernya sambil berteriak,
'saya adalah kekayaanmu, saya adalah kekayaanmu yang kau timbun dulu."
Nabi berucap :
Nabi berucap :
"Janganlah
orang-orang yang kikir sekali dengan karunia yang diberikan Allah kepada mereka
itu mengira bahwa tindakannya itu baik bagi mereka. Tidak, tetapi buruk bagi
mereka; segala yang mereka kikirkan itu dikalungkan dileher mereka nanti pada
hari kiamat'.'' (HR Bukhari).
Dalam Hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, :
Dalam Hadis yang lain, Rasulullah SAW bersabda, :
"Pemilik emas
atau perak yang tidak menunaikan kewajibannya, maka emas atau perak itu nanti
pada hari kiamat dijadikan setrikaan, lalu dipanaskan dengan api neraka,
kemudian digosokkan ke rusuk, muka, dan punggungnya selama 50 ribu tahun, sampai
selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, untuk melihat apakah ia masuk
surga atau neraka.
Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang seekor lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama 50 tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat apakah ia masuk surga atau masuk neraka." (HR Muslim).
Apakah kewajiban zakat gugur apabila muzakki meninggal dunia?
Dan pemilik lembu atau kambing yang tidak melaksanakan kewajibannya, maka nanti pada hari kiamat binatang-binatang itu akan menginjak-injaknya dan menandukinya, setelah selesai seekor datang seekor lagi berbuat hal yang sama sampai selesai perhitungannya dengan orang-orang lain, selama 50 tahun menurut perhitungan tahun kalian, untuk melihat apakah ia masuk surga atau masuk neraka." (HR Muslim).
Apakah kewajiban zakat gugur apabila muzakki meninggal dunia?
Berdasarkan
pendapat jumhur fuqaha, zakat tidak gugur ditunaikan walaupun muzakki meninggal,
karena zakat adalah hak harta yang bersifat wajib, seperti halnya utang. Zakat
dapat dikeluarkan dari harta peninggalannya, meski ia tidak mewasiatkannya.
Apakah boleh orang yang khusus mencari ilmu mendapatkan zakat?
Apakah boleh orang yang khusus mencari ilmu mendapatkan zakat?
Orang yang
mencari ilmu termasuk fardhu kifayah, karena ilmu tersebut pun tidak hanya untuk
dirinya sendiri namun untuk kemaslahatan sebanyak-banyak umat, sehingga patut
diberikan zakat. Diharapkan dengan pemberian zakat ia dapat memenuhi
kebutuhannya membeli buku-buku atau untuk kepentingan agama dan dunianya.
|
Laporan : Tiar Anwar Bachtiar
|
|
''Sesungguhnya
yang halal itu telah jelas dan yang haram pun telah jelas. Di antara keduanya
terdapat hal-hal syubhat (meragukan) yang tidak diketahui oleh orang kebanyakan.
Barangsiapa berhati-hati terhadap hal-hal yang syubhat itu, maka sungguh dia
telah membersihkan agama dan kehormatannya. Dan orang yang terjerumus pada
syubhat sungguh telah terjerumus pada haram.
Seperti pengembala yang mengembala ternaknya di sekitar tapal batas, hampir menginjak tapal batas itu. Ingatlah sesungguhnya setiap penguasa memiliki tapal batas. Ingatlah sesungguhnya tapal batas Allah adalah keharaman-keharaman (yang ditetapkan)-Nya.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Seperti pengembala yang mengembala ternaknya di sekitar tapal batas, hampir menginjak tapal batas itu. Ingatlah sesungguhnya setiap penguasa memiliki tapal batas. Ingatlah sesungguhnya tapal batas Allah adalah keharaman-keharaman (yang ditetapkan)-Nya.'' (HR Bukhari dan Muslim).
Al-Jurjani mengartikan syubhat
sebagai sesuatu yang belum diyakini status halal dan haramnya
Al-Shan'ani pun berpendapat hampir sama :
Al-Shan'ani pun berpendapat hampir sama :
''Yang dimaksud dengan syubhat adalah
hal-hal yang belum diketahui status halal dan haramnya hingga sebagian besar
orang yang tidak tahu (awam) menjadi ragu antara halal dan haram. Hanya para
ulama yang mengetahui status hukumnya dengan jelas, baik berdasarkan nas ataupun
berdasarkan ijtihad yang mereka lakukan dengan metode qiyas, istishhab, dan
sebagainya'' (Subul Al-Salam, jil. IV hal. 316).
Merujuk pada pengertian tersebut, syubhat memang bukan sebuah status hukum seperti halal, haram, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas.
Jadi, sebenarnya bagi orang yang tahu, status suatu perkara sudah jelas, sekalipun debatable di kalangan orang yang sama-sama tahu. Sementara status syubhat muncul dari ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Selamanya akan meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap terhadap perkara tersebut. Kondisi seperti ini pasti akan melanda sebagian besar umat, terutama kelompok awam.
Seringkali umat menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan meragukan. Bahkan para ulama sendiri, dalam kasus-kasus tertentu akan menghadapi situasi yang membingungkan seperti itu. Sementara Islam sama sekali tidak menghendaki hinggapnya keraguan dan kebingungan dalam hati umatnya. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan atas dasar keyakinan. Keyakinan merupakan salah satu prinsip beragama yang paling penting dalam Islam.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyatakan :
Merujuk pada pengertian tersebut, syubhat memang bukan sebuah status hukum seperti halal, haram, makruh, wajib, dan sunat. Syubhat sesungguhnya menggambarkan pengetahuan objektif sebagian besar orang terhadap status hukum suatu perkara. Sebab, dalam pandangan hukum, tidak ada satu pun masalah yang tidak memiliki status hukum. Sekalipun kadang-kadang diperdebatkan, ketidakjelasannya bukan karena keraguan, tapi berlandaskan keilmuan yang jelas.
Jadi, sebenarnya bagi orang yang tahu, status suatu perkara sudah jelas, sekalipun debatable di kalangan orang yang sama-sama tahu. Sementara status syubhat muncul dari ketidaktahuan, bukan dari pengetahuan. Selamanya akan meragukan dan tidak akan pernah melahirkan kemantapan dalam menentukan sikap terhadap perkara tersebut. Kondisi seperti ini pasti akan melanda sebagian besar umat, terutama kelompok awam.
Seringkali umat menghadapi sesuatu yang tidak jelas dan meragukan. Bahkan para ulama sendiri, dalam kasus-kasus tertentu akan menghadapi situasi yang membingungkan seperti itu. Sementara Islam sama sekali tidak menghendaki hinggapnya keraguan dan kebingungan dalam hati umatnya. Islam selalu mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan atas dasar keyakinan. Keyakinan merupakan salah satu prinsip beragama yang paling penting dalam Islam.
Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW menyatakan :
''Maka
campakkanlah keraguan dan dirikanlah (perbuatanmu) di atas sesuatu yang
meyakinkan'' (HR Muslim dari Abi Sa'id Al-Khudri).
Oleh karena
itu, bila umat menghadapi satu hal yang membingungkan, ragu antara halal dan
haram maka sebaiknya hal itu ditinggalkan. Hal itu termasuk dalam kategori
syubhat.
Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menepel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap.
Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama.
Dengan menjauhi syubhat berarti kita telah membersihkan agama dan kehormatan kita dari noda-noda yang mungkin saja tanpa kita sadari menepel pada agama dan kehormatan kita. Dengan cara seperti ini, tidak akan ada tuduhan bahwa Islam membingungkan, karena sebenarnya Islam sudah sangat jelas. Hanya saja seringkali, karena pengetahuan yang terbatas banyak orang yang bingung menentukan sikap.
Dengan cara ini pula, kita akan terhindar dari fitnah telah melakukan hal yang buruk. Kehormatan kita sebagai seorang Mukmin akan tetap terjaga. Inilah yang disebut sikap wara' (hati-hati) dalam beragama.
Wallahu a'lamu bi al-shawwab.
|
Laporan :
|
|
Salah satu
kunci agar kita bisa sukses hidup di dunia adalah motivasi. Makin besar motivasi
kita untuk memperbaiki diri dan maju, kemungkinan sukses pun akan kian besar.
Motivasi seseorang sangat ditentukan oleh tingkat harapannya terhadap sesuatu.
Karena itu, ada tiga hal yang berkaitan erat denga prestasi, yaitu :
1. prestasi itu
sendiri,
2. motivasi,
dan
3. harapan.
Prestasi bisa diraih karena adanya motivasi dan
motivasi akan tumbuh jika ada harapan.
Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.
Banyak manusia lebih sering mengeluarkan alasan ketimbang berbuat. Lebih mengkhawatirkan, semua itu terlahir hanya untuk menutupi kemalasan dan kegagalannya.
Ketika
ditanya, misalnya, "Mengapa Anda tidak kuliah?"
Jawaban yang
sering muncul adalah tidak punya uang, atau karena orang tua tidak sanggup
membiayai, minder, dan sebagainya. Padahal, jika seseorang mau berbuat, semua
itu bisa disiasati. Bisa dengan cara berwirausaha, atau mendapatkan beasiswa.
Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"
Begitu pula ketika ditanya, "Mengapa tidak mencoba berbisnis?"
Jawaban yang
sering terlontar terlihat fatalis: takut gagal, tidak punya modal, banyak
saingan, dan sebagainya. Karena itu, jangan heran jika kita tidak pernah maju.
Bagaimana mau maju, motivasi untuk maju saja tidak ada?
Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.
Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.
Sebaik-baik sumber motivasi adalah ridha Allah SWT. Prestasi tertinggi seseorang dalam hal ini adalah mendapatkan surga. Sebaliknya, sumber motivasi terendah adalah dunia. Bila motivasi seseorang hanya tertuju pada dunia, yakinlah bahwa hanya kekecewaan yang akan ia dapatkan.
Seseorang yang berbisnis karena mencari dunia semata, akan kecewa bila bisnisnya merugi. Tapi bagi orang yang berbisnis karena Allah, setiap kegagalan bermakna pengalaman berharga untuk tidak jatuh dalam kegagalan serupa.
Ia juga akan
menyadari bahwa semua terjadi karena izin Allah. Ia sadar bahwa keinginannya
belum tentu sesuai menurut Allah. Tugasnya hanya meluruskan niat dan
menyempurnakan ikhtiar, perkara hasil ada di tangan Allah sepenuhnya. Inilah
hakikat motivasi menuju prestasi yang hakiki. (Ems/MQ).*
Acara :
Ceramah Ahad
Tema : Manajemen Diri
Jam Tayang : 11.00-12.00
Tema : Manajemen Diri
Jam Tayang : 11.00-12.00
|
Laporan :
|
|
Dari Umar bin
Khathab ra, Rasulullah SAW bersabda :
"Segala amal perbuatan bergantung pada niat
dan setiap orang akan memperoleh pahala sesuai dengan niatnya. Maka barangsiapa
yang berhijrah dengan niat mencari keuntungan duniawi atau untuk mengawini
seorang perempuan, maka (pahala) hijrahnya sesuai dengan niatnya itu". (HR.
Bukhari)
Penjelasan:
Penjelasan:
Rasulullah SAW mengucapkan hadis ini ketika beliau hijrah ke Yatsrib atau
Madinah. Saat itu tersebar sebuah informasi bahwa ada seseorang yang ikut
berhijrah karena mengejar wanita tunangannya. Nama wanita itu Ummul Qais.
Sehingga pada waktu itu terkenal sebuah istilah muhajjir Ummul Qais atau yang
berhijrah karena Ummul Qais. Niat biasanya diartikan sebagai getaran batin untuk
menentukan jenis ibadah yang kita lakukan.
Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian "serius" dalam kajian Islam.
Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.
Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya.
Contoh, kalau kita melakukan shalat pukul 05.30, ada beberapa kemungkinan; shalat Syukrul Wudhu, shalat Tahiyatul Masjid, shalat Fajar, Istikharah, atau shalat Shubuh. Setidaknya ada enam kemungkinan. Kita lihat semuanya sama, gerakannya sama, bacaannya sama, rakaatnya sama, tapi ada satu yang membedakannya yaitu niat. Masalah niat termasuk salah satu masalah yang mendapatkan perhatian "serius" dalam kajian Islam.
Niat dibahas panjang lebar baik itu dalam ilmu fikih, ushul fikih, maupun akhlak. Dalam ilmu fikih, niat ditempatkan sebagai rukun pertama dari rangkaian ibadah, seperti dalam shalat, zakat, puasa, maupun ibadah haji. Niat dalam ushul fikih biasanya dijadikan salah satu faktor yang menentukan status hukum suatu perbuatan. Nikah adalah salah satu contohnya. Ia bisa berstatus wajib, haram, dan sunnat, tergantung pada niat dari nikah tersebut.
Begitu pula ketika seseorang memakai gelar haji setelah pulang dari Makkah, hukumnya bisa wajib, bisa sunnat, bahkan haram. Tingkatannya sangat tergantung pada niat untuk apa ia memakai gelar haji tersebut. Niat dalam sudut pandang akhlak pengertiannya lebih menunjukkan getaran batin yang menentukan kuantitas sebuah amal. Shalat yang kita lakukan dengan jumlah rakaat yang sama, waktu yang sama, dan bacaan yang sama, penilaian bisa berbeda antara satu orang dengan yang lainnya tergantung kualitas niatnya.
Niat yang tertinggi kualitasnya disebut ikhlas; sedangkan niat yang paling rendah kualitasnya disebut riya atau sum'ah, yaitu beribadah karena mengharapkan sesuatu selain keridhaan Allah. Rasulullah SAW pernah menyampaikan kekhawatiran tentang sesuatu yang di kemudian hari bisa menjangkiti umatnya.
Beliau bersabda
:
"Sesungguhnya ada sesuatu yang aku takutkan di antara sesuatu yang paling aku
takutkan menimpa umatku kelak, yaitu syirik kecil."
Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"
Para sahabat bertanya : "Apakah syirik kecil itu?"
Beliau menjawab
: "riya."
Dalam
sebuah hadis diceritakan pula bahwa di akhirat kelak akan ada sekelompok orang
yang mengeluh, merangkak, dan menangis.
Mereka berkata, "Ya Allah di dunia kami
rajin melakukan shalat, tapi kami dicatat sebagai orang yang tidak mau melakukan
shalat".
Para malaikat menjawab :
Para malaikat menjawab :
"Tidakkah kalian ingat pada waktu kalian melakukan
shalat kalian bukan mengharap ridha Allah, tapi kalian mengharap pujian dari
manusia, kalau itu yang kalian cari, maka carilah manusia yang kau harapkan
pujiannya itu."
Jelaslah, bahwa kualitas sebuah amal berbanding lurus dengan
kualitas niat yang melatarbelakanginya.
Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".
Bila niat kita lurus, maka lurus pula amal kita. Tetapi bila niat kita bengkok, maka amal kita pun akan bengkok. Agar niat kita senantiasa lurus dan ikhlas, alangkah baiknya apabila kita menghayati kembali janji-janji yang selalu kita ucapkan saat shalat, "Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup, dan matiku hanyalah untuk Allah seru sekalian alam".
Wallahu a'lam bish-shawab.
|
Laporan : Ems
|
|
Suatu ketika
Rasulullah SAW berjalan di sebuah pasar hingga beliau melewati seonggok gandum
yang hendak dijual. Rasul kemudian memasukkan tangannya ke dalam gandum itu.
Saat itulah jari-jarinya menyentuh sesuatu yang basah.
"Apa ini wahai pemilik
gandum," tanya Rasulullah kepada si penjual gandum.
"Ya Rasulullah gandum ini
basah karena terjena hujan," jawab si pedagang.
Kemudian Rasulullah bertanya
kembali, "Kenapa engkau tidak menampakkan yang basah itu agar orang-orang bisa
melihatnya".
Kemudian beliau mengatakan, "Barangsiapa yang menipu (berlaku
curang), maka sesungguhnya dia bukanlah pengikut kami".
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas, kita bisa melihat bahwa berbuat curang termasuk ke dalam perbuatan dusta (al-kadzib). Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadis lainnya :
Dari hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas, kita bisa melihat bahwa berbuat curang termasuk ke dalam perbuatan dusta (al-kadzib). Sebagaimana yang disabdakan Rasulullah dalam hadis lainnya :
"Biasakanlah berkata benar, karena
benar itu menuntun kepada kebaikan dan kebaikan itu menuntun ke syurga.
Hendaknya seseorang itu selalu berkata benar dan berusaha agar selalu tetap
benar, sehingga dicatat di sisi Allah sebagai orang yang siddiq (amat benar).
Dan berhati-hatilah dari dusta, karena dusta akan menuntun kita berbuat curang,
dan kecurangan itu menuntun ke neraka. Seseorang yang selalu berlaku curang akan
dicatat di sisi Allah sebagai pendusta". (HR. Bukhari Muslim dari Ibnu Mas'ud).
Berdusta dan berlaku curang adalah perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan Islam. Siapa saja yang melakukannya akan mendapatkan madharat yang besar di dunia maupun akhirat.
Berdusta dan berlaku curang adalah perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan Islam. Siapa saja yang melakukannya akan mendapatkan madharat yang besar di dunia maupun akhirat.
Allah SWT berfirman
: "Kecelakaan yang besarlah bagi
orang-orang yang banyak berdusta lagi banyak berdosa" (QS. 45: 7).
Dalam ayat
lain disebutkan pula, "Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta". (QS. 51: 10).
Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar menjauhi perbuatan yang satu ini :
Karena itu, Rasulullah SAW mengingatkan kita agar menjauhi perbuatan yang satu ini :
"Jauhi oleh kalian perbuatan dusta, karena dusta akan membawa kepada dosa,
dan dosa membawamu ke neraka. Biasakanlah berkata jujur, karena jujur akan
membawamu pada kebaikan dan syurga".
Kenyataan ini tentunya harus selalu menjadi renungan kita selalu, karena kecurangan, dusta, penipuan, maksiat, dan hal-hal yang sejenis dengan itu, kini telah menjadi sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat kita.
Kenyataan ini tentunya harus selalu menjadi renungan kita selalu, karena kecurangan, dusta, penipuan, maksiat, dan hal-hal yang sejenis dengan itu, kini telah menjadi sesuatu yang wajar dalam kehidupan masyarakat kita.
Berlaku curang
dan dusta tidak lagi monopoli orang pasar, dalam bentuk pengurangan timbangan,
menimbun, membagus-baguskan barang yang kualitasnya jelek, tapi telah menyentuh
pula bidang hukum, politik, hiburan, bahkan pendidikan.
Dalam dunia politik
misalnya, betapa fitnah, politik uang, sogok menyogok, pemalsuan ijasah, hingga
perbuatan klenik, telah menjadi sesuatu yang biasa. Mereka berprinsip, "yang
penting tujuan tercapai walau harus menjatuhkan orang lain".
Padahal Allah SWT
jauh-jauh hari telah mengingatkan kita tentang hal tersebut, Dan orang-orang
yang menyakiti orang-orang yang Mukmin dan Mukminat tanpa kesalahan yang mereka
perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.
(QS. Al-Ahzab: 58).
Penyakit dusta dan curang yang tidak segera disembuhkan, lambat laun akan mendatangkan akibat yang luar biasa bagi masyarakat.
Penyakit dusta dan curang yang tidak segera disembuhkan, lambat laun akan mendatangkan akibat yang luar biasa bagi masyarakat.
Pertama, hilangnya rasa
saling percaya di masyarakat. Pembeli tidak akan percaya lagi pada penjual,
rakyat tidak percaya lagi pada penguasa, murid tidak percaya lagi pada guru, dan
ketidakpercayaan lainnya.
Bila hal ini terjadi, maka akibat kedua akan segera
muncul, yaitu putusnya tali persaudaraan dan hilangnya rasa kasih sayang antar
sesama. Tanpa persaudaraan dan kasih sayang, yang muncul hanyalah kebinasaan,
egoisme, dan sifat ingin menang sendiri.
|
Laporan :
|
|
Rasulullah SAW
bersabda :
'Berkata Sulaiman bin Daud as :
"Malam ini aku akan berkeliling
mengunjungi 70 perempuan, tiap perempuan kelak akan melahirkan seorang anak yang
kelak akan berperang di jalan Allah.''
Sulaiman ditegur oleh malaikat, ''Katakanlah
Insya Allah.''
Sulaiman tanpa mengucapkan insya Allah mengunjungi 70 perempuan
itu dan ternyata tidak seorang pun di antara wanita-wanita itu yang melahirkan
anak, kecuali seorang wanita yang melahirkan seorang setengah manusia. Demi
Allah yang nyawaku ada di Tangan-Nya, seandainya Sulaiman mengucapkan kata insya
Allah niscaya ia tidak gagal dan akan tercapai hajatnya. (HR Bukhari dan
Muslim).
Ada satu kata kunci dalam hadis ini, yaitu kata insya Allah yang bermakna jika Allah berkenan atau jika Allah mengizinkan. Masa depan sepenuhnya ada dalam kekuasaan Allah. Manusia tidak berkuasa menentukan apa yang akan terjadi pada masa tersebut. Karena alasan itu setiap kita dianjurkan untuk mengucapkan insya Allah ketika akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan, termasuk dalam berjanji.
Ada satu kata kunci dalam hadis ini, yaitu kata insya Allah yang bermakna jika Allah berkenan atau jika Allah mengizinkan. Masa depan sepenuhnya ada dalam kekuasaan Allah. Manusia tidak berkuasa menentukan apa yang akan terjadi pada masa tersebut. Karena alasan itu setiap kita dianjurkan untuk mengucapkan insya Allah ketika akan melakukan sesuatu yang berkaitan dengan masa depan, termasuk dalam berjanji.
Janji termasuk hal gaib karena berdimensi waktu yang akan datang.
Segala sesuatu yang berkaitan dengan hal gaib hanya diketahui oleh Allah saja.
Kita tidak tahu rencana Allah terhadap diri kita dan terhadap janji yang kita
ucapkan. Jadi, ungkapan insya Allah dimaksudkan agar keinginan kita dengan
kehendak Allah menyatu.
Ungkapan insya Allah mengandung azam atau kekuatan niat untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebagai contoh, ''Insya Allah nanti malam saya akan datang.'' Kalimat di atas adalah janji yang harus ditepati oleh si pengucap. Disertakannya ungkapan insya Allah menunjuk adanya sikap tawakal kepada Allah sebagai bentuk kesadaran bahwa Allah-lah yang berhak menentukan terjadinya sesuatu. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari, apakah baik atau buruk. Rasulullah SAW dalam hadis di atas menunjukkan kekhilafan Nabi Sulaiman yang terlalu percaya diri dalam bertindak tanpa lebih dulu menyandarkannya kepada Allah SWT dengan ucapan insya Allah.
Kita dianjurkan untuk menyertakan ungkapan insya Allah ketika mengucapkan sebuah janji. Allah SWT berfirman,
Ungkapan insya Allah mengandung azam atau kekuatan niat untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebagai contoh, ''Insya Allah nanti malam saya akan datang.'' Kalimat di atas adalah janji yang harus ditepati oleh si pengucap. Disertakannya ungkapan insya Allah menunjuk adanya sikap tawakal kepada Allah sebagai bentuk kesadaran bahwa Allah-lah yang berhak menentukan terjadinya sesuatu. Kita tidak mengetahui apa yang akan terjadi dikemudian hari, apakah baik atau buruk. Rasulullah SAW dalam hadis di atas menunjukkan kekhilafan Nabi Sulaiman yang terlalu percaya diri dalam bertindak tanpa lebih dulu menyandarkannya kepada Allah SWT dengan ucapan insya Allah.
Kita dianjurkan untuk menyertakan ungkapan insya Allah ketika mengucapkan sebuah janji. Allah SWT berfirman,
''Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan terhadap
sesuatu. Sesungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi. Kecuali (dengan
menyebut) insya Allah. Dan ingatlah kepada Tuhan-mu jika kamu lupa dan
katakanlah mudah-mudahan Tuhan-ku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih
dekat kebenarannya daripada itu.'' (QS Al-Kahfi: 23-24).
Ayat ini turun sebagai
sebuah teguran kepada Rasulullah SAW ketika beliau berjanji (tanpa disertai
ucapan insya Allah) kepada orang Quraisy yang menanyakan masalah ruh, kisah
Ashabul Kahfi dan Dzulkarnain.
Sekarang, ungkapan insya Allah tengah mengalami pengkorupsian makna. Ia tidak lagi dijadikan sarana untuk menyempurnakan janji dan penyerahan diri kepada Allah. Ucapan insya Allah kerap dijadikan alasan untuk tidak menepati janji. Semua ini terjadi karena kurang pahamnya sebagian orang terhadap makna dan hakikat kata insya Allah.
Sekarang, ungkapan insya Allah tengah mengalami pengkorupsian makna. Ia tidak lagi dijadikan sarana untuk menyempurnakan janji dan penyerahan diri kepada Allah. Ucapan insya Allah kerap dijadikan alasan untuk tidak menepati janji. Semua ini terjadi karena kurang pahamnya sebagian orang terhadap makna dan hakikat kata insya Allah.
Karena itu kita harus berusaha mengembalikan makna
insya Allah kepada hakikat sebenarnya yaitu penyerahan diri kepada Allah dan
menyempurnakan janji agar kita terhindar dari sifat munafik. Sebagaimana
dikatakan Nabi Ismail kepada ayahandanya,
''Wahai Bapakku, kerjakanlah apa yang
diperintahkan kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang
yang sabar.'' (QS. Ash-Shaffat: 102).
Wallahu a'lam bish-shawab
|
Laporan :
|
|
"Barangsiapa
yang hari ini lebih baik dari kemarin adalah orang yang beruntung. Bila hari ini
sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari
kemarin adalah orang celaka" (Hadits).
"DUNIA makin menua, namun tetap cantik
dan kian mempesona untuk dipandang dan dinikmati..." Kalimat itu, menurut sebuah
riwayat, diucapkan Malaikat Jibril dalam peristiwa Isra Mi'raj.
Hal itu dikemukakannya ketika menjawab pertanyaan Rasulullah SAW, setelah beliau
"diganggu" oleh seorang wanita tua namun tetap menampakkan kejelitaannya. Wanita
tua yang menunggang kuda dan berteriak, "Ya Muhammad... Ya Muhammad!"
Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.
Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?
Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".
Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.
Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.
Kiranya, kisah di atas bisa menjadi "starting point" renungan kita pada tahun baru Masehi yang baru saja kita lalui. Kisah itu seharusnya mampu menyadarkan kita, betapa tahun berganti merupakan pertambahan usia bagi kita juga bagi dunia ini yang makin renta namun kian jelita ini. Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan bersenang-senang. Kita seakan tidak peduli bahwa dunia ini makin "renta" dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Pergantian tahun merupakan momen penting untuk melakukan introspeksi diri (muhasabah), menghitung-hitung kualitas iman, ilmu, dan amal yang telah kita perbuat. Umar bin Khathab menyatakan, ''Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab. Timbanglah amal-amal kalian sebelum ditimbang.
Bersiaplah untuk menghadapi hari yang amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada diri kalian menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi'.' Bagi seorang Muslim, sebenarnya setiap pergantian waktu, hari demi hari, bahkan mungkin detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam, merupakan momentum untuk introspeksi menuju kualitas iman, ilmu, dan amal yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya. Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk menjadi lebih baik dari hari ke hari. Rasulullah SAW menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari kemarin, adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin, adalah orang celaka". Kita harus senantiasa mawas diri, mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu habis untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk kehidupan akhirat.
Oleh karena itu, introspeksi diri harus senantiasa dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Kehidupan dunia ini hanyalah persinggahan sementara untuk menuju alam akhirat. Di alam persinggahan inilah saatnya mengumpulkan bekal berupa amal saleh. Pergantian tahunjuga hari demi hari mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia ini makin berkurang. Imam Hasan Al-Basri mengatakan, ''Wahai anak Adam, sesungguhnya Anda bagian dari hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian hidupmu". DALAM menjalani kehidupan di dunia ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Dan bagi seorang Muslim, waktu sangat penting artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT bersumpah dengan waktu. Hal itu menunjukkan betapa kita harus mempergunakan waktu hidup di dunia ini untuk beriman dan beramal shaleh. Terlebih, dalam ayat tersebut dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Dalam proses introspeksi, kita bisa mengajukan pertanyaan: apakah waktu kita yang telah berlalu itu telah kita isi dengan amal ibadah?
Apa yang masih kurang dalam diri kita, menyangkut iman, ilmu, dan amal? Lalu apa yang akan kita lakukan untuk hari-hari ke depan? Kita bisa memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi). Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan. Nabi SAW menyatakan, "Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhannya".
Yang dimaksud "mengetahui diri", kata Al-Ghazali, bukanlah mengenali bentuk luar diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu bahwa kalau kita lapar harus makan. Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya adalah pengetahuan tentang: siapakah Anda? Dari mana Anda datang? Ke mana Anda pergi Di manakah sebenarnya kebahagiaan dan kesedihan? Demikian menurut Al-Ghazali. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu saja menuntun kita untuk ma'rifatunnafsi (mengenal diri sendiri) yang pada gilirannya mengarah pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika kita sudah mengenal Allah SWT, tentunya keimanan kita pada-Nya pun akan semakin kuat. Jika sudah kuat sikap tauhid kita, insya Allah, tingkat ketakwaan pun akan meningkat, hasilnya adalah kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali, secara sederhana pertanyaan yang dikemukakan Al-Ghazali tadi dapat kita jawab: kita adalah manusia, makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi pada-Nya, khalifah-Nya di muka bumi, dan pengemban amanah-Nya (QS 51:56, 98:5, 2:21, 33:72, 2:30, 27:62, 35:39); kita datang dari "alam ruh" untuk menjalani kehidupan dunia yang merupakan ajang ujian dari-Nya (QS Al-Kahfi: 7); kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal, untuk mempertanggungjawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana atau singkat itu tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui Alquran dan Hadits, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk mengetahui arti keberadaan kita di alam dunia ini. Orang yang "lupa diri" tentu akan mengabaikan status dan fungsinya di dunia ini.
Ia tidak akan peduli tentang hakikat hidup, siapa dirinya, dan mengabaikan perintah dan larangan Tuhannya. MENGENAL diri juga bermakna mengenal siapa sebenarnya manusia. Manusia adalah makhluk Allah SWT yang dimuliakan oleh-Nya, mempunyai kelebihan dibanding makhluk lain yaitu akal. Dengan akalnya manusia dapat memahami segala fenomena alam (ayat kauniyah), menerjemahkan dan mempraktekkan wahyu Allah SWT (ayat qauliyah), dan menciptakan kebudayaan untuk mengatasi persoalan hidup. Agar tidak berlaku sombong dan "sadar diri", salah satu cara adalah menyadari bahwa asal penciptaan kita adalah air mani. Dan, ketika mati tubuh manusia menyatu dengan tanah, tinggal tulang-belulang. Tubuh indah dan wajah tampan atau paras cantik berakhir sudah ketika mati. Sementara ruh kita kembali menghadap Allah SWT untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan kita, rezeki kita, amanat yang kita terima, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Allah sebagai Tuhan (QS. 7:172). Maka dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Wallahu a'lam.
|
Laporan :
|
|
Bukanlah orang
kaya itu karena banyak harta-benda, akan tetapi orang kaya adalah orang yang
jiwanya kaya (Al-Hadits).
Kata "kaya" ini telah mengilhami jutaan orang di dunia
untuk melakukan apa saja : berpikir, bekerja, menipu, mencuri, dan lainnya.
Karl Marx, sempat menggegerkan panggung sejarah dunia gara-gara pikiran-pikirannya tentang kaya dan kekayaan. Orang-orang kaya disebutnya kaum borjuis. Baginya kaum borjuis adalah biang segala malapetaka kesengsaraan para buruh yang disebutnya sebagai kaum proletar. Ia ingin buruh-buruh itu pun ikut menikmati kekayaan seperti para borjuis.
Lain halnya dengan para pemikir kapitalis semacam Warner Sombart, Grossman, Dukheim, ataupun Weber. Mereka beranggapan bahwa kebebasan manusia justru terletak pada kebebasan memiliki kekayaan sejauh ia sanggup dan mampu. Dalam dunia kapitalisme ataupun sosialisme, hal keadaan kaya atau tidak diukur dengan ukuran meterial-bendawi.
Orang yang paling banyak harta dialah yang paling kaya. Mereka yang sedikit saja berkesempatan menikmati kekayaan disebutlah miskin. Mudah pula diterka bahwa dalam pikiran-pikiran materialistis semacam itu banyaknya harta adalah jaminan bagi seseorang untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Tanpa harta di genggaman tangan tak akan pernah ada kebahagiaan.
Kecintaan pada harta dan kekayaan bukan hal yang aneh dalam diri manusia. Sejak diciptakan manusia dilekati tabiat cinta pada harta, kekayaan, dan materi. Firman Allah :
Karl Marx, sempat menggegerkan panggung sejarah dunia gara-gara pikiran-pikirannya tentang kaya dan kekayaan. Orang-orang kaya disebutnya kaum borjuis. Baginya kaum borjuis adalah biang segala malapetaka kesengsaraan para buruh yang disebutnya sebagai kaum proletar. Ia ingin buruh-buruh itu pun ikut menikmati kekayaan seperti para borjuis.
Lain halnya dengan para pemikir kapitalis semacam Warner Sombart, Grossman, Dukheim, ataupun Weber. Mereka beranggapan bahwa kebebasan manusia justru terletak pada kebebasan memiliki kekayaan sejauh ia sanggup dan mampu. Dalam dunia kapitalisme ataupun sosialisme, hal keadaan kaya atau tidak diukur dengan ukuran meterial-bendawi.
Orang yang paling banyak harta dialah yang paling kaya. Mereka yang sedikit saja berkesempatan menikmati kekayaan disebutlah miskin. Mudah pula diterka bahwa dalam pikiran-pikiran materialistis semacam itu banyaknya harta adalah jaminan bagi seseorang untuk menjadi sejahtera dan bahagia. Tanpa harta di genggaman tangan tak akan pernah ada kebahagiaan.
Kecintaan pada harta dan kekayaan bukan hal yang aneh dalam diri manusia. Sejak diciptakan manusia dilekati tabiat cinta pada harta, kekayaan, dan materi. Firman Allah :
"Dijadikan
indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan,
binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan
di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS.
Ali Imran: 14).
Karena itu tidak mengherankan apabila menjadi kaya dengan banyak
harta benda menjadi idaman banyak orang. Bagi yang tidak terus berfikir (jahil)
selesailah kebenaran hidup sampai di situ.
Bagi yang mau terus berpikir dan merenung, sabda Rasulullah di awal tulisan ini tentu akan mencengangkan. Beliau mengatakan salah besar bila kita mengukur kebahagiaan dengan banyaknya harta benda. Orang kaya adalah orang yang 'kaya' jiwanya. Kaya jiwa adalah sebuah sikap jiwa yang senantiasa merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup paling minimal, sekalipun melimpah ruah di sekelilingnya. Hal ini kemudian akan memunculkan sikap menerima apa adanya (qana'ah).
Contoh paling jelas adalah Rasulullah sendiri. Kurang apa beliau? Seperlima harta rampasan perang menjadi miliknya. Puluhan kali beliau memenangkan perang dan hanya sekali mengalami kekalahan. Tentu saja harta rampasan itu cukup untuk menjadikan Rasul orang terkaya pada masanya. Belum lagi para sahabat di sekelilingnya.
Sahabat mana yang tidak akan merelakan hartanya untuk dipersembahkan pada Rasul. Sebuah kehormatan bagi mereka dapat membahagiakan Sang Maestro Dunia itu. Pendek kata, sangat banyak potensi yang dimiliki nabi untuk menjadi kaya dalam ukuran nominal. Tapi bagaimana kenyataannya? Rumah beliau masih tetap seperti saat pertama kali datang ke Madinah. Rumahnya sangat kecil; hanya sambungan masjid pula.
Nabi adalah orang yang paling suka sehari makan sehari puasa. Baju pun seringkali sobek dan ditambalinya sendiri. Lalu ke mana harta rampasan perang, hadiah dari sahabat-sahabatnya, dan dari tempat-tempat lain yang barangkali tidak kita tahu? Tak pernah ia gunakan harta itu untuk kesenangan pribadinya.
Ia telah merasa cukup dan tidak berkekurangan dengan keadaan seperti itu. Ia sedekahkan sesisanya. Diurusinya anak yatim; diberinya makan fakir miskin; siapapun yang meminta tak pernah ia tolak. Seperti itulah Rosul yang kaya. Allah sendiri yang menyebutnya orang kaya: "dan Ia dapati engkau dalam keadaan miskin, lalu Ia memberi kekayaan"(QS. Al-Dhuha: 8). Jiwanya yang kaya itu membuatnya benar-benar "kaya".
Bagi yang mau terus berpikir dan merenung, sabda Rasulullah di awal tulisan ini tentu akan mencengangkan. Beliau mengatakan salah besar bila kita mengukur kebahagiaan dengan banyaknya harta benda. Orang kaya adalah orang yang 'kaya' jiwanya. Kaya jiwa adalah sebuah sikap jiwa yang senantiasa merasa cukup dengan memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup paling minimal, sekalipun melimpah ruah di sekelilingnya. Hal ini kemudian akan memunculkan sikap menerima apa adanya (qana'ah).
Contoh paling jelas adalah Rasulullah sendiri. Kurang apa beliau? Seperlima harta rampasan perang menjadi miliknya. Puluhan kali beliau memenangkan perang dan hanya sekali mengalami kekalahan. Tentu saja harta rampasan itu cukup untuk menjadikan Rasul orang terkaya pada masanya. Belum lagi para sahabat di sekelilingnya.
Sahabat mana yang tidak akan merelakan hartanya untuk dipersembahkan pada Rasul. Sebuah kehormatan bagi mereka dapat membahagiakan Sang Maestro Dunia itu. Pendek kata, sangat banyak potensi yang dimiliki nabi untuk menjadi kaya dalam ukuran nominal. Tapi bagaimana kenyataannya? Rumah beliau masih tetap seperti saat pertama kali datang ke Madinah. Rumahnya sangat kecil; hanya sambungan masjid pula.
Nabi adalah orang yang paling suka sehari makan sehari puasa. Baju pun seringkali sobek dan ditambalinya sendiri. Lalu ke mana harta rampasan perang, hadiah dari sahabat-sahabatnya, dan dari tempat-tempat lain yang barangkali tidak kita tahu? Tak pernah ia gunakan harta itu untuk kesenangan pribadinya.
Ia telah merasa cukup dan tidak berkekurangan dengan keadaan seperti itu. Ia sedekahkan sesisanya. Diurusinya anak yatim; diberinya makan fakir miskin; siapapun yang meminta tak pernah ia tolak. Seperti itulah Rosul yang kaya. Allah sendiri yang menyebutnya orang kaya: "dan Ia dapati engkau dalam keadaan miskin, lalu Ia memberi kekayaan"(QS. Al-Dhuha: 8). Jiwanya yang kaya itu membuatnya benar-benar "kaya".
|
|
|
Secara
etimotogi (bahasa), akhlak terambil dari akar kata bahasa Arab khuluk yang
berarti tabiat, muruah, kebiasaan, fitrah, naluri, dan lain-lain.
Secara syar'i,
seperti dikatakan Al Ghazali, akhlak berarti sesuatu yang menggambarkan tentang
perilaku seseorang yang terdapat dalam jiwa yang baik, yang darinya keluar
perbuatan secara mudah dan otomatis tanpa terpikir sebelumnya.
Jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika sebaliknya, maka akan dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga.
Jika sumber perilaku itu didasari oleh perbuatan yang baik dan mulia, yang dapat dibenarkan oleh akal dan syariat, maka ia dinamakan akhlak yang mulia. Namun, jika sebaliknya, maka akan dinamakan akhlak yang tercela. Abu Hurairah ra mengabarkan bahwa suatu saat Rasulullah pernah ditanya tentang kriteria orang yang paling banyak masuk surga.
Beliau menjawab, ''Takwa kepada Allah dan akhlak
yang Baik'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Tatkala Rasulullah SAW menasehati sahabatnya, beliau menggandengkan antara nasihat untuk bertakwa dengan nasihat untuk bergaul atau berakhlak yang baik kepada manusia, sebagaimana hadits dari Abi Dzar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR Tirmidzi).
Benar, tauhid adalah sisi pokok atau inti Islam, yang juga harus diutamakan. Namun, tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat berkaitan erat, karena tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia.
Semakin sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang hamba memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya. Akhlak juga merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu: -Akhlak kepada Allah SWT dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu kepada-Nya untuk berbuat maksiat, selalu bertobat, bertawakal, takut akan azab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
Tatkala Rasulullah SAW menasehati sahabatnya, beliau menggandengkan antara nasihat untuk bertakwa dengan nasihat untuk bergaul atau berakhlak yang baik kepada manusia, sebagaimana hadits dari Abi Dzar. Ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, ''Bertakwalah kepada Allah di manapun engkau berada dan balaslah perbuatan buruk dengan perbuatan baik niscaya kebaikan itu akan menutupi kejelekan dan bergaullah dengan manusia dengan akhlak yang baik.'' (HR Tirmidzi).
Benar, tauhid adalah sisi pokok atau inti Islam, yang juga harus diutamakan. Namun, tidak berarti mengabaikan akhlak sebagai penyempurna. Tauhid dan akhlak sangat berkaitan erat, karena tauhid merupakan realisasi akhlak seorang hamba terhadap Allah. Seorang yang bertauhid dan baik akhlaknya berarti ia adalah sebaik-baik manusia.
Semakin sempurna tauhid seseorang, akan semakin baik pula akhlaknya, dan sebaliknya bila seorang hamba memiliki akhlak yang buruk berarti lemah tauhidnya. Akhlak juga merupakan tolak ukur kesempurnaan iman seorang hamba sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW, ''Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang terbaik akhlaknya.'' (HR Tirmidzi dan Ahmad).
Dimensi akhlak dalam Islam mencakup beberapa hal yaitu: -Akhlak kepada Allah SWT dengan cara mencintai-Nya, mensyukuri nikmat-Nya, malu kepada-Nya untuk berbuat maksiat, selalu bertobat, bertawakal, takut akan azab-Nya dan senantiasa berharap akan rahmat-Nya.
-
Akhlak kepada Rasulullah saw dengan cara beradab dan menghormatinya, mentaati dan mencintai beliau, menjadi kaumnya sebagai perantara dalam segala aspek kehidupan, banyak menyebut nama beliau (bersalawat), menerima seluruh ajaran beliau, menghidupkan sunah-sunah beliau, dan lebih mencintai beliau daripada diri kita sendiri, anak kita, bapak kita, dan lain-lain.
-
Akhlak terhadap Alquran dengan cara membacanya dengan khusuk, tartil dan sesempurna, sambil memahaminya, menghapalnya dan mengamalkannya dalam kehidupan riil.
-
Akhlak kepada makhluk Allah SWT mulai diri sendiri, orangtua, kerabat, handai taulan, tetangga dan sesama Mukmin sesuai dengan tuntunan Islam.
-
Akhlak kepada orang kafir dengan cara membenci kekafiran mereka, tetapi tetap berbuat adil kepada mereka, berupa membalas kekejaman mereka atau memaafkannya. Berbuat baik kepada mereka secara manusiawi selama hal itu tidak bertentangan dengan syariat Islam dan mengajak mereka kepada Islam.
-
Akhlak terhadap makhluk lain termasuk menyayangi binatang yang tidak mengganggu, menjaga tanaman dan tumbuh-tumbuhan dan melestarikannya, dan lain-lain.
Acara: Cakrawala Islam
Waktu: 6 Januari 2003
Waktu: 6 Januari 2003
|
| |
Tersebutlah
seseorang yang sangat tekun sekali menjalankan ibadah kepada Allah SWT. Tiada
hati, tiada jam, bahkan tiada detik yang ia lewatkan kecuali saat-saat itu
dipakainya untuk mengingat dan memuji Allah. Praktis semua sisa umurnya
dihabiskan untuk bertaqarub kepada Al-Khaliq.
Hingga tibalah saat kematian sang Abid tersebut. Allah pun memasukkan ia ke surga dengan rahmatNya. Melihat kenyataan tersebut sang Abid pun protes, "Ya Allah kenapa Engkau memasukkan aku ke syurga dengan rahmat-Mu, bukan dengan amal kebaikanku. Bukankan seluruh umurku aku habiskan untuk beribadah kepada-Mu".
Allah pun menjawab, "Baiklah, mari kita timbang apakah amalmu telah cukup untuk memasukanmu ke syurga? Ternyata, setelah ditimbang, amal sang Abid tersebut tidak cukup untuk menebus nikmatnya syurga. Bahkan untuk menebus nikmatnya sebuah matapun masih belum cukup. Bagaimana dengan kita?
Tentu kita tidak bisa disamakan dengan sang Abid dalam kisah di atas. Mungkin prilaku kita sangat berbeda jauh dengannya. Bagi kita tiada hari tanpa dosa dan maksiat. Bila melihat kenyataan ini sangat tidak mungkin amalan kita yang teramat sedikit akan memasukkan kita ke syurga.
Maka sangat tidak layak bagi kita untuk membanggakan diri karena ibadah atau kebaikan yang pernah dilakukan. Apalagi mengklaim diri sebagai pewaris syurga, hingga meremehkan orang lain. Semua kebaikan dan kenikmatan yang kita dapatkan hakikatnya adalah curahan rahmat dan kasih sayang Allah semata.
Rahmat dan kasih sayang Allah terbentang amat luasnya bagi hamba-hamba yang mau mendekatinya. Kenyataan ini tergambar jelas dalam Alquran :
Hingga tibalah saat kematian sang Abid tersebut. Allah pun memasukkan ia ke surga dengan rahmatNya. Melihat kenyataan tersebut sang Abid pun protes, "Ya Allah kenapa Engkau memasukkan aku ke syurga dengan rahmat-Mu, bukan dengan amal kebaikanku. Bukankan seluruh umurku aku habiskan untuk beribadah kepada-Mu".
Allah pun menjawab, "Baiklah, mari kita timbang apakah amalmu telah cukup untuk memasukanmu ke syurga? Ternyata, setelah ditimbang, amal sang Abid tersebut tidak cukup untuk menebus nikmatnya syurga. Bahkan untuk menebus nikmatnya sebuah matapun masih belum cukup. Bagaimana dengan kita?
Tentu kita tidak bisa disamakan dengan sang Abid dalam kisah di atas. Mungkin prilaku kita sangat berbeda jauh dengannya. Bagi kita tiada hari tanpa dosa dan maksiat. Bila melihat kenyataan ini sangat tidak mungkin amalan kita yang teramat sedikit akan memasukkan kita ke syurga.
Maka sangat tidak layak bagi kita untuk membanggakan diri karena ibadah atau kebaikan yang pernah dilakukan. Apalagi mengklaim diri sebagai pewaris syurga, hingga meremehkan orang lain. Semua kebaikan dan kenikmatan yang kita dapatkan hakikatnya adalah curahan rahmat dan kasih sayang Allah semata.
Rahmat dan kasih sayang Allah terbentang amat luasnya bagi hamba-hamba yang mau mendekatinya. Kenyataan ini tergambar jelas dalam Alquran :
"Dan dia telah
memberikan kepadamu (keperluanmu) dari segala apa yang kamu mohonkan kepadanya.
Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, maka tidaklah dapat kamu menghitungnya"
(QS.
Ibrahim: 43)
Dalam ayat lain disebutkan pula bagaimana luasnya rahmat Allah
tersebut :
Katakanlah: "Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, sesungguhnya habislah lautan itu sebelum habis (ditulis)
kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu pula.
(QS. Al-Kahfi: 109).
Rasulullah SAW menjelaskan pula bahwa rahmat dan kasih sayang Allah terbagi ke dalam seratus bagian. Yang satu Ia sebarkan di dunia, dan sisanya Ia simpan di akhirat kelak. Dari yang satu inilah semua kebaikan di dunia terjadi, hingga seekor induk kuda menjauhkan kakinya dari sang anak karena takut menginjaknya.
Sahabat, sangat tidak layak apabila kita mencari kasih sayang manusia dengan menggadaikan kasih sayang Allah yang tiada bertepi. Sikap terbaik kita dalam memandang semua nikmat tersebut adalah dengan cara bersyukur; berterima kasih kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Secara umum syukur selalu berkisar dalam tiga hal. Jika tidak terkumpul secara bersama-sama, maka tidaklah bisa disebut syukur. Ketiganya adalah mengakui nikmat dalam batin, mengucapkan dengan lisan, dan menggunakannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, syukur berkaitan erat dengan hati, lisan dan anggota badan. Hati untuk mengenal (ma'rifah) dan mencintai (mahabbah) Allah SWT. Lisan untuk memuja dan memuji Allah SWT. Sedangkan anggota badan melaksanakan semua yang ada dalam hati dan lisan tersebut dalam bentuk amal praktis.
Rasulullah SAW menjelaskan pula bahwa rahmat dan kasih sayang Allah terbagi ke dalam seratus bagian. Yang satu Ia sebarkan di dunia, dan sisanya Ia simpan di akhirat kelak. Dari yang satu inilah semua kebaikan di dunia terjadi, hingga seekor induk kuda menjauhkan kakinya dari sang anak karena takut menginjaknya.
Sahabat, sangat tidak layak apabila kita mencari kasih sayang manusia dengan menggadaikan kasih sayang Allah yang tiada bertepi. Sikap terbaik kita dalam memandang semua nikmat tersebut adalah dengan cara bersyukur; berterima kasih kepada Allah atas semua nikmat yang telah diberikan kepada kita.
Secara umum syukur selalu berkisar dalam tiga hal. Jika tidak terkumpul secara bersama-sama, maka tidaklah bisa disebut syukur. Ketiganya adalah mengakui nikmat dalam batin, mengucapkan dengan lisan, dan menggunakannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah SWT.
Dengan kata lain, syukur berkaitan erat dengan hati, lisan dan anggota badan. Hati untuk mengenal (ma'rifah) dan mencintai (mahabbah) Allah SWT. Lisan untuk memuja dan memuji Allah SWT. Sedangkan anggota badan melaksanakan semua yang ada dalam hati dan lisan tersebut dalam bentuk amal praktis.
Acara : Khutbah Jumat
Waktu : Jumat, 2 Januari 2004
Tema : Manajemen Diri.
|
| |
Anak kunci
surga itu adalah ikrar 'Tiada Tuhan selain Allah'. (HR. Al-Bazzar dan Ahmad bin
Hambal dari Mu'adz bin Jabal). Kalimat laa ilaha illallahu (tiada Tuhan selain
Allah) sering pula disebut kalimat thayyibah yang menjadi prinsip dasar ajaran
Islam.
Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, kalimat thayyibah ini merupakan senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaan dari segala bentuk kepercayaan yang batil. Kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah" terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi).
Penafian di sini adalah ungkapan pertama syahadat, "tiada Tuhan" atau "tiada sesuatu bentuk Tuhan apapun", dengan penetapan yang sempurna, "kecuali Allah". Allah SWT menganalogikan kalimat thayyibah ini dengan sebuah pohon yang kuat lagi tinggi menjulang. Dalam QS. Ibrahim: 24-25, Allah SWT berfirman:
Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya.
Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Seorang Muslim yang memahami hakikat kalimat tersebut, kehidupannya akan selalu mencerminkan nilai-nilai ketauhidan bagaikan sebuah pohon yang baik. Cirinya:
Menurut Prof. Dr. Nurcholis Madjid, kalimat thayyibah ini merupakan senjata paling ampuh untuk membebaskan manusia dari belenggu-belenggu kemanusiaan dari segala bentuk kepercayaan yang batil. Kalimat "Tiada Tuhan kecuali Allah" terdiri atas penolakan (negasi) dan penetapan (afirmasi).
Penafian di sini adalah ungkapan pertama syahadat, "tiada Tuhan" atau "tiada sesuatu bentuk Tuhan apapun", dengan penetapan yang sempurna, "kecuali Allah". Allah SWT menganalogikan kalimat thayyibah ini dengan sebuah pohon yang kuat lagi tinggi menjulang. Dalam QS. Ibrahim: 24-25, Allah SWT berfirman:
Tidaklah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhan-Nya.
Allah membuat perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. Seorang Muslim yang memahami hakikat kalimat tersebut, kehidupannya akan selalu mencerminkan nilai-nilai ketauhidan bagaikan sebuah pohon yang baik. Cirinya:
Pertama,
ketauhidan dan rasa mahabbah kepada Allah akan terhujam di dalam lubuk hatinya
bagaikan pohon yang akarnya teguh menghujam ke bumi.
Ia akan senantiasa lentur diterpa angin, kokoh tidak tercerabut. Seseorang yang bertauhid akan mampu menghadang segala macam tipuan syaitan yang menjerumuskan. Ketauhidan yang telah menancap kokoh di hati akan menyebabkan seorang Muslim rela mengorbankan apa pun juga demi menjaga ketauhidan tersebut, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.
Kedua, ketauhidan yang telah tertancap kokoh di hati akan membawa seorang Muslim ke puncak prestasi. Ia akan menjadi mercusuar bagi yang lain seperti halnya sebuah pohon yang cabangnya menjulang ke langit. Pribadi-pribadi semacam ini dapat kita saksikan pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Berbekal ketauhidan mereka dapat menggapai puncak prestasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam politik, militer, ilmu pengetahuan, hingga lapangan kejiwaan dan spiritual. Dengan kalimat tersebut tidak ada lagi penghambaan, ketakutan, dan rintangan yang akan membelenggu karena semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik segalanya.
Ketiga, ketauhidan yang benar akan berbuah ketaatan. Seseorang yang mengenal Allah tentu akan memahami tujuan hidupnya, sehingga ia akan menjalani hidup dengan penuh vitalitas, beribadah dengan penuh keikhlasan dan memahami makna dari semua yang ia lakukan. Karakteristik tersebut pada akhirnya akan membawa rahmat dan cinta kasih yang dapat dipetik bagai buah-buahan segar baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.
Seseorang yang bertauhid akan menjadi sosok bermanfaat bagi lingkungannya dan akhlaknya sedap dipandang mata, bagaikan sebuah pohon yang selalu ramah lingkungan, teduh dan menyedapkan pandangan. Maka pantaslah bila ia bisa menjadi kunci pembuka syurga, baik syurga dunia maupun syurga akhirat.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus terus menyempurnakan nilai-nilai ketauhidan yang ada pada dirinya. Ia harus terus memupuk dan menyiram pohon ketauhidan tersebut. Ilmu dan mahabbah adalah pupuknya. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu tentang Allah dan mahabbah tertinggi adalah mencintai-Nya.
Ia akan senantiasa lentur diterpa angin, kokoh tidak tercerabut. Seseorang yang bertauhid akan mampu menghadang segala macam tipuan syaitan yang menjerumuskan. Ketauhidan yang telah menancap kokoh di hati akan menyebabkan seorang Muslim rela mengorbankan apa pun juga demi menjaga ketauhidan tersebut, meskipun nyawa harus menjadi taruhannya.
Kedua, ketauhidan yang telah tertancap kokoh di hati akan membawa seorang Muslim ke puncak prestasi. Ia akan menjadi mercusuar bagi yang lain seperti halnya sebuah pohon yang cabangnya menjulang ke langit. Pribadi-pribadi semacam ini dapat kita saksikan pada masa Rasulullah dan para sahabat.
Berbekal ketauhidan mereka dapat menggapai puncak prestasi dalam berbagai bidang kehidupan, seperti dalam politik, militer, ilmu pengetahuan, hingga lapangan kejiwaan dan spiritual. Dengan kalimat tersebut tidak ada lagi penghambaan, ketakutan, dan rintangan yang akan membelenggu karena semuanya dikembalikan kepada Allah sebagai pemilik segalanya.
Ketiga, ketauhidan yang benar akan berbuah ketaatan. Seseorang yang mengenal Allah tentu akan memahami tujuan hidupnya, sehingga ia akan menjalani hidup dengan penuh vitalitas, beribadah dengan penuh keikhlasan dan memahami makna dari semua yang ia lakukan. Karakteristik tersebut pada akhirnya akan membawa rahmat dan cinta kasih yang dapat dipetik bagai buah-buahan segar baik oleh dirinya sendiri maupun oleh orang di sekitarnya.
Seseorang yang bertauhid akan menjadi sosok bermanfaat bagi lingkungannya dan akhlaknya sedap dipandang mata, bagaikan sebuah pohon yang selalu ramah lingkungan, teduh dan menyedapkan pandangan. Maka pantaslah bila ia bisa menjadi kunci pembuka syurga, baik syurga dunia maupun syurga akhirat.
Oleh karena itu, seorang Muslim harus terus menyempurnakan nilai-nilai ketauhidan yang ada pada dirinya. Ia harus terus memupuk dan menyiram pohon ketauhidan tersebut. Ilmu dan mahabbah adalah pupuknya. Dan sebaik-baiknya ilmu adalah ilmu tentang Allah dan mahabbah tertinggi adalah mencintai-Nya.
|
||
Saudaraku,
semoga kita termasuk ke dalam orang-orang yang masih memiliki kepekaan.
Andaikata kita kehilangan kepekaan, maka yang akan kita hadapi adalah
kesulitan-kesulitan. Ibarat memegang sesuatu yang panas, tetapi tangan kita
tidak peka.
Dapat dibayangkan, yang akan terjadi adalah tangan akan melepuh
tanpa kita sadari. Begitupun dengan hati ini, semakin bersih hati Insya Allah
akan semakin peka jadinya. Jika sudah peka, tentu akan bisa mendeteksi sesuatu
dengan baik.
Seperti halnya cermin, kalau ia bersih tentu akan mudah digunakan
bercermin baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Tapi bila cerminnya kotor,
jangankan orang lain ikut bercermin, kita saja kesulitan untuk melihat wajah
sendiri.
Memang untuk bisa membersihkan diri dibutuhkan tekad yang sangat kuat. Tanpa tekad kita tidak akan bisa berbuat sesuatu yang besar. Di samping tekad yang kuat harus diiringi pula dengan ikhtiar yang sangat serius.
Memang untuk bisa membersihkan diri dibutuhkan tekad yang sangat kuat. Tanpa tekad kita tidak akan bisa berbuat sesuatu yang besar. Di samping tekad yang kuat harus diiringi pula dengan ikhtiar yang sangat serius.
Ibarat mendorong
mobil awalnya pasti berat, tetapi bila sudah melaju Insya Allah bisa lebih
ringan. Memang dibutuhkan energi yang besar untuk menggulirkan tekad kita, yaitu
"memiliki hidup yang lebih bersih" dan tekad ini tidak disukai oleh setan.
Jangan heran bila kita akan menghadapi godaan yang bertubi-tubi dari setan
sehingga kita tidak berhasil.
Kepekaan itu sangat dibutuhkan dan merupakan keniscayaan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas dirinya. Masalahnya, kita harus peka terhadap apa?
Kepekaan itu sangat dibutuhkan dan merupakan keniscayaan bagi seseorang yang ingin meningkatkan kualitas dirinya. Masalahnya, kita harus peka terhadap apa?
Pertama, kita harus peka terhadap aib, dosa, dan kekurangan diri. Ketika kita
merasakan diri ini bersalah, maka berusahalah untuk tidak membela diri, tetapi
harus juga berani untuk mengakui kesalahan.
Kedua, kita juga harus peka terhadap
ladang amal dari Allah. Misalkan, ketika ada sampah di sekitar kita atau paku
yang dapat membahayakan orang lain, alangkah lebih baiknya jika kita pungut.
Ketika ada orang tua yang berjalan tertatih-tatih tentunya beliau akan senang
sekali jika kita bantu. Ketika ada sahabat-sahabat tuna netra yang menginginkan
ilmu, kita bisa membacakannya. Ketika kita ditakdirkan Allah bertemu dengan
orang yang kesulitan mencari alamat dan ternyata kita tahu apa yang ia butuhkan,
alangkah bahagianya dia jika kita bisa menunjukkannya. Subhanallah, tentunya apa
yang telah dilakukan Insya Allah menjadi amal.
Saudaraku, kitapun harus mulai peka terhadap ladang ilmu. Semua yang kita lihat, kita rasa, kita dengar, itu adalah ilmu yang perlu kita tafakuri. Kemudian kita juga harus peka terhadap perasaan orang lain karena ada juga orang yang kalau berbicara itu kurang peka, akibatnya orang lain menjadi tersinggung. Mungkin boleh jadi dirinya tidak merasa menyinggung orang lain atau menghina orang lain.
Semoga kita dapat terus melatih diri supaya memiliki hati yang sempurna. Mungkin sulit, tetapi kita harus berusaha untuk memperbaiki diri dan melatih kepekaan terhadap dosa, aib sendiri, peka terhadap ladang amal, peka terhadap perasaan orang lain, dan peka terhadap nikmat-nikmat dari Allah agar senantiasa disyukuri.
Saudaraku, kitapun harus mulai peka terhadap ladang ilmu. Semua yang kita lihat, kita rasa, kita dengar, itu adalah ilmu yang perlu kita tafakuri. Kemudian kita juga harus peka terhadap perasaan orang lain karena ada juga orang yang kalau berbicara itu kurang peka, akibatnya orang lain menjadi tersinggung. Mungkin boleh jadi dirinya tidak merasa menyinggung orang lain atau menghina orang lain.
Semoga kita dapat terus melatih diri supaya memiliki hati yang sempurna. Mungkin sulit, tetapi kita harus berusaha untuk memperbaiki diri dan melatih kepekaan terhadap dosa, aib sendiri, peka terhadap ladang amal, peka terhadap perasaan orang lain, dan peka terhadap nikmat-nikmat dari Allah agar senantiasa disyukuri.
Wallahu a'lam bish-shawab.
Sinopsis MQFM
Acara : MQ Pagi
Waktu : Kamis, 18 Maret 2004
Tema : Manajemen Diri
Acara : MQ Pagi
Waktu : Kamis, 18 Maret 2004
Tema : Manajemen Diri
|
| |
Sabar bukan
berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan untuk
menegakan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Maka, harus ada ikhtiar untuk
mengubah kemunkaran itu.
KRISIS multidimensi yang melanda bangsa ini bisa jadi membuat kita tidak berlaku sabar. Kita menjadi "tidak sabaran", mudah tersinggung, cepat marah, saling hujat, dan saling bermusuhan. Padahal, saat kita dilanda krisis sekarang ini, termasuk krisis kepemimpinan, kita sangat butuh pertolongan Allah SWT. Untuk mengundang pertolongan Allah itu salah satunya dengan bersikap sabar. (QS. Al-Baqarah: 45 dan QS. Al-Baqarah: 155-156).
Ayat itu juga menegaskan, sikap sabar berat dilakukan, kecuali bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam mengamalkan perintah-Nya. Seorang ulama, Al-Junaid bin Muhammad, membuat sebuah perumpamaan tentang hakikat sabar, yakni "laksana meneguk sesuatu yang pahit tanpa perlu merengut".
Allah SWT juga menyatakan, kekuatan sabar bisa mengalahkan sesuatu. Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al-Anfaal: 66).
SALAH satu tantangan sekaligus peluang mengamalkan sikap sabar adalah kondisi bangsa yang carut-marut sekarang. Menghadapi pemilu 2004, kita diberi gambaran memprihatinkan dan mengecewakan, bahkan bisa menimbulkan keputusasaan dan pesimisme. Misalnya, bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini karena pemilu hanya memapankan status quo, akan berkuasanya "politisi bermasalah", tidak berkualitas dan tidak jujurnya para calon anggota parlemen, maraknya politik uang, dan pemilu hanya menjadi ajang politisi partai untuk mencapai jabatan, lalu mementingkan diri sendiri dan kelompok, mengabaikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Lebih dari 14 abad silam, Rasulullah SAW mensinyalir kondisi demikian dalam sejumlah hadisnya. "Siapa yang melihat tindakan penguasanya yang tidak menyenangkan, hendaklah bersabar_" (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan, "Sesungguhnya kamu akan melihat pada masa setelahku pejabat yang sangat mementingkan diri sendiri, dan karena itu bersabarlah kamu sampai kamu menemuiku" (HR Bukhari).
Dari hadis-hadis tersebut, Rasul memberi arahan umum kepada umatnya, agar bersikap sabar dalam menghadapi atau menyikapi penguasa yang zhalim. Tentu saja, sabar bukan berarti diam atau pasif. Sabar adalah sikap dinamis yang menuntun adanya ikhtiar. Paling tidak, sikap sabar bisa menghalangi munculnya tindakan tidak terpuji.
Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa untuk mengendalikan amal perbuatan ke arah tuntutan Allah SWT. Hakikat sabar ialah mengarahkan kekuatan yang mendorong kepada apa yang bermanfaat baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya. Sabar adalah ketahanan jiwa dalam menghadapi musibah, melaksanakan perintah Allah, serta mengendalikan hawa nafsu untuk tidak berlaku maksiat.
Para sahabat dan ulama berusaha memaknai sabar dengan berbagai sudut pandangnya. Ali bin Abu Thalib berkata, "sabar ialah kendaraan yang tidak terperosok". Abu Utsman berkata, "sabar ialah orang yang membiasakan dirinya menerjang hal-hal yang tidak mengenakkan". Amr bin Utsman Al-Makki berkata, "sabar ialah tegar bersama Allah dan menghadapi ujian-Nya dengan lapang dada dan tenang". Al-Khawwash berkata, "sabar ialah tegar terhadap hukum-hukum Allah dan Sunnah". Ruwaim berkata, "sabar ialah meninggalkan keluh-kesah". Ulama lain berkata, "sabar ialah meminta pertolongan Allah".
SEKARANG, bagaimana bersikap sabar terhadap penguasa zhalim atau pejabat korup sebagaimana disinyalir Rasulullah dalam sejumlah hadisnya? Tentu, bukan dengan diam atau nrimo kenyataan tanpa ada upaya mengubah keadaan. Sabar bukan berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan melakukan 'amar ma'ruf nahyi muknar. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.
Krisis multidimensi termasuk krisis kepemimpinan dan keteladanan adalah musibah, ujian, bahkan mungkin adzab bagi umat. Ia harus disikapi dengan sabar. Kesabaran itu antara lain meliputi: Pertama, sabar dalam ketulusan niat perjuangan, yakni semata-mata karena Allah dan demi tegaknya kebenaran Ilahi di muka bumi ini. Kritik konstruktif didasari niat menegakkan kebenaran, bukan ambisi merebut kekuasaan. Kedua, ketekunan dalam mengidentifikasi sumber masalah. Bisa jadi, krisis ini merupakan adzab Allah karena kita tidak mempedomani syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya dalam membentuk sistem pemilihan pemimpin, atau ketika kita melakukan pilihan. Bisa jadi kita sering melakukan pilihan emosional, tidak rasional, sehingga mengabaikan kriteria pemimpin sesuai syara'. Kita harus merujuk segala urusan kepada Allah karena semua hal di dunia ini menjadi hak-Nya. Itulah antara lain makna "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang sabar (QS. 2:156).
Ketiga, sabar dalam merumuskan dan melaksanakan perjuangan mengubah kemunkaran. Kesabaran di sini akan memunculkan sikap penuh perhitungan, tidak mudah memvonis atau menghujat yang hanya akan menimbulkan masalah baru, meninjau ulang atau mengoreksi strategi perjuangan, dan membangun jaringan. Juga bersabar, dalam pengertian ketahanan jiwa, atas segala fitnah perjuangan, seperti ancaman kekerasan, suap dan sebagainya.
Keempat, sabar dalam mengekang ambisi pribadi dan fanatisme golongan. Ambisi pribadi bisa merusak kepentingan bersama dan memunculkan permusuhan. Demikian pula fanatisme golongan yang bisa menimbulkan konflik antar kelompok, bahkan merasa paling benar dan menyalahkan orang lain.
Kelima, sabar dalam melakukan seleksi kepemimpinan. Isu politisi busuk atau caleg hitam hendaknya tidak membuat kita pesimis, namun lebih serius dan giat dalam melakukan kaderisasi pemimpin sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dalam jangka pendek, tentu saja, jangan pilih politisi busuk dan parpol busuk pada pemilu nanti! Wallahu a'lam.
KRISIS multidimensi yang melanda bangsa ini bisa jadi membuat kita tidak berlaku sabar. Kita menjadi "tidak sabaran", mudah tersinggung, cepat marah, saling hujat, dan saling bermusuhan. Padahal, saat kita dilanda krisis sekarang ini, termasuk krisis kepemimpinan, kita sangat butuh pertolongan Allah SWT. Untuk mengundang pertolongan Allah itu salah satunya dengan bersikap sabar. (QS. Al-Baqarah: 45 dan QS. Al-Baqarah: 155-156).
Ayat itu juga menegaskan, sikap sabar berat dilakukan, kecuali bagi mereka yang sungguh-sungguh dalam mengamalkan perintah-Nya. Seorang ulama, Al-Junaid bin Muhammad, membuat sebuah perumpamaan tentang hakikat sabar, yakni "laksana meneguk sesuatu yang pahit tanpa perlu merengut".
Allah SWT juga menyatakan, kekuatan sabar bisa mengalahkan sesuatu. Sekarang, Allah telah meringankan kepadamu dan Dia telah mengetahui bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada di antaramu seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antaramu ada seribu orang (yang sabar), niscaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar (QS. Al-Anfaal: 66).
SALAH satu tantangan sekaligus peluang mengamalkan sikap sabar adalah kondisi bangsa yang carut-marut sekarang. Menghadapi pemilu 2004, kita diberi gambaran memprihatinkan dan mengecewakan, bahkan bisa menimbulkan keputusasaan dan pesimisme. Misalnya, bahwa pemilu tidak akan membawa perubahan signifikan bagi bangsa ini karena pemilu hanya memapankan status quo, akan berkuasanya "politisi bermasalah", tidak berkualitas dan tidak jujurnya para calon anggota parlemen, maraknya politik uang, dan pemilu hanya menjadi ajang politisi partai untuk mencapai jabatan, lalu mementingkan diri sendiri dan kelompok, mengabaikan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Lebih dari 14 abad silam, Rasulullah SAW mensinyalir kondisi demikian dalam sejumlah hadisnya. "Siapa yang melihat tindakan penguasanya yang tidak menyenangkan, hendaklah bersabar_" (HR. Bukhari). Dalam hadis lain disebutkan, "Sesungguhnya kamu akan melihat pada masa setelahku pejabat yang sangat mementingkan diri sendiri, dan karena itu bersabarlah kamu sampai kamu menemuiku" (HR Bukhari).
Dari hadis-hadis tersebut, Rasul memberi arahan umum kepada umatnya, agar bersikap sabar dalam menghadapi atau menyikapi penguasa yang zhalim. Tentu saja, sabar bukan berarti diam atau pasif. Sabar adalah sikap dinamis yang menuntun adanya ikhtiar. Paling tidak, sikap sabar bisa menghalangi munculnya tindakan tidak terpuji.
Sabar adalah salah satu kekuatan jiwa untuk mengendalikan amal perbuatan ke arah tuntutan Allah SWT. Hakikat sabar ialah mengarahkan kekuatan yang mendorong kepada apa yang bermanfaat baginya dan mengarahkan kekuatan penolak dari apa yang merugikannya. Sabar adalah ketahanan jiwa dalam menghadapi musibah, melaksanakan perintah Allah, serta mengendalikan hawa nafsu untuk tidak berlaku maksiat.
Para sahabat dan ulama berusaha memaknai sabar dengan berbagai sudut pandangnya. Ali bin Abu Thalib berkata, "sabar ialah kendaraan yang tidak terperosok". Abu Utsman berkata, "sabar ialah orang yang membiasakan dirinya menerjang hal-hal yang tidak mengenakkan". Amr bin Utsman Al-Makki berkata, "sabar ialah tegar bersama Allah dan menghadapi ujian-Nya dengan lapang dada dan tenang". Al-Khawwash berkata, "sabar ialah tegar terhadap hukum-hukum Allah dan Sunnah". Ruwaim berkata, "sabar ialah meninggalkan keluh-kesah". Ulama lain berkata, "sabar ialah meminta pertolongan Allah".
SEKARANG, bagaimana bersikap sabar terhadap penguasa zhalim atau pejabat korup sebagaimana disinyalir Rasulullah dalam sejumlah hadisnya? Tentu, bukan dengan diam atau nrimo kenyataan tanpa ada upaya mengubah keadaan. Sabar bukan berarti pasif, namun dinamis, karena di sisi lain kita pun diperintahkan melakukan 'amar ma'ruf nahyi muknar. Maka, harus ada ikhtiar untuk mengubah kemunkaran itu.
Krisis multidimensi termasuk krisis kepemimpinan dan keteladanan adalah musibah, ujian, bahkan mungkin adzab bagi umat. Ia harus disikapi dengan sabar. Kesabaran itu antara lain meliputi: Pertama, sabar dalam ketulusan niat perjuangan, yakni semata-mata karena Allah dan demi tegaknya kebenaran Ilahi di muka bumi ini. Kritik konstruktif didasari niat menegakkan kebenaran, bukan ambisi merebut kekuasaan. Kedua, ketekunan dalam mengidentifikasi sumber masalah. Bisa jadi, krisis ini merupakan adzab Allah karena kita tidak mempedomani syariat Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, khususnya dalam membentuk sistem pemilihan pemimpin, atau ketika kita melakukan pilihan. Bisa jadi kita sering melakukan pilihan emosional, tidak rasional, sehingga mengabaikan kriteria pemimpin sesuai syara'. Kita harus merujuk segala urusan kepada Allah karena semua hal di dunia ini menjadi hak-Nya. Itulah antara lain makna "inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" sebagaimana ditunjukkan orang-orang yang sabar (QS. 2:156).
Ketiga, sabar dalam merumuskan dan melaksanakan perjuangan mengubah kemunkaran. Kesabaran di sini akan memunculkan sikap penuh perhitungan, tidak mudah memvonis atau menghujat yang hanya akan menimbulkan masalah baru, meninjau ulang atau mengoreksi strategi perjuangan, dan membangun jaringan. Juga bersabar, dalam pengertian ketahanan jiwa, atas segala fitnah perjuangan, seperti ancaman kekerasan, suap dan sebagainya.
Keempat, sabar dalam mengekang ambisi pribadi dan fanatisme golongan. Ambisi pribadi bisa merusak kepentingan bersama dan memunculkan permusuhan. Demikian pula fanatisme golongan yang bisa menimbulkan konflik antar kelompok, bahkan merasa paling benar dan menyalahkan orang lain.
Kelima, sabar dalam melakukan seleksi kepemimpinan. Isu politisi busuk atau caleg hitam hendaknya tidak membuat kita pesimis, namun lebih serius dan giat dalam melakukan kaderisasi pemimpin sesuai dengan tuntunan syariat Islam. Dalam jangka pendek, tentu saja, jangan pilih politisi busuk dan parpol busuk pada pemilu nanti! Wallahu a'lam.
|
| |
PRINSIP "The Right Man on the Right Place" sangat populer di dunia manajemen.
Penempatan orang yang tepat pada posisi yang tepat menjadi kunci sukses sebuah
organisasi atau perusahaan.
Umat Islam tidaklah asing dengan prinsip semacam itu. Pasalnya, lebih dari 14 abad silam, ajaran Islam sudah mewanti-wanti agar umatnya menyerahkan suatu masalah kepada ahlinya (the right man). Jika tidak, tunggulah kehancurannya. Rasulullah Saw bersabda, "Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran". Sahabat bertanya: "Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?" Rasul menjawab: "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya" (HR Bukhari). Hadits ini diperkuat dengan sejumlah ayat Alquran dan hadis lain tentang keharusan umat Islam menyerahkan amanah kepada ahlinya.
Dalam Surat An-Nisa: 58 Allah Swt menegaskan, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Menyerahkan amanah kepada bukan ahlinya juga menjadi salah satu tanda akhir zaman (kiamat).
Abu Hurairah meriwayatkan, dalam satu majelis ketika Rasulullah Saw berbicara dengan orang ramai, datang seorang Arab Badui, lalu bertanya: "Bilakah hari Kiamat?" Rasulullah bersabda: "Apabila dihilangkan amanah maka tunggulah hari kiamat". Orang itu bertanya lagi: "Bagaimanakah menghilangkan amanah itu?" Rasul menegaskan: "Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat". Sangat jelas dan logis, kita diperintahkan untuk memberikan amanah kepada ahlinya. Kita harus menyerahkan amanah kepemimpinan kepada orang yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin.
Kita mesti memberikan tanggung jawab sebagai wakil rakyat kepada mereka yang memang layak mewakili rakyat-mengenal dan berpihak kepada rakyat, jujur, tidak mementingkan diri sendiri, dan lainnya. Sayangnya, kita sering melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya itu. Faktor like and dislike, nepotisme, pertemanan (kroniisme), bujuk-rayu dan suap, sering menjadikan perintah agama itu terabaikan.
Sering terjadi kasus menyingkirkan orang yang ahli (mampu) dan mengangkat orang yang bukan ahli. Sebenarnya, jika faktor-faktor tadi berada di bawah keahlian atau kapabilitas, tidak terlalu menjadi masalah, kalau memang dia ahlinya yang kebetulan teman atau kerabat. Persoalannya, sering kali kita mengangkat orang dengan menomorduakan faktor keahlian itu dan mengedepankan faktor-faktor tadi. Alasan yang biasa muncul, "keahlian bisa dipelajari" atau "dicoba dulu". Fenomena demikian sudah disinyalir Rasulullah. Yazid bin Abu Sufiyan berkata, "Telah berkata kepadaku Abu Bakar waktu ia mengutusku ke Syam: 'Hai Yazid! Sesungguhnya engkau mempunyai kerabat, boleh jadi engkau mengutamakan mereka buat memegang kekuasaannya, dan itulah yang aku khawatirkan atasmu, karena Rasulullah bersabda : 'Barangsiapa menguasai sesuatu dari urusan kaum muslimin, lalu dia memberi kuasa kepada seseorang atas mereka kerana cintanya, maka laknat Allah menimpa atasnya, Allah tidak diterima daripadanya gantian dan tidak pula tebusan, sehingga dia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam " (HR. Al-Hakim) Jika kita berbuat demikian, hadits berikut ini juga harus kita camkan.
Dari Abu Dzar, dia berkata: " Saya berkata : 'Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memilih saya?' Rasulullah bersabda: 'Hai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sedangkan itu sebagai amanah pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggungjawabnya" (HR Muslim).
Hadits ini memberi peringatan, memberikan amanah kepada orang yang bukan ahlinya akan menimbulkan beban berat, penyesalan dan kehinaan di akhirat, selain masalah yang menjadi tanggung jawabnya akan berantakan.
Amanah secara harfiyah adalah tanggung jawab, kepercayaan, terpercaya, atau beban tugas. Amanah bisa juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional), seperti seuatu kedudukan tidak diberikan kecuali kepada orang yang berhak dan mampu menunaikan tugas dan kewajibannya dengan benar. Setiap kita memiliki amanah dan akan dimintai pertanggugjawabannya.
Rasulullah bersabda, "Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu juga akan diminta bertanggungjawab tentang apa yang kamu pemimpin, ketua atau imam adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggungjawab tentang apa yang dipimpinnya" (HR Bukhari). Kita diperintahkan untuk tidak sekali-kali menyia-nyiakan amanah itu apalagi menyalahgunakannya.
Dalam Al-Anfaal: 27 Allah menegaskan, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati amanah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah kamu, sedang kamu mengetahui salahnya. Islam juga menegaskan, orang yang tidak menunaikan amanah sebagai "tidak sempurna keimanannya".
Sifat amanah bahkan dianggap sebagai "garis pemisah" keimanan seseorang. Rasulullah bersabda, "Tiada iman bagi orang yang tidak memegang amanah dan tiada agama bagi orang yang tidak dapat dipegang janjinya" (HR Ahmad). Orang yang mengkhianati amanah dalam Islam disebut orang munafik. Dengan kata lain, tidak menunaikan amanah yang diemban termasuk nifak. Dalam sebuah hadits disebutkan, mengkhianati amanah merupakan salah satu ciri orang munafik, selain suka berdusta dan ingkar janji.
Perbincangan tentang amanah menemukan momentumnya setiap saat, khususnya saat ini, ketika kita bersiap melakukan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden langsung. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah, di samping harus bersikap amanah, kita juga harus memilih orang-orang tepat untuk melaksanakan amanah sebagai wakil rakyat dan memimpin umat. Jika kita salah memilih, atau tidak mengacu kepada konsep amanah dalam Islam dalam melakukan pilihan, maka akibatnya adalah negeri ini akan terus carut-marut seperti sekarang. Seperti disinyalir Rasulullah, "tunggulah kehancurannya". Na'udzubillah. Namun setidaknya, adanya Gerakan Jangan Pilih Politisi Busuk membantu kita dalam melakukan seleksi untuk menemukan politisi yang amanah. Maka, kita dukung gerakan tersebut.
Umat Islam tidaklah asing dengan prinsip semacam itu. Pasalnya, lebih dari 14 abad silam, ajaran Islam sudah mewanti-wanti agar umatnya menyerahkan suatu masalah kepada ahlinya (the right man). Jika tidak, tunggulah kehancurannya. Rasulullah Saw bersabda, "Jika amanah disia-siakan, tunggulah saat kehancuran". Sahabat bertanya: "Bagaimana menyia-nyiakan amanah itu?" Rasul menjawab: "Jika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saat kehancurannya" (HR Bukhari). Hadits ini diperkuat dengan sejumlah ayat Alquran dan hadis lain tentang keharusan umat Islam menyerahkan amanah kepada ahlinya.
Dalam Surat An-Nisa: 58 Allah Swt menegaskan, Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada orang yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkannya dengan adil. Menyerahkan amanah kepada bukan ahlinya juga menjadi salah satu tanda akhir zaman (kiamat).
Abu Hurairah meriwayatkan, dalam satu majelis ketika Rasulullah Saw berbicara dengan orang ramai, datang seorang Arab Badui, lalu bertanya: "Bilakah hari Kiamat?" Rasulullah bersabda: "Apabila dihilangkan amanah maka tunggulah hari kiamat". Orang itu bertanya lagi: "Bagaimanakah menghilangkan amanah itu?" Rasul menegaskan: "Apabila diserahkan urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kiamat". Sangat jelas dan logis, kita diperintahkan untuk memberikan amanah kepada ahlinya. Kita harus menyerahkan amanah kepemimpinan kepada orang yang memang memiliki kapasitas dan kapabilitas untuk memimpin.
Kita mesti memberikan tanggung jawab sebagai wakil rakyat kepada mereka yang memang layak mewakili rakyat-mengenal dan berpihak kepada rakyat, jujur, tidak mementingkan diri sendiri, dan lainnya. Sayangnya, kita sering melanggar perintah Allah dan Rasul-Nya itu. Faktor like and dislike, nepotisme, pertemanan (kroniisme), bujuk-rayu dan suap, sering menjadikan perintah agama itu terabaikan.
Sering terjadi kasus menyingkirkan orang yang ahli (mampu) dan mengangkat orang yang bukan ahli. Sebenarnya, jika faktor-faktor tadi berada di bawah keahlian atau kapabilitas, tidak terlalu menjadi masalah, kalau memang dia ahlinya yang kebetulan teman atau kerabat. Persoalannya, sering kali kita mengangkat orang dengan menomorduakan faktor keahlian itu dan mengedepankan faktor-faktor tadi. Alasan yang biasa muncul, "keahlian bisa dipelajari" atau "dicoba dulu". Fenomena demikian sudah disinyalir Rasulullah. Yazid bin Abu Sufiyan berkata, "Telah berkata kepadaku Abu Bakar waktu ia mengutusku ke Syam: 'Hai Yazid! Sesungguhnya engkau mempunyai kerabat, boleh jadi engkau mengutamakan mereka buat memegang kekuasaannya, dan itulah yang aku khawatirkan atasmu, karena Rasulullah bersabda : 'Barangsiapa menguasai sesuatu dari urusan kaum muslimin, lalu dia memberi kuasa kepada seseorang atas mereka kerana cintanya, maka laknat Allah menimpa atasnya, Allah tidak diterima daripadanya gantian dan tidak pula tebusan, sehingga dia dimasukkan ke dalam neraka Jahannam " (HR. Al-Hakim) Jika kita berbuat demikian, hadits berikut ini juga harus kita camkan.
Dari Abu Dzar, dia berkata: " Saya berkata : 'Ya Rasulullah, mengapa engkau tidak memilih saya?' Rasulullah bersabda: 'Hai Abu Dzar, engkau seorang yang lemah, sedangkan itu sebagai amanah pada hari kiamat hanya akan menjadi penyesalan dan kehinaan. Kecuali orang yang dapat menunaikan hak kewajibannya dan memenuhi tanggungjawabnya" (HR Muslim).
Hadits ini memberi peringatan, memberikan amanah kepada orang yang bukan ahlinya akan menimbulkan beban berat, penyesalan dan kehinaan di akhirat, selain masalah yang menjadi tanggung jawabnya akan berantakan.
Amanah secara harfiyah adalah tanggung jawab, kepercayaan, terpercaya, atau beban tugas. Amanah bisa juga berarti menempatkan sesuatu pada tempatnya (proporsional), seperti seuatu kedudukan tidak diberikan kecuali kepada orang yang berhak dan mampu menunaikan tugas dan kewajibannya dengan benar. Setiap kita memiliki amanah dan akan dimintai pertanggugjawabannya.
Rasulullah bersabda, "Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu juga akan diminta bertanggungjawab tentang apa yang kamu pemimpin, ketua atau imam adalah pemimpin dan ia akan diminta tanggungjawab tentang apa yang dipimpinnya" (HR Bukhari). Kita diperintahkan untuk tidak sekali-kali menyia-nyiakan amanah itu apalagi menyalahgunakannya.
Dalam Al-Anfaal: 27 Allah menegaskan, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati amanah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah kamu, sedang kamu mengetahui salahnya. Islam juga menegaskan, orang yang tidak menunaikan amanah sebagai "tidak sempurna keimanannya".
Sifat amanah bahkan dianggap sebagai "garis pemisah" keimanan seseorang. Rasulullah bersabda, "Tiada iman bagi orang yang tidak memegang amanah dan tiada agama bagi orang yang tidak dapat dipegang janjinya" (HR Ahmad). Orang yang mengkhianati amanah dalam Islam disebut orang munafik. Dengan kata lain, tidak menunaikan amanah yang diemban termasuk nifak. Dalam sebuah hadits disebutkan, mengkhianati amanah merupakan salah satu ciri orang munafik, selain suka berdusta dan ingkar janji.
Perbincangan tentang amanah menemukan momentumnya setiap saat, khususnya saat ini, ketika kita bersiap melakukan pemilihan umum legislatif dan pemilihan presiden langsung. Sebagaimana dicontohkan Rasulullah, di samping harus bersikap amanah, kita juga harus memilih orang-orang tepat untuk melaksanakan amanah sebagai wakil rakyat dan memimpin umat. Jika kita salah memilih, atau tidak mengacu kepada konsep amanah dalam Islam dalam melakukan pilihan, maka akibatnya adalah negeri ini akan terus carut-marut seperti sekarang. Seperti disinyalir Rasulullah, "tunggulah kehancurannya". Na'udzubillah. Namun setidaknya, adanya Gerakan Jangan Pilih Politisi Busuk membantu kita dalam melakukan seleksi untuk menemukan politisi yang amanah. Maka, kita dukung gerakan tersebut.
|
||
Dari Abu
Hurairah ra. Rasulullah SAW bersabda:
"Cukuplah seseorang disebut pendusta yang
mengatakan (membicarakan) semua yang ia dengar" (HR. Muslim).
Penjelasan:
Penjelasan:
Seseorang yang mendapatkan informasi atau berita lalu ia mengungkapkannya atau
membicarakannya seluruh informasi yang ia dengar tersebut tanpa ada alasan
syar'i yang membenarkannya maka Rasulullah SAW menyebutnya sebagai pendusta. Hal
ini sangat jelas, karena siapa saja yang mendengar berita sedang ia tidak
berusaha menyeleksi dan menyaring benar tidaknya berita tersebut, maka sama saja
dengan berkata dusta.
Rasulullah SAW, dalam hadis ini, memberikan sebuah pelajaran penting berkaitan dengan adab-adab menyaring dan menyampaikan informasi. Siapapun yang memiliki berita, informasi, dan pengetahuan, tentu harus disampaikan kepada orang lain. Tapi ia pun harus mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan Allah SWT dalam Al-Quran.
Dalam Surat Az-zumar ayat 18 Allah SWT menyebutkan salah satu ciri ulil albab, yaitu orang-orang yang gemar mendengarkan pembicaraan, mencari sebanyak mungkin informasi, tapi ia berusaha memilah dan memilih informasi tersebut dan hanya mengambil yang paling baik dan paling bermanfaat di dalamnya.
Allah SWT mengomentari orang-orang seperti ini sebagai golongan yang mendapatkan petunjuk. Konteks ayat ini lebih berkaitan dengan informasi tentang ketuhanan, tentang ajaran moral, prinsip hidup, dari berbagai sumber. Kemampuan memilih informasi sejalan dengan pesan Allah agar kita selalu melakukan tabayyun atau cek ricek.
Proses tabayyun ini sangat penting dalam ajaran Islam, karena segala sesuatu yang kita ucapkan, kita dengar, dan kita sampaikan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam Surat Al-Isra ayat 36 dinyatakan :
Rasulullah SAW, dalam hadis ini, memberikan sebuah pelajaran penting berkaitan dengan adab-adab menyaring dan menyampaikan informasi. Siapapun yang memiliki berita, informasi, dan pengetahuan, tentu harus disampaikan kepada orang lain. Tapi ia pun harus mengikuti prinsip-prinsip yang telah digariskan Allah SWT dalam Al-Quran.
Dalam Surat Az-zumar ayat 18 Allah SWT menyebutkan salah satu ciri ulil albab, yaitu orang-orang yang gemar mendengarkan pembicaraan, mencari sebanyak mungkin informasi, tapi ia berusaha memilah dan memilih informasi tersebut dan hanya mengambil yang paling baik dan paling bermanfaat di dalamnya.
Allah SWT mengomentari orang-orang seperti ini sebagai golongan yang mendapatkan petunjuk. Konteks ayat ini lebih berkaitan dengan informasi tentang ketuhanan, tentang ajaran moral, prinsip hidup, dari berbagai sumber. Kemampuan memilih informasi sejalan dengan pesan Allah agar kita selalu melakukan tabayyun atau cek ricek.
Proses tabayyun ini sangat penting dalam ajaran Islam, karena segala sesuatu yang kita ucapkan, kita dengar, dan kita sampaikan harus kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Dalam Surat Al-Isra ayat 36 dinyatakan :
Dan janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.
Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta
pertanggungan jawabnya.
Selain itu, tabayyun akan menghindarkan orang dari prasangka, fitnah, ghibah, ataupun buruk sangka. Kita paham bahwa manusia adalah makhluk sosial di mana semua tindakannya banyak tergantung pada hubungan dan interaksi dengan orang lain. Tapi alangkah indahnya apabila ketergantungan tersebut menjadikan kita mampu menyerap informasi secara baik.
Hadis ini sangat penting untuk kita yakini dan kita amalkan, terutama di era globalisasi yang ditandai dengan semakin derasnya arus informasi yang masuk. Kita jangan sampai memakan bulat-bulat seluruh informasi yang masuk, tapi harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyeleksinya. Informasi dengan segala dimensi yang dibawanya adalah sarana paling efektif untuk memengaruhi pola pikir seseorang.
Pola pikir inilah yang kemudian memunculkan sebentuk tingkah laku. Bila informasi yang diserapnya jelek, maka "besar kemungkinan" prilaku seseorang akan jelek. Tapi, bila informasi yang diserap sarat dengan nilai kebaikan, insya Allah, kelakuan orang yang menyerap informasi tersebut akan baik pula.
Oleh karena itu, sangat pantas bila di tengah derasnya informasi, kita memohon kepada Allah agar diberi kemampuan untuk tetap istiqamah dalam kebaikan dan mampu menjaga keimanan kita segala distorsi. Dan yang tak kalah penting, kita memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih segala informasi yang datang.
Selain itu, tabayyun akan menghindarkan orang dari prasangka, fitnah, ghibah, ataupun buruk sangka. Kita paham bahwa manusia adalah makhluk sosial di mana semua tindakannya banyak tergantung pada hubungan dan interaksi dengan orang lain. Tapi alangkah indahnya apabila ketergantungan tersebut menjadikan kita mampu menyerap informasi secara baik.
Hadis ini sangat penting untuk kita yakini dan kita amalkan, terutama di era globalisasi yang ditandai dengan semakin derasnya arus informasi yang masuk. Kita jangan sampai memakan bulat-bulat seluruh informasi yang masuk, tapi harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyeleksinya. Informasi dengan segala dimensi yang dibawanya adalah sarana paling efektif untuk memengaruhi pola pikir seseorang.
Pola pikir inilah yang kemudian memunculkan sebentuk tingkah laku. Bila informasi yang diserapnya jelek, maka "besar kemungkinan" prilaku seseorang akan jelek. Tapi, bila informasi yang diserap sarat dengan nilai kebaikan, insya Allah, kelakuan orang yang menyerap informasi tersebut akan baik pula.
Oleh karena itu, sangat pantas bila di tengah derasnya informasi, kita memohon kepada Allah agar diberi kemampuan untuk tetap istiqamah dalam kebaikan dan mampu menjaga keimanan kita segala distorsi. Dan yang tak kalah penting, kita memiliki kemampuan untuk memilah dan memilih segala informasi yang datang.
|
| |
Dari 'Aisyah ra.
Ia berkata :
Rasulullah pernah bersabda, ada lima binatang melata yang semuanya
termasuk fawasiq (bersifat fasik, senang hidup keluar dari jalan yang benar)
yang harus dibunuh baik dalam keadaan tahalllul maupun ihram, yaitu kalajengking,
rajawali, gagak, tikus, dan anjing yang suka menggigit'' (HR Bukhari Muslim).
Hal
yang paling menarik dari hadis di atas adalah dibolehkannya membunuh lima jenis
binatang bagi jamaah haji yang sedang melaksanakan ihram (masih dalam rangkaian
ritual haji).
Padahal berbeda dengan saat tahallul (selesai haji), waktu ihram merupakan saat yang sangat sakral dalam ritual haji. Tentu ada pesan penting di balik semua itu. Ibadah haji dimulai dengan niat lalu menanggalkan pakaian biasa sambil mengenakan pakaian ihram di beberapa miqat (tempat) yang telah ditetapkan, antara lain di Yulamlam, Dzulhulaifah, Yuhfah, atau di Qarnul Manazil.
Setiap Jamaah haji mengenakan dua helai pakaian berwarna putih putih sama seperti saat dikuburkan. Seharusnya seorang jamaah haji secara sadar dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia mesti merasakan kelemahan dan keterbatasan dirinya di hadapan Allah, seperti saat pertanggungjawaban kelak dihadapan-Nya, tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain kecuali ketakwaan masing-masing. Pakaian biasanya menjadi tanda pembeda antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.
Perbedaan tersebut membawa pada perbedaan status sosial, ekonomi, dan profesi. Juga berpengaruh secara psikologis kepada pemakainya. Titik awal sebuah perjalanan haji menekankan bahwa segala perbedaan harus ditanggalkan sehingga semua jamaah haji memakai pakaian yang sama. Begitu pula pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian itu harus ikut tanggal sehingga manusia ada dalam satu kesatuan dan kesamaan.
Hadis dari 'Aisyah tersebut menegaskan bahwa apapun ras dan suku bangsa dari tiap jemaah haji semua pakaian yang sering dikenakan sehari-hari baik sebagai kalajengking (lambang kekejaman), rajawali (lambang keserakahan), gagak (lambang kekejian), tikus (lambang kelicikan), dan anjing (lambang tipu daya) semuanya harus ditanggalkan dan mulai berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Semua sifat itu pula yang harus dibunuh sepulang para jamaah melaksanakan semua aktivitas hajinya.
Apabila baju-baju binatang itu berhasil ditanggalkan, maka ibadah haji yang dilakukannya telah berhasil membuatnya kembali menjadi manusia fitrah yang suci sesuci pakaian ihram yang dikenakannya. Saat itu pula seseorang yang menunaikan haji berhasil meraih kemabruran haji.
Padahal berbeda dengan saat tahallul (selesai haji), waktu ihram merupakan saat yang sangat sakral dalam ritual haji. Tentu ada pesan penting di balik semua itu. Ibadah haji dimulai dengan niat lalu menanggalkan pakaian biasa sambil mengenakan pakaian ihram di beberapa miqat (tempat) yang telah ditetapkan, antara lain di Yulamlam, Dzulhulaifah, Yuhfah, atau di Qarnul Manazil.
Setiap Jamaah haji mengenakan dua helai pakaian berwarna putih putih sama seperti saat dikuburkan. Seharusnya seorang jamaah haji secara sadar dipengaruhi oleh pakaian ini. Ia mesti merasakan kelemahan dan keterbatasan dirinya di hadapan Allah, seperti saat pertanggungjawaban kelak dihadapan-Nya, tiada perbedaan antara seseorang dengan yang lain kecuali ketakwaan masing-masing. Pakaian biasanya menjadi tanda pembeda antara seseorang atau sekelompok orang dengan yang lainnya.
Perbedaan tersebut membawa pada perbedaan status sosial, ekonomi, dan profesi. Juga berpengaruh secara psikologis kepada pemakainya. Titik awal sebuah perjalanan haji menekankan bahwa segala perbedaan harus ditanggalkan sehingga semua jamaah haji memakai pakaian yang sama. Begitu pula pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian itu harus ikut tanggal sehingga manusia ada dalam satu kesatuan dan kesamaan.
Hadis dari 'Aisyah tersebut menegaskan bahwa apapun ras dan suku bangsa dari tiap jemaah haji semua pakaian yang sering dikenakan sehari-hari baik sebagai kalajengking (lambang kekejaman), rajawali (lambang keserakahan), gagak (lambang kekejian), tikus (lambang kelicikan), dan anjing (lambang tipu daya) semuanya harus ditanggalkan dan mulai berperan sebagai manusia yang sesungguhnya. Semua sifat itu pula yang harus dibunuh sepulang para jamaah melaksanakan semua aktivitas hajinya.
Apabila baju-baju binatang itu berhasil ditanggalkan, maka ibadah haji yang dilakukannya telah berhasil membuatnya kembali menjadi manusia fitrah yang suci sesuci pakaian ihram yang dikenakannya. Saat itu pula seseorang yang menunaikan haji berhasil meraih kemabruran haji.
Nabi mengatakan, ''Tidak ada balasan lain
bagi haji yang mabrur selain surga.'' (HR Bukhari dan Muslim). Kemabruran haji
ditentukan tidak hanya pada saat prosesi haji.
Ibn Hajar Al-'Asqalani menjelaskan bahwa makna kemabruran haji meliputi dua hal, yaitu ketepatan pelaksanaan aturan-aturan haji saat berada di Mekah menjalankan ritual haji dan perubahan perilaku sepulang dari haji (Fath Al-Bari, jilid III hal 382, Maktabah Salafiyah).
Ibn Hajar Al-'Asqalani menjelaskan bahwa makna kemabruran haji meliputi dua hal, yaitu ketepatan pelaksanaan aturan-aturan haji saat berada di Mekah menjalankan ritual haji dan perubahan perilaku sepulang dari haji (Fath Al-Bari, jilid III hal 382, Maktabah Salafiyah).
Bila sepulang haji tidak ada perubahan perilaku,
itu bisa menjadi indikasi bahwa haji yang dilaksanakannya belum dapat
dikategorikan mabrur yang dijamin surga oleh Allah.
Kemabruran haji akan mengantarkan seseorang benar-benar menjadi manusia sesungguhnya sebagai abdullah, hamba Allah. Ia terlepas dari kurungan pakaian kebinatangan, berganti mengenakan pakain kemanusiaannya yang suci bersih seperti saat ia dilahirkan. Miniatur ritual yang begitu indah tersebut akan terlihat lebih indah jika diaplikasikan ke dalam lingkungan kemanusiaan yang nyata setelah jamaah haji kembali ke kampung halamannya masing-masing.
Kemabruran haji akan mengantarkan seseorang benar-benar menjadi manusia sesungguhnya sebagai abdullah, hamba Allah. Ia terlepas dari kurungan pakaian kebinatangan, berganti mengenakan pakain kemanusiaannya yang suci bersih seperti saat ia dilahirkan. Miniatur ritual yang begitu indah tersebut akan terlihat lebih indah jika diaplikasikan ke dalam lingkungan kemanusiaan yang nyata setelah jamaah haji kembali ke kampung halamannya masing-masing.
|
| |
Saat berbicara
Islam, Alquran pasti memakai kata ad-diin. Tapi kalau berbicara agama lain,
Alquran menggunakan kata millah. Sebagai contoh dalam Surat Ali Imran : 19, Inna
dinna indallahil Islam; Sesungguhnya "agama" (yang diridhai) di sisi Allah
hanyalah Islam.
Bandingkan saat Alquran merujuk agama lain, misalnya dalam Surat Al- Baqarah ayat 120 saat membicarakan orang-orang Yahudi dan Nasrani, walantardha ankal yahuddu wan nashara hatta tattabi'uu millatahum, Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti "agama" mereka.
Apa perbedaannya?
Bandingkan saat Alquran merujuk agama lain, misalnya dalam Surat Al- Baqarah ayat 120 saat membicarakan orang-orang Yahudi dan Nasrani, walantardha ankal yahuddu wan nashara hatta tattabi'uu millatahum, Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti "agama" mereka.
Apa perbedaannya?
Din adalah sistem lengkap, sedangkan millah adalah bagian dari
sistem din tersebut. Sebagai sebuah ilustrasi, pemerintahan Republik Indonesia
adalah din, sedangkan Departemen Agama adalah millah. Karenanya, kita akan
melihat implikasi hal ini dalam kehidupan sehari-hari bahwa Islam bukan hanya
millah saja, bukan ubudiyyah saja, tapi sebagai sebuah sistem menyeluruh dan
lengkap.
Islam tidak hanya mengatur hubungan ritual dengan Tuhan, tapi juga mengatur seluruh pola tingkah laku manusia dari mulai urusan negara hingga urusan kamar mandi. Kita melihat ada sistem ekonomi Islam, maka tidak mengherankan kalau ada bank berlabel Islam. Kita tidak akan menemukan ada bank berlabel agama lain. Inilah salah satu karakteristik Islam yaitu assyamil wal kamiil, lengkap dan menyeluruh. Islam mengatur semua hal yang berkaitan dengan hidup manusia.
Salah satu bidang yang mendapatkan perhatian cukup besar adalah bidang ekonomi (muamalah). Sayangnya doktrin Islam dalam bidang yang satu ini sudah banyak ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Maka tidak mengherankan apabila kita terpuruk pada saat orang lain berpesta pora. Sekarang kita bisa bertanya?
Mengapa Jepang dan Korea menjadi kaya, begitu pula Singapura, Taiwan dan Amerika? Atau mengapa pula Cina yang berpenduduk sangat banyak memberikan sumbangan kepada Indonesia yang jumlah penduduknya lebih sedikit? Jawabannya ternyata tanpa sadar mereka telah mengamalkan sunnah Rasulullah dalam bisnis (dagang).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda bahwa rezeki yang dibagikan Allah itu terdiri dari dua puluh pintu; sembilan belas pintu untuk para pengusaha dan satu pintu untuk para pekerja. Jadi, sembilan belas pintu rezeki terdapat dalam aktivitas bisnis (dagang). Tanpa kita sadari, dunia yang ada sekarang tengah mengalami perubahan yang sangat mendasar.
Sejak tahun 1989 "tata dunia baru" mulai menggantikan "tata dunia lama" yang ditandai dengan berakhirnya Era Industri. Tak heran bila ada yang mengatakan dunia yang ada sekarang masih sangat muda, baru berumur 15 tahun. Doktrin yang kita dapatkan saat Era Industri adalah doktrin menjadi pegawai. Kita harus giat belajar agar masuk perguruan tinggi ternama dan mendapatkan pekerjaan yang enak dan menjamin.
Sekarang, paradigma semacam ini mulai terbalik. Pekerjaan menjadi sangat sempit, bahkan orang yang sudah bekerja pun terancam PHK atau pensiun dini. Dari kenyataan ini, kita harus mulai berpikir untuk mengembalikan situasi semacam ini kepada sunnah Rasul. Caranya dengan mengubah paradigma berpikir dari menjadi seorang pekerja menjadi seorang wirausahawan.
Bukan sesuatu yang jelek jika kita berpikir untuk menjadi seorang pekerja. Tetapi menjadi pekerja itu adalah tingkatan terakhir setelah kita tidak berhasil menjadi wiraswastawan (pengusaha). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Imam Hasan Al-Banna 60 tahun lalu, "Janganlah kalian bercita-cita menjadi pegawai negeri, karena pegawai negeri itu adalah sesempit-sempitnya rezeki. Tetapi kalau ada peluang janganlah engkau sia-siakan".
Acara : Ceramah Ahad
Waktu : Ahad, 11 Januari 2004
Tema : Manajemen Diri
Islam tidak hanya mengatur hubungan ritual dengan Tuhan, tapi juga mengatur seluruh pola tingkah laku manusia dari mulai urusan negara hingga urusan kamar mandi. Kita melihat ada sistem ekonomi Islam, maka tidak mengherankan kalau ada bank berlabel Islam. Kita tidak akan menemukan ada bank berlabel agama lain. Inilah salah satu karakteristik Islam yaitu assyamil wal kamiil, lengkap dan menyeluruh. Islam mengatur semua hal yang berkaitan dengan hidup manusia.
Salah satu bidang yang mendapatkan perhatian cukup besar adalah bidang ekonomi (muamalah). Sayangnya doktrin Islam dalam bidang yang satu ini sudah banyak ditinggalkan oleh umat Islam sendiri. Maka tidak mengherankan apabila kita terpuruk pada saat orang lain berpesta pora. Sekarang kita bisa bertanya?
Mengapa Jepang dan Korea menjadi kaya, begitu pula Singapura, Taiwan dan Amerika? Atau mengapa pula Cina yang berpenduduk sangat banyak memberikan sumbangan kepada Indonesia yang jumlah penduduknya lebih sedikit? Jawabannya ternyata tanpa sadar mereka telah mengamalkan sunnah Rasulullah dalam bisnis (dagang).
Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW bersabda bahwa rezeki yang dibagikan Allah itu terdiri dari dua puluh pintu; sembilan belas pintu untuk para pengusaha dan satu pintu untuk para pekerja. Jadi, sembilan belas pintu rezeki terdapat dalam aktivitas bisnis (dagang). Tanpa kita sadari, dunia yang ada sekarang tengah mengalami perubahan yang sangat mendasar.
Sejak tahun 1989 "tata dunia baru" mulai menggantikan "tata dunia lama" yang ditandai dengan berakhirnya Era Industri. Tak heran bila ada yang mengatakan dunia yang ada sekarang masih sangat muda, baru berumur 15 tahun. Doktrin yang kita dapatkan saat Era Industri adalah doktrin menjadi pegawai. Kita harus giat belajar agar masuk perguruan tinggi ternama dan mendapatkan pekerjaan yang enak dan menjamin.
Sekarang, paradigma semacam ini mulai terbalik. Pekerjaan menjadi sangat sempit, bahkan orang yang sudah bekerja pun terancam PHK atau pensiun dini. Dari kenyataan ini, kita harus mulai berpikir untuk mengembalikan situasi semacam ini kepada sunnah Rasul. Caranya dengan mengubah paradigma berpikir dari menjadi seorang pekerja menjadi seorang wirausahawan.
Bukan sesuatu yang jelek jika kita berpikir untuk menjadi seorang pekerja. Tetapi menjadi pekerja itu adalah tingkatan terakhir setelah kita tidak berhasil menjadi wiraswastawan (pengusaha). Hal ini sesuai dengan apa yang dikatakan Imam Hasan Al-Banna 60 tahun lalu, "Janganlah kalian bercita-cita menjadi pegawai negeri, karena pegawai negeri itu adalah sesempit-sempitnya rezeki. Tetapi kalau ada peluang janganlah engkau sia-siakan".
Acara : Ceramah Ahad
Waktu : Ahad, 11 Januari 2004
Tema : Manajemen Diri
|
| |
Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS Al-Hasyr:
18).
Ayat di atas termasuk salah satu ayat yang sangat populer dalam kaitannya dengan waktu. Kita bisa mengerti karena dalam ayat ke-18 surat Al-Hasyr tersebut terkandung tiga dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Ayat di atas termasuk salah satu ayat yang sangat populer dalam kaitannya dengan waktu. Kita bisa mengerti karena dalam ayat ke-18 surat Al-Hasyr tersebut terkandung tiga dimensi waktu sekaligus, yaitu masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Di luar itu ada beberapa hal yang Allah SWT perintahkan dalam ayat ini.
Pertama, seruan kepada orang beriman agar bertakwa. Orang yang mengaku beriman
kepada Allah tapi tidak melaksanakan kewajibannya, maka ia tidak termasuk
golongan orang bertakwa. Dari sini para ulama mendefinisikan takwa sebagai
kemampuan dalam melaksanakan semua perintah Allah dan menjauhi semua yang
dilarangnya.
Lewat ayat ini, Allah SWT mengingatkan kita agar mampu
mengaplikasikan nilai-nilai keimanan tersebut dalam kehidupan, sehingga kita
termasuk orang bertakwa. Allah SWT berfirman, ''Berbekalah kalian, dan tiada
bekal yang paling baik selain ketakwaan.''
Kedua, perintah untuk mengingat, mengevaluasi, dan menghitung amal yang telah kita lakukan untuk hari esok. Pada kenyataannya, melihat dan mengoreksi kekurangan diri jauh lebih sulit daripada melihat dan mengoreksi kekurangan orang lain. Inilah yang seringkali menggelincirkan manusia pada jurang kehancuran dan permusuhan.
Kedua, perintah untuk mengingat, mengevaluasi, dan menghitung amal yang telah kita lakukan untuk hari esok. Pada kenyataannya, melihat dan mengoreksi kekurangan diri jauh lebih sulit daripada melihat dan mengoreksi kekurangan orang lain. Inilah yang seringkali menggelincirkan manusia pada jurang kehancuran dan permusuhan.
Tak heran bila Allah SWT memerintahkan kita untuk
terus menghisab diri dan melarang kita untuk menghisab kesalahan orang lain.
Semakin intens menghisab diri, maka kita akan semakin tahu kekurangan diri.
Dengan semakin tahu kekurangan diri, maka akan semakin mudah pula kita
memperbaikinya. Idealnya proses menghisab diri dilakukan setiap hari dengan
tidak terpaku pada momentum pergantian tahun.
Kemampuan kita menghisab diri hakikatnya adalah pertolongan Allah. Di luar kemampuan dalam menghisab diri ada hal lain yang lebih penting, yaitu kemampuan menjaga konsistensi aktivitas muhasabah tersebut. Karena itu dalam akhir ayat di atas diungkapkan bahwa bila kita melakukan kesalahan setelah sebelumnya menghisab diri, maka ingatlah bahwa Allah Mengetahui semua yang kita kerjakan.
Kemampuan kita menghisab diri hakikatnya adalah pertolongan Allah. Di luar kemampuan dalam menghisab diri ada hal lain yang lebih penting, yaitu kemampuan menjaga konsistensi aktivitas muhasabah tersebut. Karena itu dalam akhir ayat di atas diungkapkan bahwa bila kita melakukan kesalahan setelah sebelumnya menghisab diri, maka ingatlah bahwa Allah Mengetahui semua yang kita kerjakan.
Rasulullah SAW mengingatkan pada kita betapa pentingnya muhasabah ini. Dalam
sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Rasul mengibaratkan seorang yang
konsisten menghisab diri sebagai orang yang paling pandai.
Sabdanya, ''Orang
yang pandai itu adalah orang yang mampu mengendalikan nafsunya, dan ia
senantiasa beramal untuk kelak setelah kematiannya.'' Selanjutnya, Rasulullah
mengatakan bahwa orang yang bodoh adalah orang yang selalu mengikuti hawa
nafsunya, dan ia selalu berharap kepada Allah tanpa banyak berbuat, tanpa
menyadari, dan bertaubat atas dosa-dosanya.
Dari keterangan di atas alangkah tepatnya apabila kita selalu bertanya setiap kita hendak melakukan sesuatu. Buat apa kamu beramal? Untuk siapa kamu shalat? Untuk apa kamu bersedekah? Adalah sebagian pertanyaan yang layak kita ulang-ulang agar kita tidak terjebak dalam perbuatan yang membatalkan amal.
Dari keterangan di atas alangkah tepatnya apabila kita selalu bertanya setiap kita hendak melakukan sesuatu. Buat apa kamu beramal? Untuk siapa kamu shalat? Untuk apa kamu bersedekah? Adalah sebagian pertanyaan yang layak kita ulang-ulang agar kita tidak terjebak dalam perbuatan yang membatalkan amal.
Ada
sebuah kiasan dalam Bahasa Arab, ''Orang yang memperbanyak hisabannya ketika di
dunia, maka ia akan dipermudah dalam hisabannya di akhirat.''
Sahabat, sungguh
tak terbayangkan betapa sulitnya bila kita harus menghadapi proses hisab di
hadapan Allah, saat kita tidak bisa mengelak sedikit pun dari kesalahan. Karena
itu, betapa bijaksananya kita bila sekarang, saat masih ada wkatu dan kesempatan,
kita senantiasa menghisab diri dan menghitung bekal kita untuk menghadapi hisab
yang sebenarnya di akhirat kelak.
Acara :
Cakrawala Islam
Waktu : Rabu, 25 Februari 2004
Tema : Mutiara Alquran
Waktu : Rabu, 25 Februari 2004
Tema : Mutiara Alquran
|
| |
Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa, (yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan
orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah
menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (QS Ali Imran: 133-134).
Ayat tersebut diawali dengan kata wassyarii'u atau dan bersegeralah yang berbentuk fiil amr (bentuk perintah). Kenapa Allah memerintahkan manusia agar bersegera (dengan bersungguh-sungguh) mendatangi ampunan Allah? Setidaknya ada tiga alasan.
Ayat tersebut diawali dengan kata wassyarii'u atau dan bersegeralah yang berbentuk fiil amr (bentuk perintah). Kenapa Allah memerintahkan manusia agar bersegera (dengan bersungguh-sungguh) mendatangi ampunan Allah? Setidaknya ada tiga alasan.
Pertama, waktu yang dimiliki manusia sangat terbatas berkisar 60
sampai 70 tahun dan Allah hanya akan menerima tobat seseorang sebelum ajalnya
tiba.
Kedua, tidak semua orang mendapatkan ampunan Allah, walau Dia membuka
lebar-lebar pintu tobat bagi hamba-Nya yang berdosa.
Ketiga, tidak semua orang
memiliki kesadaran atau perhatian terhadap arti penting bertobat dan maghfirah
Allah SWT.
Ada satu hal menarik dalam susunan redaksi ayat tersebut bahwa perintah untuk mendapatkan maghfirah Allah diungkapkan lebih dulu daripada perintah untuk mendapatkan surga. Sebab bila kita mendapatkan maghfirah maka otomatis surga pun akan kita raih.
Ada satu hal menarik dalam susunan redaksi ayat tersebut bahwa perintah untuk mendapatkan maghfirah Allah diungkapkan lebih dulu daripada perintah untuk mendapatkan surga. Sebab bila kita mendapatkan maghfirah maka otomatis surga pun akan kita raih.
Jadi, hal pertama dan paling utama kita lakukan sekarang adalah
berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan maghfirah Allah dan bertobat
kepada-Nya. Lalu apa perbedaan antara maghfirah dan tobat? Kedua kata tersebut
pada hakikatnya merujuk pada hal yang sama, yaitu kembali kepada Allah setelah
melakukan dosa.
Secara umum maghfirah berasal dari kata ghafara yang berarti menutupi atau menyembunyikan. Orang Arab berkata, ''Ghafara al-syaib bi al-khidhab'' (ia menyembunyikan ubannya dengan celupan). Jadi, maghfirah dapat diartikan dengan ampunan Allah di mana Allah menutupi dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Cara kita memohon maghfirah Allah disebut istighfar. Dengan istighfar kita meminta kepada Allah agar kita dipelihara dari konsekuensi dosa, dari akibat-akibat dosa, atau dari hal-hal buruk yang terjadi karena dosa tersebut.
Ali bin Abi Thalib berkata, ''Pakailah wewangian istighfar supaya Allah tidak mempermalukan kalian dengan bau busuk dari dosa-dosa kalian.'' Sedangkan, tobat berarti kembali dari perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya kepada perbuatan baik. Setidaknya ada tiga alasan dari keutamaan ber-istighfar.
Secara umum maghfirah berasal dari kata ghafara yang berarti menutupi atau menyembunyikan. Orang Arab berkata, ''Ghafara al-syaib bi al-khidhab'' (ia menyembunyikan ubannya dengan celupan). Jadi, maghfirah dapat diartikan dengan ampunan Allah di mana Allah menutupi dosa-dosa yang pernah kita lakukan. Cara kita memohon maghfirah Allah disebut istighfar. Dengan istighfar kita meminta kepada Allah agar kita dipelihara dari konsekuensi dosa, dari akibat-akibat dosa, atau dari hal-hal buruk yang terjadi karena dosa tersebut.
Ali bin Abi Thalib berkata, ''Pakailah wewangian istighfar supaya Allah tidak mempermalukan kalian dengan bau busuk dari dosa-dosa kalian.'' Sedangkan, tobat berarti kembali dari perbuatan buruk yang pernah dilakukan sebelumnya kepada perbuatan baik. Setidaknya ada tiga alasan dari keutamaan ber-istighfar.
Pertama,
Allah SWT telah memberikan nikmat banyak kepada kita yang harus kita syukuri
karena itu adalah hak Allah.
Karena kemampuan kita untuk mensyukuri nikmat tersebut sangat terbatas, maka
dengan ber-istighfar kepada Allah atas ketidakmaksimalan kita dalam menunaikan
hak-hak Allah tersebut.
Kedua, pada hakikatnya manusia membutuhkan ampunan Allah
karena ia tidak akan pernah luput dari kesalahan.
Ketiga, istighfar merupakan
kebiasaan para nabi dan orang-orang bertakwa. Dalam ayat di atas, Allah SWT
menunjukkan bahwa istighfar merupakan karakteristik terpenting orang bertakwa
dalam meraih ampunan dan surga Allah. Ia didahulukan dari amalan-amalan
pelengkap lainnya, yaitu menafkahkan harta--baik pada saat lapang ataupun sempit,
menahan amarahnya, dan mampu memaafkan kesalahan orang lain. Karena itu tidak
mengherankan bila orang mengatakan bahwa istighfar adalah kunci ibadah kita.
Maka bersegeralah menuju ampunan Allah.
Acara : Cakrawala Islam
Waktu : Rabu, 11 Februari 2004
Tema : Mutiara Alquran
Waktu : Rabu, 11 Februari 2004
Tema : Mutiara Alquran
| ||
Percaya Diri,
gampang diucapkan dan menjadi dambaan setiap insan didunia ini. Akan tetapi
terkadang sulit untuk menumbuhkan rasa itu, pun oleh seorang yang mempunyai
pengalaman dan kelebihan disana sini.
Rasa tidak percaya diri muncul ketika kita
merasa ragu-ragu dalam melakukan suatu perbuatan atau tindakan. Kita merasa bahwa apa
yang akan kita lakukan kurang baik dimata orang lain, atau kita merasa takut
salah dalam melakukan sesuatu. Padahal kekhawatiran kita itu tidak mendasar.
Bisa
jadi perasaan kita mengatakan apa yang kita lakukan kurang baik dimata orang
lain, padahal baik dimata orang lain. Bila kita merasa benar, jangan ragu-ragu untuk
melangkah. Bila apa yang kita lakukan benar tetapi caranya salah, mungkin itu
bagian dari proses kehidupan yang mudah2an dapat mendewasakan kita, dapat
mematangkan kita.
Tidak ada bayi yang lahir langsung bisa berlari, semua harus
melalui tahapan-taapan di mana suatu saat kita akan sampai dipuncak. Kita takut gagal
dalam melakukan sesuatu,padahal kegagalan sesungguhnya adalah tatkala kita tidak
mau mencoba melakukan sesuatu.
Ada beberapa langkah untuk menumbuhkan percaya diri.
Ada beberapa langkah untuk menumbuhkan percaya diri.
Pertama, Kita harus
menyadari bahwa Allah SWT, menciptakan kita berkualitas unggul dan dalam kondisi
terbaik. Dia berfirman, Sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya ( QS.At-tiin:4 ).
Kedua, belajar mensyukuri ni`mat yang Allh berikan
kepada kita.Allah berfirman, Sungguh jika kamu bersyukur, niscaya kami akan
menambah ni`mat kepadamu ( QS.Ibrohim;7 ). Carilah ni`mat Allah yang telah
diberikan kepada kita untuk kita syukuri, karena setiap ni`mat yang disyukuri
akan mendatangkan ni`mat-ni`mat yang lain.
Ketiga, sering-seringlah membaca diri dengan bertanya kepada orang tua, atau bila perlu kepada psikolog untuk mengetahui potensi kemampuan diri.
Ketiga, sering-seringlah membaca diri dengan bertanya kepada orang tua, atau bila perlu kepada psikolog untuk mengetahui potensi kemampuan diri.
Keempat, seringlah
bertemu atau membaca biografi orang-orang sukses. Bertemu atau membaca
kisah-kisah mereka
akan menumbuhkan semangat. Semakin banyak input dari orang-orang yang berhasil bangkit
dari keterpurukan Insya Allah akan melahirkan inspirasi bagi kita. Kita ambil
contoh Rasulullah SAW, bagaimana seorang anak yatim piatu bisa menjadi seorang
pengusaha sukses sekaligus pemimpin umat.
Kelima, mulai perbaiki pergaulan. Bergaul dengan orang-orang yang percaya diri akan berbeda dibandingkan dengan bergaul dengan orang-orang gagal. Bergaul dengan orang-orang yang percaya diri, niscaya semangatnya akan menular pada diri kita.Jadi, salah dalam memilih teman, salah dalam memilih pergaulan, sama artinya dengan salah dalam memompa kemampuan kita.
Keenam, do it now, lakukan sekarang juga. Setiap kali bertambah pengalaman, maka akan bertambah pula rasa pede kita. Berpidato misalnya, percaya diri akan meningkat ketika kita sudah mencobanya.
Kelima, mulai perbaiki pergaulan. Bergaul dengan orang-orang yang percaya diri akan berbeda dibandingkan dengan bergaul dengan orang-orang gagal. Bergaul dengan orang-orang yang percaya diri, niscaya semangatnya akan menular pada diri kita.Jadi, salah dalam memilih teman, salah dalam memilih pergaulan, sama artinya dengan salah dalam memompa kemampuan kita.
Keenam, do it now, lakukan sekarang juga. Setiap kali bertambah pengalaman, maka akan bertambah pula rasa pede kita. Berpidato misalnya, percaya diri akan meningkat ketika kita sudah mencobanya.
Terakhir, rasa percaya diri akan
bertambah dengan memperbaiki ibadah dan memperbanyak doa. Ibadah akan
mendatangkan pertolongan Allah. Semakin kokoh ibadah, maka akan semakin kuat doa
dan keyakinan kita pada Allah.Sehingga, Allah pun pasti akan membukakan jalan
keluar atas setiap masalah yang dihadapi.
Meraih Sukses dengan
Optimalisasi Waktu
TAHUN 2003 baru
saja berlalu dan 2004 tengah menjelang kita. Bagi seorang Muslim tidak ada yang
beda dalam pergantian tahun. Yang harus beda adalah sejauh mana diri kita
semakin baik dari waktu ke waktu. Memang, pergantian tahun sangat baik untuk
dijadikan introspeksi diri.
Tapi alangkah lebih baik pula bila kita selalu melakukan introspeksi setiap hari, bahkan setiap saat. Waktu memiliki karakteristik yang unik. Ia adalah misteri kehidupan ini, yang terekam dalam tik-tok jam, tercatat dalam buku harian, atau terhitung dalam kalender tahunan.
Sebagai makhluk ciptaan-Nya waktu ternyata memiliki tabiat tersendiri, waktu adalah terpendek karena tak pernah cukup menyelesaikan tugas hidup. Waktu adalah terpanjang karena ia adalah ukuran keabadian. Waktu akan berlalu cepat bagi mereka yang bersuka cita. Waktu berjalan sangat lambat bagi yang dirundung derita.
Waktu adalah saksi sejarah yang akan membeberkan segala kehinaan dan kenistaan yang kita lakukan. Maka, suatu kerugian yang sangat besar bila seorang hamba tidak dapat memanfaatkan waktunya dengan sangat baik dan optimal.
Allah berfirman, Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran [QS. Al-Ashr: 1-3].
Dari surat ini kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa sukses tidaknya seseorang sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Ada dua hal yang perlu kita lakukan agar memiliki keunggulan dalam hidup ini, yaitu:
a. Waktu boleh sama tapi isi harus beda.
Tapi alangkah lebih baik pula bila kita selalu melakukan introspeksi setiap hari, bahkan setiap saat. Waktu memiliki karakteristik yang unik. Ia adalah misteri kehidupan ini, yang terekam dalam tik-tok jam, tercatat dalam buku harian, atau terhitung dalam kalender tahunan.
Sebagai makhluk ciptaan-Nya waktu ternyata memiliki tabiat tersendiri, waktu adalah terpendek karena tak pernah cukup menyelesaikan tugas hidup. Waktu adalah terpanjang karena ia adalah ukuran keabadian. Waktu akan berlalu cepat bagi mereka yang bersuka cita. Waktu berjalan sangat lambat bagi yang dirundung derita.
Waktu adalah saksi sejarah yang akan membeberkan segala kehinaan dan kenistaan yang kita lakukan. Maka, suatu kerugian yang sangat besar bila seorang hamba tidak dapat memanfaatkan waktunya dengan sangat baik dan optimal.
Allah berfirman, Demi waktu, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan saling nasehat-menasehati dalam menetapi kebenaran dan nasehat-menasehati dalam menetapi kesabaran [QS. Al-Ashr: 1-3].
Dari surat ini kita dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa sukses tidaknya seseorang sangat ditentukan oleh sejauh mana ia mampu memanfaatkan waktu yang dimilikinya. Ada dua hal yang perlu kita lakukan agar memiliki keunggulan dalam hidup ini, yaitu:
a. Waktu boleh sama tapi isi harus beda.
Islam sangat menghargai waktu. Allah SWT berkali-kali bersumpah dalam AIquran
berkaitan dengan waktu. Wal 'ashri (Demi waktu), Wadh-dhuha (Demi waktu dhuha),
Wal-lail (Demi waktu malam), dan lainnya.
Allah juga sangat menyukai orang yang shalat lima waktu dengan tepat waktu, memuliakan sepertiga malam sebagai waktu mustajabnya doa, dan waktu dhuha sebagai waktu yang disukai-Nya. Maka, sangat beruntunglah orang-orang yang mengisi waktunya efektif hanya dengan mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya.
Allah SWT. berfirman dalam sebuah hadits qudsi, yang artinya, "Pada setiap fajar ada dua malaikat yang berseru-seru: 'Wahai Anak Adam aku adalah hari yang baru, dan aku datang untuk menyaksikan amalan kamu. Oleh sebab itu manfaatkanlah aku sebaik-baiknya. Karena aku tidak kembali lagi sehingga hari pengadilan" (HR. Turmudzi).
b. Sekarang harus lebih baik daripada kemarin.
Allah juga sangat menyukai orang yang shalat lima waktu dengan tepat waktu, memuliakan sepertiga malam sebagai waktu mustajabnya doa, dan waktu dhuha sebagai waktu yang disukai-Nya. Maka, sangat beruntunglah orang-orang yang mengisi waktunya efektif hanya dengan mempersembahkan yang terbaik kepada-Nya.
Allah SWT. berfirman dalam sebuah hadits qudsi, yang artinya, "Pada setiap fajar ada dua malaikat yang berseru-seru: 'Wahai Anak Adam aku adalah hari yang baru, dan aku datang untuk menyaksikan amalan kamu. Oleh sebab itu manfaatkanlah aku sebaik-baiknya. Karena aku tidak kembali lagi sehingga hari pengadilan" (HR. Turmudzi).
b. Sekarang harus lebih baik daripada kemarin.
Orang yang bodoh adalah orang
yang diberi modal (waktu), dan ia menghamburkan modal tersebut sia-siakan.
Padahal, andaikata hari ini sama dengan hari kemarin berarti kecepatan kita sama,
tak ada peningkatan sehingga tak akan pernah bisa menyusul siapapun.
Andaikata orang lain selalu meningkat, maka kita akan tertinggal dan jadi pecundang. Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan sabdanya, "Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia termasuk orang-orang yang merugi" (HR. Dailami).
Maka, satu-satunya pilihan adalah hari ini harus lebih baik dari kemarin, bahkan kalau bisa, sekarang ini harus lebih baik daripada kemarin dalam hal apapun. Karena itu, kita harus bertekad bahwa 2004 adalah tahun prestasi, tahun di mana waktu kita bisa optimal.
Andaikata orang lain selalu meningkat, maka kita akan tertinggal dan jadi pecundang. Rasulullah SAW mengingatkan kita dengan sabdanya, "Barangsiapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka dia termasuk orang-orang yang merugi" (HR. Dailami).
Maka, satu-satunya pilihan adalah hari ini harus lebih baik dari kemarin, bahkan kalau bisa, sekarang ini harus lebih baik daripada kemarin dalam hal apapun. Karena itu, kita harus bertekad bahwa 2004 adalah tahun prestasi, tahun di mana waktu kita bisa optimal.
Acara : Ceramah Pagi, 2 Januari 2004
Tema
: Manajemen Diri .
| ||
Suatu ketika
Umar bin Khathab bertanya pada Ubay bin Ka'ab tentang makna takwa.
Katanya, ''Pernahkah
engkau berjalan di jalan yang penuh duri?''
Ubay menganggukkan kepala.
''Apa
yang engkau lakukan?'' lanjut Umar.
''Tentu saja aku sangat berhati-hati,''
balas Ubay.
''Demikian itulah yang disebut takwa,'' ucap Umar.
Ucapan Umar bin Khathab ra tersebut mengilustrasikan makna takwa sebagai kehati-hatian dalam pengertian agar tidak terjebak pada hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
Ucapan Umar bin Khathab ra tersebut mengilustrasikan makna takwa sebagai kehati-hatian dalam pengertian agar tidak terjebak pada hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya).
Sikap berhati-hati ini hanyalah satu saja dari makna
takwa itu sendiri. Kata takwa sejatinya terambil dari akar kata waqa-yaqi yang
bermakna menjaga (melindungi) dari bencana atau sesuatu yang menyakitkan.
Ada juga yang berpendapat bahwa takwa teradopsi dari akar kata waqwa yang berarti terhalang. Karena itu ada sebuah ungkapan dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa orang yang bertakwa itu mampu mengendalikan dirinya. Ungkapan ini secara tidak langsung mengandung arti kehati-hatian. Dalam Alquran kata takwa dalam bentuk perintah terulang sebanyak 69 kali. Ada empat hal dalam Alquran di mana kita diperintahkan untuk bertakwa kepadanya.
Pertama, bertakwa kepada Allah.
Ada juga yang berpendapat bahwa takwa teradopsi dari akar kata waqwa yang berarti terhalang. Karena itu ada sebuah ungkapan dari Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa orang yang bertakwa itu mampu mengendalikan dirinya. Ungkapan ini secara tidak langsung mengandung arti kehati-hatian. Dalam Alquran kata takwa dalam bentuk perintah terulang sebanyak 69 kali. Ada empat hal dalam Alquran di mana kita diperintahkan untuk bertakwa kepadanya.
Pertama, bertakwa kepada Allah.
Inilah perintah takwa yang paling banyak
diulang-ulang dengan redaksi ittaqu Allah. Caranya dengan menjalankan segala
yang perintah Allah dan menjauhi semua yang dilarangnya. Termasuk pula
menjalankan ritual ibadah dengan cara yang benar dan niat yang ikhlas. Dalam
surat Ali Imran ayat 103 disebutkan, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah
kepada Allah dengan sebanar-benarnya takwa, dan janganlah kamu mati melainkan
dalam keadaan beragama Islam''.
Kedua, bertakwa dari api neraka dan hari pembalasan.
Kedua, bertakwa dari api neraka dan hari pembalasan.
Aplikasi dari perintah
takwa yang kedua ini adalah dengan berusaha semaksimal mungkin untuk menjauhi
segala kemaksiatan agar kita tidak terjerumus ke dalam neraka (dunia akhirat).
Allah SWT berfirman, ''Maka jika kamu tidak dapat membuat (Alquran) dan pasti
kamu tidak dapat membuat(nya), peliharalah (bertakwalah) dirimu dari neraka yang
bahan bakarnya manusia dan batu, yang disediakan bagi orang-orang kafir (QS Al-Baqarah:
24)''.
Ketiga, bertakwa dari kezaliman.
Ketiga, bertakwa dari kezaliman.
Allah SWT memerintahkan, ''Dan peliharalah
dirimu (bertakwa) dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang zalim saja
di antara kamu (QS. Al-Anfal: 25)''.
Aplikasinya kita diperintahkan untuk
berlaku adil dan menegakkan keadilan di mana pun kita berada.
''Janganlah sekali-kali
kebencianmu terhadap satu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat pada takwa" (QS. Al-Maidah: 5).
Keempat,
bertakwa untuk menyambungkan tali silaturahmi.
Ada beberapa ayat Alquran yang mengaitkan antara silaturahmi dengan kualitas ketakwaan. Salah satunya tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 180 :
Ada beberapa ayat Alquran yang mengaitkan antara silaturahmi dengan kualitas ketakwaan. Salah satunya tercantum dalam surat Al-Baqarah ayat 180 :
''Diwajibkan
atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika
ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib
kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa''.
Kewajiban untuk menyambungkan silaturahmi sebagai cerminan ketakwaan diungkapkan pula secara panjang lebar dalam ayat pertama surat An-Nisaa.
Kewajiban untuk menyambungkan silaturahmi sebagai cerminan ketakwaan diungkapkan pula secara panjang lebar dalam ayat pertama surat An-Nisaa.
Wallahu a'lam
bish-shawab.
Acara : Cakrawala Islam
Waktu : Senin, 5 Januari 2004
Tema : Manajemen Diri
Waktu : Senin, 5 Januari 2004
Tema : Manajemen Diri
| ||
Setiap kali memasuki tahun baru Hijriyah, umat Islam biasanya bernostalgia
dengan peristiwa hijrahnya kaum Muslimin dari Mekah ke Madinah. Pada hari ke-9
bulan Muharram 1425 H ini, kiranya masih aktual jika kita merenungkan kembali
arti penting ukhuwah Islamiyah, sebagai salah satu pelajaran berharga dari
rangkaian peristiwa yang terjadi dalam peristiwa hijrah tersebut. Tema ukhuwah
juga sangat kontekstual utamanya karena saat ini kita menghadapi pesta demokrasi
pemilihan umum, ketika kita menentukan figur-figur pemimpin di berbagai
tingkatan. Semangat ukhuwah tidak saja akan menjadikan umat kompak, solid, dan
saling tolong dalam kebaikan dan takwa (ta'awanu 'alal birri wattaqwa), tapi
juga akan mengikis habis fanatisme kelompok (hizbiyah) yang merupakan sumber
konflik horisontal antar umat.
Dengan semangat ukhuwah, umat Islam akan mengesampingkan perbedaan yang sifatnya cabang (furu'iyah), misalnya perbedaan organisasi perjuangan karena kelompok atau partai hanyalah sarana perjuangan dan serempak bergerak menuju ke satu titik: izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Mengedepankan perbedaan yang tidak prinsipil hanya akan merusak semangat ukhuwah, menguras energi, dan melemahkan kekuatan umat secara keseluruhan.
Umat hendaknya meneladani eratnya jalinan ukhuwah Islamiyah antara Kaum Muhajirin (umat Islam asal Makkah) dan Kaum Anshar (Muslimin Madinah). Mereka telah memperlihatkan idealisme sebuah ukhuwah Islamiyah. Betapa kesatuan akidah Islam menjalinkan kesatuan hati dan jiwa umat, melahirkan ikatan persaudaraan yang erat dan mesra. Persaudaran terjalin oleh rasa kasih-sayang, senasib-sepenanggungan, sehingga mengikis habis penyakit-penyakit fir'aunisme, feodalisme, individualisme, dan lainnya.
Mereka memanifestasikan apa yang disabdakan Nabi SAW, ''Sesama orang mukmin itu bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan'' (HR. Bukhari), serta ''Orang Muslim ialah yang menyelamatkan kaum Muslim dari (kejahatan) lisannya dan tangannya. Dan Muhajir itu ialah siapa yang m meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah'' (HR Muslim). Ikatan persaudaraan Muhajirin dan Anshar atas dasar kesamaan akidah Islamiyah menghasilkan kesatuan masyarakat Islam yang kokoh di Madinah. Diwarnai rasa persaudaran dan toleransi terhadap umat lain, berasaskan persamaan, dan prinsip kesatuan umat atau wahdatul ummah (QS Al-Mukminun: 52), masyarakat Islam di Madinah berubah menjadi komunitas politik yang membentuk daulah Islamiyah yang sangat kuat.
Terbentuknya daulah Islamiyah yang kuat dari buah eratnya jalinan ukhuwah itu merupakan awal kebangkitan Islam saat itu. Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Umat Islam mampu mengahadapi genderang perang yang ditabuh kaum kafir. Mekah dapat ditaklukkan, disusul dengan penaklukkan daerah-daerah lain di sekitarnya. Dalam waktu singkat, sebagian besar warga Jazirah Arab memeluk Islam karena kesadaran sendiri akan indahnya Islam. Islam kemudian bersinar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dunia Islam mengalami masa kejayaan, mulai dari masa pemerintahan daulah Islamiyah dengan kepemimpinan langsung Nabi Muhammad Saw di Madinah, era Khulafaur Rasyidin, Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, hingga Khilafah Bani Utsmaniyah dengan pusat pemerintahan di Turki.
Seperti tercantum dalam Alquran, kejayaan akan dipergilirkan di antara umat manusia (QS 3: 140), kejayaan umat Islam pun berakhir, dengan keruntuhan Khilafah Utsmaniyah (1924 M). Salah satu faktor utamanya adalah kepemimpinan yang lemah dan retaknya ukhuwah Islamiyah akibat penyusupan ideologi nasionalisme dan sukuisme. Keruntuhan khilafah Islam itu pun membawa kemunduran dan tenggelamnya umat Islam di pentas dunia. Ketika khilafah Islam terakhir itu jatuh dengan diubahnya Turki menjadi sebuah negara republik ala Barat, maka persatuan dan kekuatan umat Islam praktis lumpuh. Saat ini umat Islam kembali kepada masa awal kelahiran Islam: berada di posisi lemah, dimusuhi, dan diasingkan oleh mereka yang tidak menyukai Islam (QS 2: 120).
Untuk merealisasikan kebangkitan kembali kejayaan Islam yang terpuruk itu umat dapat merujuk pada sejarah Islam, utamanya peristiwa hijrah yang merupakan struggle for existence, yaitu melakukan pembinaan generasi ukhuwah. Untuk bangkit umat Islam harus bersatu-padu dalam ikatan ukhuwah Islamiyah, memantapkan akidah dan pengamalan syariat Islam, serta memiliki spirit tolong-menolong (ta'awun), sebagaimana Nabi SAW melakukannya dengan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Ukhuwah Islamiyah harus dibangun dengan berpedoman pada asas-asas wahdatul ummah, yaitu tauhidullah (keyakinan akan keesaan Tuhan), musawah (persamaan kedudukan sebagai hamba Allah), musyawarah, ta'awun, toleransi, jihad, dan semangat berlomba dalam kebaikan.
Salah satu agenda penting dalam pembinaan ukhuwah ini adalah masalah perbedaan pendapat (khilafiyah) yang menjadi sumber utama keretakan. Yang menjadi masalah bukan perbedaannya itu sendiri, namun bagaimana menyikapinya dengan baik dan benar. Pasalnya, perbedaan pendapat di kalangan umat merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan (QS Hud: 118-119). Pada masa Nabi SAW, para sahabat juga sering berbeda pendapat, namun tidak membuat mereka saling bermusuhan. Watak para sahabat pun beragam, misalnya Abu Bakar yang lembut dan Umar bin Khattab yang galak, tapi tidak membuat mereka saling membenci. Semua watak dicelup dengan shibghoh Islam sehingga mengarahkannya kepada keridhaan Allah dan tegaknya syiar Islam.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi (1993), perbedaan pendapat selalu ada dalam tabiat manusia. Namun, perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap toleran, wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan pandangan. Tidak kalah pentingnya dalam menyikapi perbedaan pendapat adalah bersikap toleran atau menghargai pendapat orang lain, berlapang dada (tasamuh) jika argumentasi pendapat kita lemah, serta tidak merasa paling benar, apalagi sampai menyalahkan pendapat yang lain. Merasa diri atau kelompok paling benar, lalu menganggap yang lain salah, bisa menjerumuskan kita pada dosa syirik yang tidak terampuni di akhirat kelak. Kebenaran sepenuhnya milik Allah SWT. Dia yang paling berhak menentukan mana yang benar dan salah. Mari kita saling mengingatkan, berbagi ilmu dan pengalaman, saling menghargai, dan berjuang serempak demi kejayaan agama Allah, demi kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam.
Dengan semangat ukhuwah, umat Islam akan mengesampingkan perbedaan yang sifatnya cabang (furu'iyah), misalnya perbedaan organisasi perjuangan karena kelompok atau partai hanyalah sarana perjuangan dan serempak bergerak menuju ke satu titik: izzul Islam wal Muslimin, kejayaan Islam dan kaum Muslimin. Mengedepankan perbedaan yang tidak prinsipil hanya akan merusak semangat ukhuwah, menguras energi, dan melemahkan kekuatan umat secara keseluruhan.
Umat hendaknya meneladani eratnya jalinan ukhuwah Islamiyah antara Kaum Muhajirin (umat Islam asal Makkah) dan Kaum Anshar (Muslimin Madinah). Mereka telah memperlihatkan idealisme sebuah ukhuwah Islamiyah. Betapa kesatuan akidah Islam menjalinkan kesatuan hati dan jiwa umat, melahirkan ikatan persaudaraan yang erat dan mesra. Persaudaran terjalin oleh rasa kasih-sayang, senasib-sepenanggungan, sehingga mengikis habis penyakit-penyakit fir'aunisme, feodalisme, individualisme, dan lainnya.
Mereka memanifestasikan apa yang disabdakan Nabi SAW, ''Sesama orang mukmin itu bagaikan satu bangunan yang saling menguatkan'' (HR. Bukhari), serta ''Orang Muslim ialah yang menyelamatkan kaum Muslim dari (kejahatan) lisannya dan tangannya. Dan Muhajir itu ialah siapa yang m meninggalkan apa-apa yang dilarang Allah'' (HR Muslim). Ikatan persaudaraan Muhajirin dan Anshar atas dasar kesamaan akidah Islamiyah menghasilkan kesatuan masyarakat Islam yang kokoh di Madinah. Diwarnai rasa persaudaran dan toleransi terhadap umat lain, berasaskan persamaan, dan prinsip kesatuan umat atau wahdatul ummah (QS Al-Mukminun: 52), masyarakat Islam di Madinah berubah menjadi komunitas politik yang membentuk daulah Islamiyah yang sangat kuat.
Terbentuknya daulah Islamiyah yang kuat dari buah eratnya jalinan ukhuwah itu merupakan awal kebangkitan Islam saat itu. Jalinan ukhuwah yang menciptakan integrasi umat Islam yang sangat kokoh itu telah membawa Islam mencapai kejayaan dan mengembangkan sayapnya ke berbagai penjuru bumi. Umat Islam mampu mengahadapi genderang perang yang ditabuh kaum kafir. Mekah dapat ditaklukkan, disusul dengan penaklukkan daerah-daerah lain di sekitarnya. Dalam waktu singkat, sebagian besar warga Jazirah Arab memeluk Islam karena kesadaran sendiri akan indahnya Islam. Islam kemudian bersinar menjadi rahmat bagi seluruh alam. Dunia Islam mengalami masa kejayaan, mulai dari masa pemerintahan daulah Islamiyah dengan kepemimpinan langsung Nabi Muhammad Saw di Madinah, era Khulafaur Rasyidin, Khilafah Bani Umayah, Khilafah Bani Abbasiyah, hingga Khilafah Bani Utsmaniyah dengan pusat pemerintahan di Turki.
Seperti tercantum dalam Alquran, kejayaan akan dipergilirkan di antara umat manusia (QS 3: 140), kejayaan umat Islam pun berakhir, dengan keruntuhan Khilafah Utsmaniyah (1924 M). Salah satu faktor utamanya adalah kepemimpinan yang lemah dan retaknya ukhuwah Islamiyah akibat penyusupan ideologi nasionalisme dan sukuisme. Keruntuhan khilafah Islam itu pun membawa kemunduran dan tenggelamnya umat Islam di pentas dunia. Ketika khilafah Islam terakhir itu jatuh dengan diubahnya Turki menjadi sebuah negara republik ala Barat, maka persatuan dan kekuatan umat Islam praktis lumpuh. Saat ini umat Islam kembali kepada masa awal kelahiran Islam: berada di posisi lemah, dimusuhi, dan diasingkan oleh mereka yang tidak menyukai Islam (QS 2: 120).
Untuk merealisasikan kebangkitan kembali kejayaan Islam yang terpuruk itu umat dapat merujuk pada sejarah Islam, utamanya peristiwa hijrah yang merupakan struggle for existence, yaitu melakukan pembinaan generasi ukhuwah. Untuk bangkit umat Islam harus bersatu-padu dalam ikatan ukhuwah Islamiyah, memantapkan akidah dan pengamalan syariat Islam, serta memiliki spirit tolong-menolong (ta'awun), sebagaimana Nabi SAW melakukannya dengan mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar. Ukhuwah Islamiyah harus dibangun dengan berpedoman pada asas-asas wahdatul ummah, yaitu tauhidullah (keyakinan akan keesaan Tuhan), musawah (persamaan kedudukan sebagai hamba Allah), musyawarah, ta'awun, toleransi, jihad, dan semangat berlomba dalam kebaikan.
Salah satu agenda penting dalam pembinaan ukhuwah ini adalah masalah perbedaan pendapat (khilafiyah) yang menjadi sumber utama keretakan. Yang menjadi masalah bukan perbedaannya itu sendiri, namun bagaimana menyikapinya dengan baik dan benar. Pasalnya, perbedaan pendapat di kalangan umat merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan (QS Hud: 118-119). Pada masa Nabi SAW, para sahabat juga sering berbeda pendapat, namun tidak membuat mereka saling bermusuhan. Watak para sahabat pun beragam, misalnya Abu Bakar yang lembut dan Umar bin Khattab yang galak, tapi tidak membuat mereka saling membenci. Semua watak dicelup dengan shibghoh Islam sehingga mengarahkannya kepada keridhaan Allah dan tegaknya syiar Islam.
Menurut Yusuf Al-Qardhawi (1993), perbedaan pendapat selalu ada dalam tabiat manusia. Namun, perbedaan pendapat pada dasarnya tidak berbahaya, selama diiringi dengan sikap toleran, wawasan yang luas, serta bebas dari fanatisme atau kepicikan pandangan. Tidak kalah pentingnya dalam menyikapi perbedaan pendapat adalah bersikap toleran atau menghargai pendapat orang lain, berlapang dada (tasamuh) jika argumentasi pendapat kita lemah, serta tidak merasa paling benar, apalagi sampai menyalahkan pendapat yang lain. Merasa diri atau kelompok paling benar, lalu menganggap yang lain salah, bisa menjerumuskan kita pada dosa syirik yang tidak terampuni di akhirat kelak. Kebenaran sepenuhnya milik Allah SWT. Dia yang paling berhak menentukan mana yang benar dan salah. Mari kita saling mengingatkan, berbagi ilmu dan pengalaman, saling menghargai, dan berjuang serempak demi kejayaan agama Allah, demi kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Wallahu a'lam.
''Bertakwalah
kepada Allah di mana saja kamu berada, tutupilah keburukan dengan kebaikan
niscaya akan menghapuskannya dan bergaulah dengan manusia dengan akhlak yang
baik'' (HR At-Tirmidzi).
Ada tiga hal yang diperintahkan oleh Rasulullah, yaitu
bertakwa di manapun dan dalam kondisi apapun, mengikutkan kebaikan setelah
keburukan, dan bergaul dengan sesama dengan akhlak yang baik.
Pertama, bertakwa
kepada Allah SWT di manapun dan dalam kondisi apapun.
Allah SWT berfirman, ''Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah (dengan)
sebenar-benarnya takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam
keadaan beragama Islam'' (QS Ali Imran: 102).
Jangka waktu kita bertakwa adalah
sampai ajal menjemput sehingga kita tidak boleh melewatkan satu detik pun
kecuali diisi dengan ketakwaan. Pemahaman ini sangat penting untuk ditanamkan
dalam jiwa. Inilah kunci keselamatan seorang manusia.
Sebagaimana dikatakan seorang bijak, ''Jika kamu sedang sendiri maka jagalah kalbumu, jika kamu berada di tengah-tengah orang maka jagalah lisanmu, jika kamu berada di hadapan meja makan maka jagalah perutmu, dan jika kamu berada di jalanan maka jagalah matamu, karena itulah kunci keselamatan.''
Sebagaimana dikatakan seorang bijak, ''Jika kamu sedang sendiri maka jagalah kalbumu, jika kamu berada di tengah-tengah orang maka jagalah lisanmu, jika kamu berada di hadapan meja makan maka jagalah perutmu, dan jika kamu berada di jalanan maka jagalah matamu, karena itulah kunci keselamatan.''
Pada hakikatnya
menjaga kalbu, panca indera, dan anggota badan lainnya adalah manifestasi dari
ketakwaan, manifestasi dari sikap malu, dan perasaan ditatap Allah SWT.
Kedua, kita harus mengikutkan kebaikan pada keburukan yang pernah dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa kita 'tidak perlu takut berbuat dosa'. Rasulullah menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kecenderungan berbuat salah dan lupa. Kesalahan dan sikap lupa menjadi dua hal pasti yang akan menimpa manusia. Sesuci apapun manusia, pasti sekali dua kali ia pernah melakukan kesalahan.
Walaupun demikian sangat tidak tepat bila kita menjadikannya sebagai alat justifikasi dalam melakukan dosa. Kita tidak perlu khawatir berbuat salah, tapi kita harus khawatir bila kita berbuat salah dan kita tidak berkesempatan memperbaikinya. Karena itu yang harus senantiasa kita pikirkan adalah bagaimana caranya agar kita dapat berbuat kebaikan, karena kebaikan-kebaikan itulah yang dipastikan akan menghapuskan dosa-dosa kita. Pantas bila Rasulullah SAW memerintahkan agar kita mengikutkan kebaikan setelah berbuat kesalahan.
Kebaikan yang menjadi prioritas pertama dapat menghapuskan keburukan dan dosa adalah dengan memperbanyak istighfar. Kebaikan dari istighfar, yaitu tanda pengakuan kita kepada Allah sebagai hamba yang banyak dosa, agar dosa tersebut tidak sampai menghalangi kasih sayang dan pertolongan Allah, dan agar dosa yang kita lakukan tersebut tidak menghalangi kita dari melakukan perbuatan-perbuatan baik di kemudian hari. Ketiga, hendaklah kita bergaul dengan manusia secara baik.
Poin terakhir ini sangat erat kaitannya dengan akhlak yang didefinisikan sebagai respons spontan terhadap kejadian. Akhlak yang baik adalah kunci sukses dalam bergaul. Dengan akhlak yang baik kita akan menempatkan orang lain dalam posisi yang proporsional dan baik pula. Ketika kita melihat orang berbuat munkar, maka respons positif kita adalah berbuat inkarul munkar dengan cara mengingatkannya. Ketika sedang makan, maka kita tidak berlebihan dalam memakannya. Ketika melihat wanita cantik tapi bukan muhrim, maka kita menundukkan pandangan. Insya Allah, bila setiap respons yang kita berikan selalu baik, maka insya Allah kita pun akan mendapatkan kebaikan pula.
Kedua, kita harus mengikutkan kebaikan pada keburukan yang pernah dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa kita 'tidak perlu takut berbuat dosa'. Rasulullah menyebutkan bahwa manusia merupakan makhluk yang memiliki kecenderungan berbuat salah dan lupa. Kesalahan dan sikap lupa menjadi dua hal pasti yang akan menimpa manusia. Sesuci apapun manusia, pasti sekali dua kali ia pernah melakukan kesalahan.
Walaupun demikian sangat tidak tepat bila kita menjadikannya sebagai alat justifikasi dalam melakukan dosa. Kita tidak perlu khawatir berbuat salah, tapi kita harus khawatir bila kita berbuat salah dan kita tidak berkesempatan memperbaikinya. Karena itu yang harus senantiasa kita pikirkan adalah bagaimana caranya agar kita dapat berbuat kebaikan, karena kebaikan-kebaikan itulah yang dipastikan akan menghapuskan dosa-dosa kita. Pantas bila Rasulullah SAW memerintahkan agar kita mengikutkan kebaikan setelah berbuat kesalahan.
Kebaikan yang menjadi prioritas pertama dapat menghapuskan keburukan dan dosa adalah dengan memperbanyak istighfar. Kebaikan dari istighfar, yaitu tanda pengakuan kita kepada Allah sebagai hamba yang banyak dosa, agar dosa tersebut tidak sampai menghalangi kasih sayang dan pertolongan Allah, dan agar dosa yang kita lakukan tersebut tidak menghalangi kita dari melakukan perbuatan-perbuatan baik di kemudian hari. Ketiga, hendaklah kita bergaul dengan manusia secara baik.
Poin terakhir ini sangat erat kaitannya dengan akhlak yang didefinisikan sebagai respons spontan terhadap kejadian. Akhlak yang baik adalah kunci sukses dalam bergaul. Dengan akhlak yang baik kita akan menempatkan orang lain dalam posisi yang proporsional dan baik pula. Ketika kita melihat orang berbuat munkar, maka respons positif kita adalah berbuat inkarul munkar dengan cara mengingatkannya. Ketika sedang makan, maka kita tidak berlebihan dalam memakannya. Ketika melihat wanita cantik tapi bukan muhrim, maka kita menundukkan pandangan. Insya Allah, bila setiap respons yang kita berikan selalu baik, maka insya Allah kita pun akan mendapatkan kebaikan pula.
Wallahu a'lam bish-shawab.
|
||
"Maukah kalian
aku kasih berita tentang dosa apa yang paling besar?"
Para sahabat berkata, 'Tentu
saja ya Rasulullah'.
Kemudian Rasulullah melanjutkan pembicaraannya, 'Mempersekutukan
Allah, kemudian durhaka kepada orangtua, dan janji palsu. (HR. Bukhari, Muslim,
dan Ahmad dari Abu Bakrah).
Penjelasan:
Hadis ini mengungkapkan bahwa ada tiga macam dosa besar yang harus kita hindari, yaitu mempersekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, dan janji palsu (kata-kata dusta). Secara eksplisit hadis ini lebih menekankan dosa yang ketiga, yaitu janji palsu.
Penjelasan:
Hadis ini mengungkapkan bahwa ada tiga macam dosa besar yang harus kita hindari, yaitu mempersekutukan Allah, durhaka kepada orangtua, dan janji palsu (kata-kata dusta). Secara eksplisit hadis ini lebih menekankan dosa yang ketiga, yaitu janji palsu.
Mengapa demikian? Diriwayatkan, ketika Rasulullah mengatakan dosa
pertama dan kedua beliau mengatakannya dalam posisi berdiri sambil bersandar,
kemudian beliau duduk dan mengatakan, "janji palsu" berulang-ulang.
Pertama, mempersekutukan Allah. Sudah sangat jelas bagi kita bahwa mempersekutukan Allah adalah rajanya dosa, dan orang yang melakukannya tidak akan mendapatkan ampunan Allah hingga ia benar-benar kembali pada Allah. Sebagaimana Allah SWT firmankan dalam surat Lukman ayat 13 : "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar".
Pertama, mempersekutukan Allah. Sudah sangat jelas bagi kita bahwa mempersekutukan Allah adalah rajanya dosa, dan orang yang melakukannya tidak akan mendapatkan ampunan Allah hingga ia benar-benar kembali pada Allah. Sebagaimana Allah SWT firmankan dalam surat Lukman ayat 13 : "Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kedzaliman yang besar".
Ayat ini
diperkuat dengan sebuah hadis dari Ibnu Mas'ud, di mana Rasulullah mengatakan
bahwa dosa paling besar di sisi Allah adalah menjadikan sesuatu sebagai
tandingan-Nya, padahal engkau tahu bahwa Allah-lah yang menciptakanmu.
Kedua, durhaka kepada orangtua. Ditempatkannya durhaka kepada orangtua sebagai dosa besar setelah mempersekutukan Allah terasa sangat pantas sekali karena dalam Alquran berbakti kepada Allah selalu digandengkan dengan berbakti kepada orangtua. Allah bersabda, Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu (QS. Lukman: 14). Bahkan dalam satu keterangan disebutkan tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dengan tidak mempersekutukannya dan untuk berbakti kepada orangtua.
Andai kita cermati ayat-ayat yang berkaitan dengan kewajiban untuk berbakti kepada orangtua, maka kita akan menemui perintah untuk memberikan perlakukan terbaik bagi mereka. Sampai-sampai kita dilarang untuk mengatakan uf, ah, atau sejenisnya. Bahkan kita pun diharuskan tetap berbuat baik kepada mereka walaupun mereka mempersekutukan Allah (QS. Lukman: 15).
Ketiga, janji palsu. Rasulullah mengulang-ulang kata ini sampai tiga kali. Menurut para ahli hadis pengulangan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa mengingkari janji termasuk dosa yang sangat berbahaya.
Kedua, durhaka kepada orangtua. Ditempatkannya durhaka kepada orangtua sebagai dosa besar setelah mempersekutukan Allah terasa sangat pantas sekali karena dalam Alquran berbakti kepada Allah selalu digandengkan dengan berbakti kepada orangtua. Allah bersabda, Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orangtuamu (QS. Lukman: 14). Bahkan dalam satu keterangan disebutkan tujuan hidup manusia adalah untuk beribadah kepada Allah dengan tidak mempersekutukannya dan untuk berbakti kepada orangtua.
Andai kita cermati ayat-ayat yang berkaitan dengan kewajiban untuk berbakti kepada orangtua, maka kita akan menemui perintah untuk memberikan perlakukan terbaik bagi mereka. Sampai-sampai kita dilarang untuk mengatakan uf, ah, atau sejenisnya. Bahkan kita pun diharuskan tetap berbuat baik kepada mereka walaupun mereka mempersekutukan Allah (QS. Lukman: 15).
Ketiga, janji palsu. Rasulullah mengulang-ulang kata ini sampai tiga kali. Menurut para ahli hadis pengulangan kata-kata tersebut menunjukkan bahwa mengingkari janji termasuk dosa yang sangat berbahaya.
Dalam Alquran pun,
masalah ingkar janji diulang-ulang sampai beberapa kali, salah satunya terdapat
dalam surat Al-Hajj ayat 30, "Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis
itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta".
Dalam Surat Al-Furqan, ketika Allah
menceritakan orang-orang yang mendapatkan berkah, salah satu kriterianya adalah
orang-orang yang tidak pernah bersaksi dengan saksi-saksi palsu. Dari sini saja
kita bisa mengambil kesimpulan bahwa mengingkari janji termasuk dosa besar dan
menunaikannya adalah perbuatan mulia.
Lebih jauh lagi, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa janji palsu termasuk salah satu kriteria sifat munafik, selain berbicara dusta, mengabaikan amanat (khianat), dan lari dari pertempuran.
Lebih jauh lagi, Rasulullah SAW mengungkapkan bahwa janji palsu termasuk salah satu kriteria sifat munafik, selain berbicara dusta, mengabaikan amanat (khianat), dan lari dari pertempuran.
Larangan untuk mengingkari janji disebutkan pula
dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas, Rasulullah bersabda, "Janganlah
mencela saudaramu. Jangan pula mempermainkannya. Dan janganlah menjanjikan
sesuatu kepadanya lalu kamu mengkhianatinya" (HR. Tirmidzi).
Sahabat, selalu menepati janji adalah harga diri seorang Muslim, di mana pun dan kapan pun ia akan selalu menepatinya. Seperti halnya Rasulullah yang rela menunggu selama tiga hari karena janji bertemu, begitu pula kita seharusnya.
Sahabat, selalu menepati janji adalah harga diri seorang Muslim, di mana pun dan kapan pun ia akan selalu menepatinya. Seperti halnya Rasulullah yang rela menunggu selama tiga hari karena janji bertemu, begitu pula kita seharusnya.
sumber :
republika Online
Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | MQ edisi pertama
Artikel MQ edisi pertama ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
0 Comments:
Posting Komentar