|
Perubahan
|
|
Islam dalam sejarah perkembangannya merupakan agama yang selalu menekankan
pentingnya perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya pada perilaku dan sifat
manusia, melainkan pula perubahan cara pandang dan sistem. Perubahan inilah yang
Rasulullah dan nabi-nabi sebelumnya tanamkan kepada umatnya.
Salah satu ayat yang memerintahkan manusia untuk melakukan perubahan tersebut adalah, ''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.'' (QS 13: 11).
Pada saat ini, kondisi umat Islam menjadi umat yang lemah posisinya dalam konstelasi percaturan dunia. Bahkan, sebagian wilayah umat Islam masih terjajah dan dikuasai asing, seperti Palestina, Irak, dan Afghanistan. Demikian pula dengan bangsa ini. Kita masih terkungkung oleh belenggu krisis multidimensi dan penyakit kronis korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Karenanya, perubahan menjadi keharusan dan jawaban atas kelemahan tersebut.
Perubahan yang paling pokok adalah kita harus menjadikan Alquran dan sunah Rasul sebagai pedoman dan acuan dalam pelbagai aktivitas, baik dalam lingkup kehidupan keluarga maupun masyarakat dan bernegara. Maksudnya, harus ada kesungguhan untuk mempelajari dan melaksanakan apa yang terkandung dalam Alquran dan apa yang diajarkan melalui sunah Rasul-Nya.
Allah memerintahkan dalam firman-Nya, ''Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.'' (QS 2: 208). Rasulullah pun menjelaskan bahwa jika kita berpegang teguh pada Alquran dan sunah Rasul, maka pasti kita tidak akan tersesat.
Alquran sebagai mukjizat terbesar Rasulullah memiliki sifat ruhiyyatul aqliyah (maknawi, spiritual). Artinya, kemukjizatan Alquran tidak akan terasa jika kita hanya melihatnya, apalagi jika sekadar menjadikannya hiasan. Kemukjizatan Alquran akan terasa jika kita membaca dan memperhatikan serta meresapi makna yang dikandungnya dan kemudian melaksanakannya.
Allah menegaskan bahwa Alquran sangat mudah untuk dipelajari. Allah berfirman, ''Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?'' (QS 54: 17). Ayat tersebut menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mulai mempelajarinya dan mencoba meresapi makna dan melaksanakannya.
Perubahan kedua adalah meningkatkan kebersamaan dan persaudaraan. Pengalaman empiris perjuangan Rasulullah dan sahabat menunjukkan dengan kebersamaan dan persaudaraanlah kesuksesan Islam diraihnya. Karena itu, untuk bangkit dari keterpurukan, maka semua umat Islam harus bersatu dan meningkatkan persaudaraan, yakni meningkatkan tali silaturahmi.
Semoga Allah selalu memberikan semangat kepada kita untuk selalu berubah menuju yang lebih baik. Dan, semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayahnya untuk mempermudah jalan menuju perubahan guna kebangkitan umat ini. Wallahu a'lam bishawab.
Salah satu ayat yang memerintahkan manusia untuk melakukan perubahan tersebut adalah, ''Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya, dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.'' (QS 13: 11).
Pada saat ini, kondisi umat Islam menjadi umat yang lemah posisinya dalam konstelasi percaturan dunia. Bahkan, sebagian wilayah umat Islam masih terjajah dan dikuasai asing, seperti Palestina, Irak, dan Afghanistan. Demikian pula dengan bangsa ini. Kita masih terkungkung oleh belenggu krisis multidimensi dan penyakit kronis korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Karenanya, perubahan menjadi keharusan dan jawaban atas kelemahan tersebut.
Perubahan yang paling pokok adalah kita harus menjadikan Alquran dan sunah Rasul sebagai pedoman dan acuan dalam pelbagai aktivitas, baik dalam lingkup kehidupan keluarga maupun masyarakat dan bernegara. Maksudnya, harus ada kesungguhan untuk mempelajari dan melaksanakan apa yang terkandung dalam Alquran dan apa yang diajarkan melalui sunah Rasul-Nya.
Allah memerintahkan dalam firman-Nya, ''Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.'' (QS 2: 208). Rasulullah pun menjelaskan bahwa jika kita berpegang teguh pada Alquran dan sunah Rasul, maka pasti kita tidak akan tersesat.
Alquran sebagai mukjizat terbesar Rasulullah memiliki sifat ruhiyyatul aqliyah (maknawi, spiritual). Artinya, kemukjizatan Alquran tidak akan terasa jika kita hanya melihatnya, apalagi jika sekadar menjadikannya hiasan. Kemukjizatan Alquran akan terasa jika kita membaca dan memperhatikan serta meresapi makna yang dikandungnya dan kemudian melaksanakannya.
Allah menegaskan bahwa Alquran sangat mudah untuk dipelajari. Allah berfirman, ''Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Alquran untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?'' (QS 54: 17). Ayat tersebut menegaskan bahwa tidak ada alasan bagi kita untuk tidak mulai mempelajarinya dan mencoba meresapi makna dan melaksanakannya.
Perubahan kedua adalah meningkatkan kebersamaan dan persaudaraan. Pengalaman empiris perjuangan Rasulullah dan sahabat menunjukkan dengan kebersamaan dan persaudaraanlah kesuksesan Islam diraihnya. Karena itu, untuk bangkit dari keterpurukan, maka semua umat Islam harus bersatu dan meningkatkan persaudaraan, yakni meningkatkan tali silaturahmi.
Semoga Allah selalu memberikan semangat kepada kita untuk selalu berubah menuju yang lebih baik. Dan, semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayahnya untuk mempermudah jalan menuju perubahan guna kebangkitan umat ini. Wallahu a'lam bishawab.
|
Golongan yang
Dicintai
|
|
Allah
menginformasikan dalam Alquran tentang golongan orang yang dicintai-Nya. Mereka
dicintai Allah karena iman, takwa, dan ketaatan dalam menjalankan perintah agama
serta sikap dan perilaku yang baik kepada sesama manusia dan makhluk lain.
Pertama, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bagi Muslim, yang paling dicintai adalah Allah dan Rasul-Nya (al mahabbatul ula). Kecintaan kepada keduanya merupakan tolok ukur mencintai yang lain, seperti istri, suami, anak, keluarga, harta, pangkat, dan jabatan.
Cinta kepada Allah memotivasi untuk menjalankan semua perintah-Nya dengan ridha. Allah berfirman, ''Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 3: 31).
Kedua, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin). Adil berarti melakukan suatu perbuatan dengan tidak menzalimi orang lain dan diri sendiri. Adil juga berarti melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan dan menerima hak sebagai imbalan. Keadilan harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum.
Allah berfirman, ''Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.'' (QS 5: 42).
Ketiga, berlaku sabar (shabirin). Sabar yang sempurna terwujud manakala seseorang tunduk sepenuhnya tanpa syarat kepada kehendak Allah. Allah berfirman, ''Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.'' (QS 3: 146).
Keempat, orang-orang yang bertawakal (mutawakilin). Tawakal adalah menyerahkan apa yang telah dilakukan kepada Allah. Sikap ini muncul karena keyakinan bahwa apa saja yang diperbuat manusia, hasilnya tidak bisa dipastikan. Allah berfirman, ''Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS 3: 159).
Kelima, orang-orang yang menyucikan diri (mutathohhirin). Setiap Muslim dilatih selalu suci secara fisik dengan bersuci dari hadas besar dan kecil ketika akan shalat. Kebiasaan ini diharapkan memberikan pengaruh positif untuk bersih diri dan lingkungan. Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (QS 2: 222).
Sikap dan perilaku golongan yang dicintai Allah ini harus dicontoh dalam kehidupan. Sebab, sikap dan perilaku itu membawa kemaslahatan bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Pertama, orang yang mencintai Allah dan Rasul-Nya. Bagi Muslim, yang paling dicintai adalah Allah dan Rasul-Nya (al mahabbatul ula). Kecintaan kepada keduanya merupakan tolok ukur mencintai yang lain, seperti istri, suami, anak, keluarga, harta, pangkat, dan jabatan.
Cinta kepada Allah memotivasi untuk menjalankan semua perintah-Nya dengan ridha. Allah berfirman, ''Katakanlah, 'Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 3: 31).
Kedua, orang-orang yang berbuat adil (muqsithin). Adil berarti melakukan suatu perbuatan dengan tidak menzalimi orang lain dan diri sendiri. Adil juga berarti melaksanakan kewajiban sesuai ketentuan dan menerima hak sebagai imbalan. Keadilan harus ditegakkan dalam semua aspek kehidupan manusia, baik sosial, politik, ekonomi, maupun hukum.
Allah berfirman, ''Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka, jika kamu berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah di antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil.'' (QS 5: 42).
Ketiga, berlaku sabar (shabirin). Sabar yang sempurna terwujud manakala seseorang tunduk sepenuhnya tanpa syarat kepada kehendak Allah. Allah berfirman, ''Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.'' (QS 3: 146).
Keempat, orang-orang yang bertawakal (mutawakilin). Tawakal adalah menyerahkan apa yang telah dilakukan kepada Allah. Sikap ini muncul karena keyakinan bahwa apa saja yang diperbuat manusia, hasilnya tidak bisa dipastikan. Allah berfirman, ''Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.'' (QS 3: 159).
Kelima, orang-orang yang menyucikan diri (mutathohhirin). Setiap Muslim dilatih selalu suci secara fisik dengan bersuci dari hadas besar dan kecil ketika akan shalat. Kebiasaan ini diharapkan memberikan pengaruh positif untuk bersih diri dan lingkungan. Allah berfirman, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.'' (QS 2: 222).
Sikap dan perilaku golongan yang dicintai Allah ini harus dicontoh dalam kehidupan. Sebab, sikap dan perilaku itu membawa kemaslahatan bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
|
Menaklukkan Kekerasan
| |
Pemerintahan
Islam laksana lautan hikmah tak bertepi. Salah satu bukti, ketika Amirul
Mukminin, Umar bin Khattab, dinasihati dengan kata-kata yang tajam oleh seorang
nenek. Saat itu, Umar bahkan dihentikan di tengah jalan.
Setelah saling mengucap salam, si nenek berkata, ''Wahai Umar, dulu kamu dipanggil Umair di Pasar Ukkaz ketika bergulat dengan pemuda lain. Tak lama kemudian, kamu dipanggil Umar, dan kini jadi Amir Al Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Maka, bertakwalah dalam memimpin.''
Mendengarnya, pengawal Umar, Jarud al Abdi, tersinggung. Barangkali, dia merasa upaya mengingatkan masa lalu seorang kepala negara yang kelam dan penuh kekerasan adalah sebuah penghinaan.
Sebaliknya, Umar tidak marah. Kepala negara itu hanya butuh beberapa kalimat untuk meredakan kemarahan dan kekerasan aparatnya. ''Biarkan beliau Jarud. Tak tahukah engkau siapa dia? Dialah Khaulah binti Hakim yang perkataannya didengar Allah. Karena itu, Umar lebih wajib mendengarnya.''
Khaulah memang bintang dalam surat Al-Mujadilah setelah suaminya men-zhihar-nya (menyatakan istri serupa ibu). Firman-Nya, ''Sungguh Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu (Muhammad SAW) tentang suaminya.'' (QS 58: 1).
Begitulah, hebatnya kuasa kepala negara. Dia mampu mencegah kemungkaran aparat hanya dengan perintah lisan. Sebab, berkuasa berarti mengayomi rakyat dan nanti mempertanggungjawabkannya di akhirat. Berkuasa untuk menolong yang lemah dan dizalimi agar tidak lagi dianiaya. Berkuasa bermakna mencegah yang kuat merobek-robek jiwa, kehormatan, dan harta yang lemah. Semuanya, mendatangkan pahala dan ridha-Nya.
Pemerintah yang adil adalah golongan pertama yang mendapat perlindungan di hari kiamat saat tiada perlindungan kecuali dari-Nya (HR Bukhari). Apalagi, di masa Islam, relasi penguasa dengan rakyat adalah hubungan persaudaraan dan kasih sayang, bagaikan ayah dengan anaknya, laksana penggembala dengan gembalaannya. Penguasa bahkan senang dikritik karena bisa mencegahnya berbuat dosa.
Jika tidak dilakukan pencegahan dan penghentian kekerasan oleh siapa pun, terutama oleh aparat negara, maka tanggung jawab terbesar berada pada pemegang kekuasaan terbesar. Jika kezaliman yang menimpa hewan yang jauh dari ibu kota dan penguasa tidak mengetahuinya saja akan ditanyai Allah di akhirat, apalagi jika kezaliman itu menimpa banyak manusia dan telah diketahui penguasa serta rakyat banyak.
Bukankah Umar menyatakan dirinya takut jika seekor kambing di Sungai Furat, Irak, kelaparan? Imam Sufyan Ats-Tsauri menegaskan, ''Seperti Firaun menghancurkan Haman (menteri Firaun), maka Haman-lah penyebab binasanya Firaun.''
Setelah saling mengucap salam, si nenek berkata, ''Wahai Umar, dulu kamu dipanggil Umair di Pasar Ukkaz ketika bergulat dengan pemuda lain. Tak lama kemudian, kamu dipanggil Umar, dan kini jadi Amir Al Mukminin (pemimpin orang-orang beriman). Maka, bertakwalah dalam memimpin.''
Mendengarnya, pengawal Umar, Jarud al Abdi, tersinggung. Barangkali, dia merasa upaya mengingatkan masa lalu seorang kepala negara yang kelam dan penuh kekerasan adalah sebuah penghinaan.
Sebaliknya, Umar tidak marah. Kepala negara itu hanya butuh beberapa kalimat untuk meredakan kemarahan dan kekerasan aparatnya. ''Biarkan beliau Jarud. Tak tahukah engkau siapa dia? Dialah Khaulah binti Hakim yang perkataannya didengar Allah. Karena itu, Umar lebih wajib mendengarnya.''
Khaulah memang bintang dalam surat Al-Mujadilah setelah suaminya men-zhihar-nya (menyatakan istri serupa ibu). Firman-Nya, ''Sungguh Allah telah mendengar perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu (Muhammad SAW) tentang suaminya.'' (QS 58: 1).
Begitulah, hebatnya kuasa kepala negara. Dia mampu mencegah kemungkaran aparat hanya dengan perintah lisan. Sebab, berkuasa berarti mengayomi rakyat dan nanti mempertanggungjawabkannya di akhirat. Berkuasa untuk menolong yang lemah dan dizalimi agar tidak lagi dianiaya. Berkuasa bermakna mencegah yang kuat merobek-robek jiwa, kehormatan, dan harta yang lemah. Semuanya, mendatangkan pahala dan ridha-Nya.
Pemerintah yang adil adalah golongan pertama yang mendapat perlindungan di hari kiamat saat tiada perlindungan kecuali dari-Nya (HR Bukhari). Apalagi, di masa Islam, relasi penguasa dengan rakyat adalah hubungan persaudaraan dan kasih sayang, bagaikan ayah dengan anaknya, laksana penggembala dengan gembalaannya. Penguasa bahkan senang dikritik karena bisa mencegahnya berbuat dosa.
Jika tidak dilakukan pencegahan dan penghentian kekerasan oleh siapa pun, terutama oleh aparat negara, maka tanggung jawab terbesar berada pada pemegang kekuasaan terbesar. Jika kezaliman yang menimpa hewan yang jauh dari ibu kota dan penguasa tidak mengetahuinya saja akan ditanyai Allah di akhirat, apalagi jika kezaliman itu menimpa banyak manusia dan telah diketahui penguasa serta rakyat banyak.
Bukankah Umar menyatakan dirinya takut jika seekor kambing di Sungai Furat, Irak, kelaparan? Imam Sufyan Ats-Tsauri menegaskan, ''Seperti Firaun menghancurkan Haman (menteri Firaun), maka Haman-lah penyebab binasanya Firaun.''
Keteguhan
| ||
''Ya Allah! Aku
memohon kepada-Mu keteguhan hati di dalam urusan (agama) ini dan kemauan yang
kuat dalam mengikuti kebenaran,'' demikian doa Nabi Muhammad SAW dalam memohon
keteguhan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Thabrani dalam al-Kabir
wal-Ausath.
Dalam riwayat lain, Nabi juga berdoa, ''Allahumma, ya Muqallibal-qulub, tsabbit qalbi 'ala dinik (Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku atas agama-Mu).'' (HR Ahmad). Doa, sebagai salah satu formula untuk meraih dan mempertahankan keteguhan, tidak hanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan, Allah SWT, selain memuji orang yang teguh, juga mengajarkan redaksi doanya sekalian dalam rangkaian ayat-Nya. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 250, ''Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.
'' Keteguhan atau ats-tsabat memang mutlak diperlukan dalam kehidupan ini, dalam medan apa pun. Bukan hanya dalam kehidupan beragama, tapi juga dalam percaturan politik, jaringan ekonomi atau bisnis, juga dalam kehidupan sosial pada umumnya. Banyak pemimpin di dunia ini terjungkal dari kursi kekuasaannya karena tidak teguh dalam menjalankan amanah kekuasaannya dan tergiur untuk menggunakan aji mumpung, sehingga menyelewengkan kekuasaannya.
Para pelaku bisnis juga banyak yang kandas di tengah jalan lantaran keteguhannya hilang dan lebih terpikat pada kesenangan sesaat, entah perjudian, kemaksiatan, dan lain-lain. Para mantan aktivis menjadi bahan cibiran publik, karena keteguhannya dalam mengusung idealisme luntur bersamaan dengan target kekuasaan yang telah diraihnya. Demikian pula dengan orang-orang yang berilmu (ulama), banyak di antara mereka yang menanggalkan muru'ah dan jubah keulamaannya karena tergiur pada iming-iming jabatan. Padahal, semua itu merupakan cobaan untuk memperkokoh keteguhannya.
Siapa pun tak bisa lepas dari cobaan, karena dunia ini memang medan ujian, bukan tempat balasan. Firman Allah SWT, ''Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?'' (Al-Baqarah: 214). Ujian adalah sunnatullah, dan kalau seseorang telah selamat dari jebakan, rayuan, perangkap, intimidasi, hantaman, dan beragam ujian yang datang bertubi-tubi itu, maka barulah kemudahan dan pertolongan Allah datang.
Karena, pertolongan dan segenap kemudahan itu disimpan untuk orang-orang yang berhak menerimanya. Hanya orang-orang yang mempunyai keteguhan hingga akhir perjalananlah, yang berhak menerima beragam anugerah itu. Dan, sebuah keberhasilan memang bisa dinikmati secara penuh kalau ia merupakan hasil dari perjuangan yang berat dan melelahkan. Wallahu a'lam bis-shawab.
Dalam riwayat lain, Nabi juga berdoa, ''Allahumma, ya Muqallibal-qulub, tsabbit qalbi 'ala dinik (Ya Allah, Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku atas agama-Mu).'' (HR Ahmad). Doa, sebagai salah satu formula untuk meraih dan mempertahankan keteguhan, tidak hanya dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Bahkan, Allah SWT, selain memuji orang yang teguh, juga mengajarkan redaksi doanya sekalian dalam rangkaian ayat-Nya. Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 250, ''Wahai Rabb kami, tuangkanlah kesabaran atas diri kami, teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.
'' Keteguhan atau ats-tsabat memang mutlak diperlukan dalam kehidupan ini, dalam medan apa pun. Bukan hanya dalam kehidupan beragama, tapi juga dalam percaturan politik, jaringan ekonomi atau bisnis, juga dalam kehidupan sosial pada umumnya. Banyak pemimpin di dunia ini terjungkal dari kursi kekuasaannya karena tidak teguh dalam menjalankan amanah kekuasaannya dan tergiur untuk menggunakan aji mumpung, sehingga menyelewengkan kekuasaannya.
Para pelaku bisnis juga banyak yang kandas di tengah jalan lantaran keteguhannya hilang dan lebih terpikat pada kesenangan sesaat, entah perjudian, kemaksiatan, dan lain-lain. Para mantan aktivis menjadi bahan cibiran publik, karena keteguhannya dalam mengusung idealisme luntur bersamaan dengan target kekuasaan yang telah diraihnya. Demikian pula dengan orang-orang yang berilmu (ulama), banyak di antara mereka yang menanggalkan muru'ah dan jubah keulamaannya karena tergiur pada iming-iming jabatan. Padahal, semua itu merupakan cobaan untuk memperkokoh keteguhannya.
Siapa pun tak bisa lepas dari cobaan, karena dunia ini memang medan ujian, bukan tempat balasan. Firman Allah SWT, ''Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti halnya orang-orang terdahulu sebelum kamu?'' (Al-Baqarah: 214). Ujian adalah sunnatullah, dan kalau seseorang telah selamat dari jebakan, rayuan, perangkap, intimidasi, hantaman, dan beragam ujian yang datang bertubi-tubi itu, maka barulah kemudahan dan pertolongan Allah datang.
Karena, pertolongan dan segenap kemudahan itu disimpan untuk orang-orang yang berhak menerimanya. Hanya orang-orang yang mempunyai keteguhan hingga akhir perjalananlah, yang berhak menerima beragam anugerah itu. Dan, sebuah keberhasilan memang bisa dinikmati secara penuh kalau ia merupakan hasil dari perjuangan yang berat dan melelahkan. Wallahu a'lam bis-shawab.
|
Berusaha dan Berdoa
| |
Ibnu Abbas
berkata pada suatu hari ia duduk di belakang Rasulullah SAW di atas suatu
kendaraan. Rasulullah memberinya nasihat, ''Wahai pemuda, saya akan mengajarkan
beberapa kalimat (keterangan). Yaitu: peliharalah Allah (pelihara segala
perintah dan larangan-Nya), niscaya Allah akan memeliharamu.
Jika kamu tetap memelihara-Nya, tentulah kamu akan tetap mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Ia akan mengenalimu di waktu susah. Bila kamu memohon sesuatu hajat, bermohonlah (langsung) kepada Allah.'' Rasulullah melanjutkan, ''Ketahuilah, walaupun berkumpul seluruh manusia untuk mendatangkan suatu kemanfaatan untukmu, tiadalah mereka dapat berbuat apa-apa, kecuali sekadar yang Allah telah tetapkan kamu memperolehnya.
Dan, walaupun berkumpul seluruh manusia untuk mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu, tiadalah mereka dapat berbuat apa-apa, melainkan hanya sekadar yang Allah telah tetapkan jua. Telah diangkat kalam dan telah kering segala lembaran tulisan. Ketahuilah, pertolongan Allah hanya diberikan kepada orang yang sabar, dan bahwa kelapangan diberikan kepada orang yang dalam kesusahan.'' (HR Turmudzi).
Doa merupakan sumber kekuatan dan harapan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Prof Affiff At Tabbarah dalam Ruhud Dienul Islam menyatakan berdoa merupakan fitrah dan naluri yang tumbuh dalam diri setiap manusia. Setiap orang senantiasa ingat dan rindu kepada Tuhan yang akan memberikan perlindungan kepadanya di waktu kesulitan atau untuk menghindarkan sesuatu kejahatan. Berhadapan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan ini, manusia sangat lemah.
Tidak ada sandaran bagi kelemahannya itu, kecuali doa. Allah SWT berfirman, ''Berdoalah kepada-Ku, akan Kupenuhi (doamu).'' (Al-Mukmin: 60). Rasulullah banyak menjelaskan kedudukan doa. Kata beliau, ''Doa itu adalah otak ibadah.'' (HR Turmudzi). Dalam hadis yang lain, beliau menjelaskan, ''Doa itu mendatangkan manfaat atas sesuatu yang sudah atau yang belum diturunkan Allah. Tak ada yang dapat menolak qadha (ketetapan Ilahi) kecuali doa yang mustajab (terkabul).'' (HR Turmudzi).
Islam mengajarkan pentingnya doa di samping ikhtiar. Doa bukanlah pengganti usaha dan ikhtiar, tapi memperkuat usaha dan ikhtiar. Doa satu-satunya kekuatan dan harapan orang beriman tatkala segala ikhtiar telah dijalankan. Semua peristiwa di alam ini tidaklah diserahkan begitu saja kepada hukum-hukum alam seperti mesin yang bergerak otomatis, tetapi di balik hukum-hukum itu ada hukum lain yaitu iradah Allah yang Maha Menentukan.
''Kulihat tangan (kekuasaan) Allah ada dalam setiap peristiwa dan segala masalah,'' kata Sayid Quthub dalam pengantar tafsir Fi Zhilalil Quran. Setiap orang menginginkan doanya terkabul. Syarat terkabulnya doa ialah hati yang ikhlas. Pada akhirnya Allah yang menentukan saat terbaik bagi hamba-Nya untuk menerima apa yang dimohonkan. Doa dari hati yang ikhlas tidak akan disia-siakan Allah asal menempuh jalan hidup yang benar.
Jika kamu tetap memelihara-Nya, tentulah kamu akan tetap mendapati-Nya di hadapanmu. Kenalilah Allah di waktu senang, niscaya Ia akan mengenalimu di waktu susah. Bila kamu memohon sesuatu hajat, bermohonlah (langsung) kepada Allah.'' Rasulullah melanjutkan, ''Ketahuilah, walaupun berkumpul seluruh manusia untuk mendatangkan suatu kemanfaatan untukmu, tiadalah mereka dapat berbuat apa-apa, kecuali sekadar yang Allah telah tetapkan kamu memperolehnya.
Dan, walaupun berkumpul seluruh manusia untuk mendatangkan suatu kemudharatan kepadamu, tiadalah mereka dapat berbuat apa-apa, melainkan hanya sekadar yang Allah telah tetapkan jua. Telah diangkat kalam dan telah kering segala lembaran tulisan. Ketahuilah, pertolongan Allah hanya diberikan kepada orang yang sabar, dan bahwa kelapangan diberikan kepada orang yang dalam kesusahan.'' (HR Turmudzi).
Doa merupakan sumber kekuatan dan harapan yang paling besar dalam kehidupan manusia. Prof Affiff At Tabbarah dalam Ruhud Dienul Islam menyatakan berdoa merupakan fitrah dan naluri yang tumbuh dalam diri setiap manusia. Setiap orang senantiasa ingat dan rindu kepada Tuhan yang akan memberikan perlindungan kepadanya di waktu kesulitan atau untuk menghindarkan sesuatu kejahatan. Berhadapan dengan peristiwa-peristiwa kehidupan ini, manusia sangat lemah.
Tidak ada sandaran bagi kelemahannya itu, kecuali doa. Allah SWT berfirman, ''Berdoalah kepada-Ku, akan Kupenuhi (doamu).'' (Al-Mukmin: 60). Rasulullah banyak menjelaskan kedudukan doa. Kata beliau, ''Doa itu adalah otak ibadah.'' (HR Turmudzi). Dalam hadis yang lain, beliau menjelaskan, ''Doa itu mendatangkan manfaat atas sesuatu yang sudah atau yang belum diturunkan Allah. Tak ada yang dapat menolak qadha (ketetapan Ilahi) kecuali doa yang mustajab (terkabul).'' (HR Turmudzi).
Islam mengajarkan pentingnya doa di samping ikhtiar. Doa bukanlah pengganti usaha dan ikhtiar, tapi memperkuat usaha dan ikhtiar. Doa satu-satunya kekuatan dan harapan orang beriman tatkala segala ikhtiar telah dijalankan. Semua peristiwa di alam ini tidaklah diserahkan begitu saja kepada hukum-hukum alam seperti mesin yang bergerak otomatis, tetapi di balik hukum-hukum itu ada hukum lain yaitu iradah Allah yang Maha Menentukan.
''Kulihat tangan (kekuasaan) Allah ada dalam setiap peristiwa dan segala masalah,'' kata Sayid Quthub dalam pengantar tafsir Fi Zhilalil Quran. Setiap orang menginginkan doanya terkabul. Syarat terkabulnya doa ialah hati yang ikhlas. Pada akhirnya Allah yang menentukan saat terbaik bagi hamba-Nya untuk menerima apa yang dimohonkan. Doa dari hati yang ikhlas tidak akan disia-siakan Allah asal menempuh jalan hidup yang benar.
|
Mencintai Rasulullah
|
|
Sepanjang
sejarah beliau, Rasulullah Muhammad SAW mendedikasikan hidup dan kehidupannya
untuk menegakkan agama Allah dan mendidik umat Islam. Bahkan, kepedulian dan
kecintaan beliau terhadap umatnya ditunjukkan dengan sangat luar biasa hingga
akhir hayatnya. Pun ketika umatnya menyakiti dan mengusirnya.
Allah mengabadikan sifat beliau dalam firman-Nya: ''Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.'' (QS. 9: 128). Karena itu, wajib bagi setiap umat Islam untuk mencintai Rasulullah sebagaimana cinta beliau kepada kita.
Mencintai Rasulullah, pada hakikatnya, merupakan cinta kepada Allah. Allah berfirman: ''Katakanlah, 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS. 3: 31). Dalam suatu hadis, Anas bin Malik menceritakan bahwasanya Rasulullah bersabda: ''Tidaklah beriman seseorang di antara kalian, sehingga aku lebih ia cintai dari keluarganya, hartanya, dan dari semua manusia.'' (HR Muslim). Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lainnya merupakan salah satu bentuk manisnya iman.
Dalam kaitan hadis di atas Allah menegaskan: ''Katakanlah, 'jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.'' (QS. 9: 24). Mencintai Rasulullah dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, meneledani sikap dan perilakunya serta taat kepada perintahnya. Allah menjelaskan bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik bagi umat manusia (QS. 33: 21). Karenanya, sebagai salah satu wujud kecintaan kepadanya kita wajib melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan meneladaninya. Kedua, selalu merindukan dan mengingatnya. Orang yang merindukan Rasulullah akan selalu berusaha mengerjakan amalan-amalan yang beliau contohkan agar kelak dapat mendekatkan posisinya dengan Rasulullah.
Dan, seorang yang mencintai Rasulullah akan senantiasa mengingatnya dalam setiap aktivitasnya dan selalu membaca shalawat atasnya. Mengenai bershalawat atas Nabi, Allah memerintahkan: ''Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.'' (QS. 33: 56). Wallahu a'lam bis-shawab.
Allah mengabadikan sifat beliau dalam firman-Nya: ''Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.'' (QS. 9: 128). Karena itu, wajib bagi setiap umat Islam untuk mencintai Rasulullah sebagaimana cinta beliau kepada kita.
Mencintai Rasulullah, pada hakikatnya, merupakan cinta kepada Allah. Allah berfirman: ''Katakanlah, 'Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad), niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu'. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS. 3: 31). Dalam suatu hadis, Anas bin Malik menceritakan bahwasanya Rasulullah bersabda: ''Tidaklah beriman seseorang di antara kalian, sehingga aku lebih ia cintai dari keluarganya, hartanya, dan dari semua manusia.'' (HR Muslim). Dalam riwayat yang lain dijelaskan bahwa mencintai Allah dan Rasul-Nya melebihi kecintaan kepada yang lainnya merupakan salah satu bentuk manisnya iman.
Dalam kaitan hadis di atas Allah menegaskan: ''Katakanlah, 'jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.'' (QS. 9: 24). Mencintai Rasulullah dapat dilakukan dengan dua cara.
Pertama, meneledani sikap dan perilakunya serta taat kepada perintahnya. Allah menjelaskan bahwa Rasulullah adalah suri teladan yang baik bagi umat manusia (QS. 33: 21). Karenanya, sebagai salah satu wujud kecintaan kepadanya kita wajib melaksanakan perintahnya, menjauhi larangannya, dan meneladaninya. Kedua, selalu merindukan dan mengingatnya. Orang yang merindukan Rasulullah akan selalu berusaha mengerjakan amalan-amalan yang beliau contohkan agar kelak dapat mendekatkan posisinya dengan Rasulullah.
Dan, seorang yang mencintai Rasulullah akan senantiasa mengingatnya dalam setiap aktivitasnya dan selalu membaca shalawat atasnya. Mengenai bershalawat atas Nabi, Allah memerintahkan: ''Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.'' (QS. 33: 56). Wallahu a'lam bis-shawab.
|
Menjaga Ucapan
| |
Rasulullan SAW
bersabda, ''Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata
baik atau diam.'' (HR Ibnu Majah). Begitu dalamnya arti ucapan dan peranannya
bagi manusia, sehingga Baginda Nabi Muhammad menjadikan berucap baik sebagai
ciri seorang mukmin. Ucapan seringkali dimaknai sebagai cermin muru'ah seseorang.
Ucapan kasar adalah cermin kepribadian yang kasar pula, begitulah sebaliknya.
Karena ucapan adalah indikasi terhadap kepribadian (khuluqiyah) seseorang, erat kaitan ucapan sebagai kenyataan dengan akhlak atau kepribadian yang tersembunyi. Dalam hal ini Allah memperingatkan, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi.'' (QS Al-Hujurat: 2).
Untuk menghindari salah guna ucapan di dalam kehidupan bersama, Nabi memberikan alternatif bijak yaitu diam. Diam merupakan usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam. Artinya, semua orang dapat melakukan diam tanpa terkecuali.
Petuah tentang diam ini punya tempat spesial dalam wacana etika Islam. Di dalam literatur akhlak-tasawwuf, diam dibahas dalam bab khusus fadhilatus shamti (keistimewaan diam) sebagai salah satu keutamaan seseorang.
Islam tidak menyukai omongan yang kosong (QS 61: 2) dan sangat mencela ucapan yang menyebabkan bencana karena lisan seperti ghibah, fitnah, adu domba (namimah), dan kabar bohong. Untuk itu Allah menegaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 6, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.''
Islam dengan demikian hanya menganjurkan berucap perkataan baik yang bisa menumbuhkan kasih sayang sesama manusia, pembelajaran iman, pelurusan kemungkaran, serta saling menasihati atau taushiyah. Dalam keharusan taushiyah, surat Al-'Ashr ayat 4 memperingatkan kita agar selalu melakukan itu dalam kebenaran dan kesabaran. Saling menasihati ini merupakan kewajiban agama, diperkuat dengan hadis Nabi, ''ad-dinu nasihah,'' agama adalah nasihat.
Dalam konteks ucapan ini, nasihat menjadi sangat penting. Bagi orang yang berucap, nasihat diperlukan agar ucapannya tidak menebarkan kebencian dan menyakitkan lawan bicara. Sedangkan bagi yang menerima perkataan itu, arti penting nasihat agar ia tidak terluka jika mungkin terdapat ucapan yang mengakibatkan luka hatinya.
Kehati-hatian berucap adalah kunci utama agar terhindar dari akibat negatif. Sebab, ucapan, seperti dalam pepatah Arab, lebih tajam daripada jarum. Luka oleh ucapan akan terasa lebih menghujam dan berbekas di dalam hati. Ucapan dapat menembus apa-apa yang tidak mungkin ditembus jarum, ''Al-kalamu yan fudzu ma la tanfudzuhu al-ibaru.''
Karena ucapan adalah indikasi terhadap kepribadian (khuluqiyah) seseorang, erat kaitan ucapan sebagai kenyataan dengan akhlak atau kepribadian yang tersembunyi. Dalam hal ini Allah memperingatkan, ''Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengangkat suaramu di atas suara Nabi.'' (QS Al-Hujurat: 2).
Untuk menghindari salah guna ucapan di dalam kehidupan bersama, Nabi memberikan alternatif bijak yaitu diam. Diam merupakan usaha yang paling minimal dari manusia tanpa menguras tenaga dan mengorbankan materi, bahkan tanpa pemikiran mendalam. Artinya, semua orang dapat melakukan diam tanpa terkecuali.
Petuah tentang diam ini punya tempat spesial dalam wacana etika Islam. Di dalam literatur akhlak-tasawwuf, diam dibahas dalam bab khusus fadhilatus shamti (keistimewaan diam) sebagai salah satu keutamaan seseorang.
Islam tidak menyukai omongan yang kosong (QS 61: 2) dan sangat mencela ucapan yang menyebabkan bencana karena lisan seperti ghibah, fitnah, adu domba (namimah), dan kabar bohong. Untuk itu Allah menegaskan dalam surat Al-Hujurat ayat 6, ''Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu seorang fasik membawa berita, maka periksalah dengan teliti agar tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.''
Islam dengan demikian hanya menganjurkan berucap perkataan baik yang bisa menumbuhkan kasih sayang sesama manusia, pembelajaran iman, pelurusan kemungkaran, serta saling menasihati atau taushiyah. Dalam keharusan taushiyah, surat Al-'Ashr ayat 4 memperingatkan kita agar selalu melakukan itu dalam kebenaran dan kesabaran. Saling menasihati ini merupakan kewajiban agama, diperkuat dengan hadis Nabi, ''ad-dinu nasihah,'' agama adalah nasihat.
Dalam konteks ucapan ini, nasihat menjadi sangat penting. Bagi orang yang berucap, nasihat diperlukan agar ucapannya tidak menebarkan kebencian dan menyakitkan lawan bicara. Sedangkan bagi yang menerima perkataan itu, arti penting nasihat agar ia tidak terluka jika mungkin terdapat ucapan yang mengakibatkan luka hatinya.
Kehati-hatian berucap adalah kunci utama agar terhindar dari akibat negatif. Sebab, ucapan, seperti dalam pepatah Arab, lebih tajam daripada jarum. Luka oleh ucapan akan terasa lebih menghujam dan berbekas di dalam hati. Ucapan dapat menembus apa-apa yang tidak mungkin ditembus jarum, ''Al-kalamu yan fudzu ma la tanfudzuhu al-ibaru.''
|
Kesucian Hati
| |
Suatu hari
Rasulullah berkata kepada sahabatnya, ''Kalau kalian ingin tahu calon penghuni
surga, lihatlah nanti seorang hamba Allah yang duduk di pojok masjid.'' Para
sahabat dengan rasa penasaran ingin melihat sosok yang digambarkan Rasulullah.
Setelah tiga hari diamati, ternyata orang tersebut hanya orang tua biasa tanpa
memperlihatkan kelebihan khusus.
Karena penasaran, seorang sahabat sengaja bermalam di rumah Pak Tua itu untuk melihat langsung amalannya yang membuatnya menjadi calon penghuni surga. Setelah diamati, tidak ditemukan sebuah amalan pun yang melebihi amalan sahabat Rasulullah yang lain.
Akhirnya sahabat itu memberanikan diri bertanya, ''Amalan apa yang menyebabkan engkau dikatakan Rasulullah calon penghuni surga?'' Pak Tua itu menjawab, ''Tidak ada wahai sahabatku, tapi mungkin ada dua hal yang selalu saya lakukan sebelum saya tidur: pertama, sebelum berbaring tidur saya membuang rasa dendam kepada manusia yang menyakiti saya di siang hari; kedua, saya akan memaafkan kesalahan orang lain kepada saya sebelum dia sempat meminta maaf.''
Akhirnya sahabat tersebut yakin bahwa inilah yang dimaksud Rasulullah dengan perbuatan yang membuat seorang manusia masuk surga. Seluruh ibadah dan kewajiban serta larangan Allah terhadap manusia tujuan akhirnya satu, yaitu menjadi manusia yang memiliki hati yang bersih. Karena, dari hati yang bersihlah lahir sifat mulia dan terpuji yang sangat berguna untuk membentuk suatu masyarakat yang harmonis dan aman.
Kedua sifat yang dijelaskan dalam kisah di atas merupakan sumber kegalauan hati yang pada gilirannya akan menyibukkan pikiran dengan rasa dendam dan selalu memikirkan kesalahan orang lain. Akibatnya, keinginan untuk beribadah berkurang; rasa khusuk dalam beribadah akan terganggu.
Di sinilah kegembiraan setan, dengan kita membukakan pintu hati untuk digoda agar lupa kewajiban sebagai hamba Allah. Seluruh pikiran terbelenggu untuk selalu melihat orang dengan segala nikmat dan bencana. Ketika orang lain mendapat nikmat, hatinya menjadi gelisah, dan ketika mendapat bencana hatinya gembira di atas penderitaan orang lain.
Memperoleh kesucian hati bukanlah pekerjaan yang mudah. Hati manusia bagaikan gelombang. Selalu berubah-ubah sesuai kekuatan ketakwaan. Manusia harus melatih hati dengan amal yang mulia. Dalam istilah ilmu tasawuf dikenal dengan istilah mujahadah, dan dalam menjalaninya harus melakukan secara sungguh-sungguh.
Ada seorang ulama yang untuk melatih sifat rendah hati rela melakukan pekerjaan yang dianggap orang lain hina, dan berpakaian murahan selama bertahun-tahun. Tak lain tujuannya adalah agar tidak terdapat sifat sombong dalam hati yang sangat dimurka Allah. Allah akan menerima manusia berhati suci di akhirat kelak dengan maghfirah dan rahmat yang berlimpah. Sedangkan hati yang busuk, niscaya murka Allah yang akan diterima.
Karena penasaran, seorang sahabat sengaja bermalam di rumah Pak Tua itu untuk melihat langsung amalannya yang membuatnya menjadi calon penghuni surga. Setelah diamati, tidak ditemukan sebuah amalan pun yang melebihi amalan sahabat Rasulullah yang lain.
Akhirnya sahabat itu memberanikan diri bertanya, ''Amalan apa yang menyebabkan engkau dikatakan Rasulullah calon penghuni surga?'' Pak Tua itu menjawab, ''Tidak ada wahai sahabatku, tapi mungkin ada dua hal yang selalu saya lakukan sebelum saya tidur: pertama, sebelum berbaring tidur saya membuang rasa dendam kepada manusia yang menyakiti saya di siang hari; kedua, saya akan memaafkan kesalahan orang lain kepada saya sebelum dia sempat meminta maaf.''
Akhirnya sahabat tersebut yakin bahwa inilah yang dimaksud Rasulullah dengan perbuatan yang membuat seorang manusia masuk surga. Seluruh ibadah dan kewajiban serta larangan Allah terhadap manusia tujuan akhirnya satu, yaitu menjadi manusia yang memiliki hati yang bersih. Karena, dari hati yang bersihlah lahir sifat mulia dan terpuji yang sangat berguna untuk membentuk suatu masyarakat yang harmonis dan aman.
Kedua sifat yang dijelaskan dalam kisah di atas merupakan sumber kegalauan hati yang pada gilirannya akan menyibukkan pikiran dengan rasa dendam dan selalu memikirkan kesalahan orang lain. Akibatnya, keinginan untuk beribadah berkurang; rasa khusuk dalam beribadah akan terganggu.
Di sinilah kegembiraan setan, dengan kita membukakan pintu hati untuk digoda agar lupa kewajiban sebagai hamba Allah. Seluruh pikiran terbelenggu untuk selalu melihat orang dengan segala nikmat dan bencana. Ketika orang lain mendapat nikmat, hatinya menjadi gelisah, dan ketika mendapat bencana hatinya gembira di atas penderitaan orang lain.
Memperoleh kesucian hati bukanlah pekerjaan yang mudah. Hati manusia bagaikan gelombang. Selalu berubah-ubah sesuai kekuatan ketakwaan. Manusia harus melatih hati dengan amal yang mulia. Dalam istilah ilmu tasawuf dikenal dengan istilah mujahadah, dan dalam menjalaninya harus melakukan secara sungguh-sungguh.
Ada seorang ulama yang untuk melatih sifat rendah hati rela melakukan pekerjaan yang dianggap orang lain hina, dan berpakaian murahan selama bertahun-tahun. Tak lain tujuannya adalah agar tidak terdapat sifat sombong dalam hati yang sangat dimurka Allah. Allah akan menerima manusia berhati suci di akhirat kelak dengan maghfirah dan rahmat yang berlimpah. Sedangkan hati yang busuk, niscaya murka Allah yang akan diterima.
|
'Iffah
| |
Setiap orang pasti mempunyai kemampuan untuk menahan diri, hatta anak kecil sekalipun. Menahan diri dari keinginan-keinginan yang kalau sekiranya terus diikuti tak akan pernah ada puasnya. Itulah yang dinamakan 'iffah sebagaimana didefinisikan Ibnu Maskawaih di dalam kitabnya Tahdzibul Akhlak. Yaitu, suatu kemampuan yang dimiliki manusia untuk menahan dorongan hawa nafsunya. 'Iffah merupakan keutamaan yang dimiliki manusia ketika ia mampu mengendalikan syahwat dengan akal sehatnya.
Dari sifat 'iffah inilah lahir akhlak-akhlak mulia seperti sabar, qana'ah, adil, jujur, dermawan, santun, dan perilaku terpuji lainnya. Sifat 'iffah ini pulalah yang membuat manusia menjadi mulia. Sekiranya manusia sudah tidak lagi memiliki sifat ini, maka tidak ubahnya dia seperti binatang. Karena, ketika seseorang mampu memfungsikan 'iffah-nya, berarti akal sehatnya bekerja dengan baik.
Dan akal inilah yang membedakan manusia dengan binatang. Tetapi, ketika 'iffah sudah hilang dari dalam diri, berarti akal sehatnya sudah tertutup oleh nafsu syahwatnya, ia sudah tidak mampu lagi membedakan mana yang benar dan salah, mana baik dan buruk, yang halal dan haram.
Allah SWT berfirman, ''Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian ('iffah diri)-nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.'' (QS 24: 33). Ketika manusia sudah mencapai kematangan alat reproduksinya, dan sudah saatnya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya (syahwatnya), maka dengan sifat 'iffah yang dimilikinya ia mampu untuk menahan diri dari berzina, sehingga pada saatnya kelak, Allah memberikannya kecukupan harta untuk menikah. Tetapi, sekiranya 'iffah itu hilang, maka perzinahan sudah pasti tak terelakkan lagi.
'Iffah pada diri manusia merupakan sifat potensial yang harus dididik sedemikian rupa sehingga bisa menjadi benteng dalam menjaga kemuliaan eksistensi dirinya. 'Iffah tidak bisa diraih hanya dengan mempelajari teori. 'Iffah hanya bisa diraih dengan pendidikan jiwa (tarbiyyatu al-nafs) dengan amal-amal saleh sejak kecil.
Maka, tidak aneh kalau Nabi Muhammad SAW, sebagai uswah hasanah kita dalam segala bidang kehidupan, memerintahkan kita untuk menyuruh anak melaksanakan shalat sejak umur tujuh tahun. Karena, memang, 'iffah yang ada pada diri manusia harus sudah dididik semenjak kecil, agar dari didikan tersebut lahir kebiasaan yang akhirnya tumbuh menjadi akhlak.
Untuk memperbaiki dekadensi moral yang sedang mewabah, perlu dipulihkan kembali kekuatan 'iffah pada jiwa-jiwa masyarakat Indonesia. Dan, pendidikan hati (tarbiyyatu nafs) adalah jawabannya.
Rasulullah SAW bersabda, ''Ingatlah di dalam tubuh itu ada segumpal darah. Apabila ia baik, maka akan baiklah seluruh badannya, dan jika ia rusak maka rusaklah seluruh badannya. Ingatlah dia itu adalah hati.'' Wallahu a'lam bi shawwab.
Niat yang Suci
| ||
Dalam sebuah
hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, ''Sesungguhnya
segala perbuatan itu dinilai berdasarkan niatnya dan setiap orang akan
memperoleh apa yang diniatkannya. Barang siapa yang berhijrah menuju Allah dan
Rasul-Nya, maka hijrahnya benar-benar menuju Allah dan Rasul-Nya. Dan barang
siapa yang berhijrah karena kehidupan dunia yang ingin diperolehnya atau
perempuan yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya akan sampai kepada segala yang
menjadi tujuannya.''
Niat adalah faktor yang menentukan nilai suatu perbuatan. Baik dan buruknya nilai suatu perbuatan tergantung pada niat pelakunya. Bahkan, perbuatan bisa tidak bernilai sama sekali jika tidak didahului oleh niat. Menurut para ahli fikih, niat dapat membedakan mana aktivitas yang merupakan ibadah dan mana yang hanya merupakan tradisi atau budaya. Niat juga dapat membedakan satu bentuk ibadah dari ibadah lainnya walaupun keduanya mempunyai bentuk aktivitas yang sama.
Rasulullah SAW mendudukkan keutamaan niat setingkat dengan keutamaan hijrah. Beliau bersabda, ''Tidak ada hijrah setelah Fath Makkah, tetapi (yang ada) adalah jihad dan niat.'' (HR Muslim). Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW juga menegaskan, ''Sesungguhnya Allah telah menentukan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barang siapa yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya sepuluh kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat. Dan barang siapa yang berniat melakukan keburukan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya satu keburukan.'' (HR Bukhari).
Niat termasuk perbuatan hati. Inti niat terletak pada hati bukan pada ucapan atau perkataan. Karena itu, hanya Allah SWT dan pelakunya yang mengetahui hakikat niat. Perbuatan seseorang boleh jadi tidak sesuai dengan niatnya.
Perbuatan baik boleh jadi didorong oleh niat yang jahat. Jika demikian, Allah-lah yang akan menilai semua perbuatan berdasarkan niatnya. Niat yang dapat memberikan nilai kebaikan kepada setiap aktivitas adalah niat yang suci. Niat yang suci adalah niat yang mendahului setiap perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan hanya untuk mendapatkan anugerah dan ridha Allah SWT. Niat yang suci menunjukkan prestasi kehidupan seorang Muslim. Setiap perbuatan dan perkataannya selalu berorientasi jangka panjang, tidak hanya jangka pendek.
Aktivitas Muslim yang selalu menyucikan niatnya, hanya ditujukan agar Allah SWT senantiasa melimpahkan kebaikan kepada dirinya. Orang yang niatnya suci lebih mengedepankan nilai pengabdian dari setiap aktivitasnya daripada mengharap balasan orang lain. Orang yang niatnya suci akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT seperti sabda Rasulullah SAW, ''Barangsiapa yang menghendaki mati syahid dengan niat yang suci, Allah akan tempatkan dia bersama para syuhada walaupun ia mati di atas tempat tidurnya.'' (HR Muslim).
Setiap Muslim hendaknya selalu menyucikan dan meluruskan niat dalam setiap aktivitas baik politik, ekonomi, sosial, seni, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Dengan niat yang suci akan hilang egoisme dan senantiasa berorientasi kepada kepentingan orang banyak, bangsa, dan negara. Wallahu A'lam.
Niat adalah faktor yang menentukan nilai suatu perbuatan. Baik dan buruknya nilai suatu perbuatan tergantung pada niat pelakunya. Bahkan, perbuatan bisa tidak bernilai sama sekali jika tidak didahului oleh niat. Menurut para ahli fikih, niat dapat membedakan mana aktivitas yang merupakan ibadah dan mana yang hanya merupakan tradisi atau budaya. Niat juga dapat membedakan satu bentuk ibadah dari ibadah lainnya walaupun keduanya mempunyai bentuk aktivitas yang sama.
Rasulullah SAW mendudukkan keutamaan niat setingkat dengan keutamaan hijrah. Beliau bersabda, ''Tidak ada hijrah setelah Fath Makkah, tetapi (yang ada) adalah jihad dan niat.'' (HR Muslim). Dalam sebuah hadis qudsi, Rasulullah SAW juga menegaskan, ''Sesungguhnya Allah telah menentukan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka barang siapa yang berniat melakukan kebaikan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya sepuluh kebaikan sampai dengan tujuh ratus kali lipat. Dan barang siapa yang berniat melakukan keburukan tetapi tidak melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya kebaikan yang sempurna. Dan jika ia melaksanakannya, Allah akan menetapkan baginya satu keburukan.'' (HR Bukhari).
Niat termasuk perbuatan hati. Inti niat terletak pada hati bukan pada ucapan atau perkataan. Karena itu, hanya Allah SWT dan pelakunya yang mengetahui hakikat niat. Perbuatan seseorang boleh jadi tidak sesuai dengan niatnya.
Perbuatan baik boleh jadi didorong oleh niat yang jahat. Jika demikian, Allah-lah yang akan menilai semua perbuatan berdasarkan niatnya. Niat yang dapat memberikan nilai kebaikan kepada setiap aktivitas adalah niat yang suci. Niat yang suci adalah niat yang mendahului setiap perkataan atau perbuatan yang dimaksudkan hanya untuk mendapatkan anugerah dan ridha Allah SWT. Niat yang suci menunjukkan prestasi kehidupan seorang Muslim. Setiap perbuatan dan perkataannya selalu berorientasi jangka panjang, tidak hanya jangka pendek.
Aktivitas Muslim yang selalu menyucikan niatnya, hanya ditujukan agar Allah SWT senantiasa melimpahkan kebaikan kepada dirinya. Orang yang niatnya suci lebih mengedepankan nilai pengabdian dari setiap aktivitasnya daripada mengharap balasan orang lain. Orang yang niatnya suci akan mendapatkan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT seperti sabda Rasulullah SAW, ''Barangsiapa yang menghendaki mati syahid dengan niat yang suci, Allah akan tempatkan dia bersama para syuhada walaupun ia mati di atas tempat tidurnya.'' (HR Muslim).
Setiap Muslim hendaknya selalu menyucikan dan meluruskan niat dalam setiap aktivitas baik politik, ekonomi, sosial, seni, budaya, pendidikan, dan lain-lain. Dengan niat yang suci akan hilang egoisme dan senantiasa berorientasi kepada kepentingan orang banyak, bangsa, dan negara. Wallahu A'lam.
|
Antara Menangis dan
Tertawa
| |
Pada suatu ketika di Hari Raya Idul Fitri, sufi Ibn al-Wardi bertemu dengan sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak. Melihat pemandangan itu, Ibn al-Wardi menggerutu sendiri. Katanya, ''Kalau mereka memperoleh pengampunan, apakah dengan cara itu mereka bersyukur kepada Allah, dan kalau mereka tidak memperoleh pengampunan, apakah mereka tidak takut azab dan siksa Allah?''
Kritik Ibn al-Wardi
ini memperlihatkan sikap kebanyakan kaum sufi. Pada umumnya mereka tidak suka
bersenang-senang dan tertawa ria. Mereka lebih suka menangis dan tepekur
mengingat Allah. Bagi kaum sufi, tertawa ria merupakan perbuatan tercela yang
harus dijauhi, karena perbuatan tersebut dianggap dapat menimbulkan ghaflah,
yaitu lalai dari mengingat Allah.
Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.
Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.
Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin.
Akibat buruk yang lain, tertawa ria dapat membuat hati menjadi mati, yang membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah (Al-Zumar: 22), tidak dapat menerima petunjuk (Al-Baqarah: 7), dan mudah disesatkan oleh setan (Hajj: 53). Pada waktu Perang Tabuk, orang-orang munafik berpaling dan menolak berperang bersama Nabi. Mereka justru bersenang-senang dan tertawa ria di belakang beliau. Tentu saja mereka dikecam oleh Allah dan diancam hukuman berat. Firman-Nya, ''Katakanlah: Api neraka itu lebih sangat panasnya jikalau mereka mengetahui.
Maka hendaklah mereka tertawa sedikit dan menangis banyak, sebagai pembalasan dari apa yang selalu mereka kerjakan.'' (Al-Taubah: 81-82). Ayat di atas, menurut pakar tafsir al-Razi, datang dalam bentuk perintah (al-amr), tetapi mengandung makna berita (al-khabar). Dalam perspektif ini, ayat tersebut bermakna bahwa kegembiraan dan suka cita orang-orang munafik itu sesungguhnya sebentar, tidak lama, lantaran kenikmatan dunia tidak kekal alias terbatas.
Sedangkan duka dan penderitaan mereka di akhirat justru berlangsung lama dan terus-menerus, lantaran azab dan siksa Tuhan di akhirat kekal abadi alias selama-lamanya. Ini berarti, setiap orang dihadapkan pada dua pilihan yang bersifat antagonistik, yaitu tertawa ria di dunia, tetapi menangis di akhirat, atau menangis di dunia, tetapi riang gembira dan tersenyum di akhirat. Dalam hadis sahih, Nabi pernah berpesan agar kaum Muslim lebih banyak menangis daripada tertawa ria. Katanya, ''Jikalau kalian mengetahui apa yang kuketahui, pastilah kalian sedikit tertawa dan banyak menangis.'' (HR Bukhari-Muslim). Di akhirat, berbeda dengan di dunia, manusia akan terbagi menjadi dua golongan saja.
Pertama, golongan yang bersuka cita dan tertawa ria. Mereka itulah para penghuni surga. Kedua, golongan orang yang menderita dan bermuram durja. Mereka itulah para penghuni neraka. Allah berfirman: ''Banyak muka pada hari itu berseri-seri, tertawa dan gembira ria, dan banyak pula muka pada hari itu tertutup debu dan ditutup pula oleh kegelapan. Mereka itulah orang-orang kafir lagi durhaka.'' ('Abasa: 38-42). Semoga kita termasuk golongan orang yang dapat tertawa ria di akhirat kelak. Amin.
|
Teladan Abu Bakar As-Shiddiq
| |
Abu Bakar As-Shiddiq
merupakan sahabat Rasulullah SAW yang sangat istimewa. Selain setia pada
Rasulullah, dalam dirinya juga menonjol sifat jujur dan bijaksana. Ia juga
selalu berkata yang benar sehingga dijuluki dengan as-shiddiq (orang yang jujur).
Abu Bakar sangat jujur dalam mengemban amanat dan bertanggung jawab terhadap
tugas yang diberikan.
Selama menjadi khalifah, ia selalu memperhatikan rakyatnya. Hidupnya sangat sederhana dan tidak pernah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya. Dikisahkan, ketika Khalifah Abu Bakar merasa ajalnya hampir datang menjemput, beliau memanggil putri tercintanya, Siti Aisyah, untuk menyampaikan sebuah wasiat. ''Wahai Aisyah putriku, aku telah diserahi urusan kaum Muslimin, aku telah memakan makanan yang sederhana dan aku juga telah memakai pakaian yang sederhana dan kasar.
Yang tersisa dari harta kaum Muslimin padaku adalah seekor unta, seorang pelayan (pembantu) rumah tangga, dan sehelai permadani yang sudah usang. Kalau aku wafat, kirimkan semuanya kepada Umar bin Khattab. Karena, aku tidak ingin menghadap Allah sedangkan di tanganku masih ada harta kaum Muslimin walaupun sedikit,'' demikian wasiat Abu Bakar kepada putrinya. Ada beberapa hal yang bisa ditarik dari wasiat itu. Pertama, gambaran bahwa seorang pemimpin tidak boleh menggunakan fasilitas umat (negara) untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Hidup sederhana merupakan keharusan pemimpin. Hidup sederhana seperti ini sulit dilakukan bila keimanan tidak melekat pada diri sang pemimpin.
Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak dikatakan seorang itu beriman apabila tidak amanat dan tidak dikatakan beragama seseorang yang tidak berakal.'' (HR Dailami). Kedua, Khalifah Abu Bakar merupakan salah seorang tipe pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Sebagai bukti, meskipun ajal hampir datang menjemput, ia masih juga memikirkan harta umat, amanat kaum Muslimin. Padahal, apalah artinya seekor unta, seorang budak, dan sehelai permadani yang sudah usang dibandingkan dengan kekuasaan besar yang digenggamnya. Namun, itulah bukti nyata bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang selalu mengutamakan amanat dan tanggung jawab tanpa melihat nilai yang terkandung pada barang-barang itu.
Sikap dan perilaku Abu Bakar yang demikian sebenarnya tidak mengherankan apabila mengingat hadis Rasulullah yang berbunyi, ''Barang siapa diserahi kekuasaan (tanggung jawab) urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat.'' (HR Ahmad). Hanya pemimpin yang beriman dan punya hati nuranilah yang mampu memahami pesan yang tersirat pada wasiat yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq tersebut. Perangai pemimpin yang demikianlah harapan seluruh umat. Semoga lahir abu bakar-abu bakar modern yang memiliki sifat jujur dan amanah, sebagai pemimpin masa depan yang kita dambakan. Wallahu a'lam.
Selama menjadi khalifah, ia selalu memperhatikan rakyatnya. Hidupnya sangat sederhana dan tidak pernah menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi maupun keluarganya. Dikisahkan, ketika Khalifah Abu Bakar merasa ajalnya hampir datang menjemput, beliau memanggil putri tercintanya, Siti Aisyah, untuk menyampaikan sebuah wasiat. ''Wahai Aisyah putriku, aku telah diserahi urusan kaum Muslimin, aku telah memakan makanan yang sederhana dan aku juga telah memakai pakaian yang sederhana dan kasar.
Yang tersisa dari harta kaum Muslimin padaku adalah seekor unta, seorang pelayan (pembantu) rumah tangga, dan sehelai permadani yang sudah usang. Kalau aku wafat, kirimkan semuanya kepada Umar bin Khattab. Karena, aku tidak ingin menghadap Allah sedangkan di tanganku masih ada harta kaum Muslimin walaupun sedikit,'' demikian wasiat Abu Bakar kepada putrinya. Ada beberapa hal yang bisa ditarik dari wasiat itu. Pertama, gambaran bahwa seorang pemimpin tidak boleh menggunakan fasilitas umat (negara) untuk kepentingan pribadi dan keluarga. Hidup sederhana merupakan keharusan pemimpin. Hidup sederhana seperti ini sulit dilakukan bila keimanan tidak melekat pada diri sang pemimpin.
Rasulullah SAW bersabda, ''Tidak dikatakan seorang itu beriman apabila tidak amanat dan tidak dikatakan beragama seseorang yang tidak berakal.'' (HR Dailami). Kedua, Khalifah Abu Bakar merupakan salah seorang tipe pemimpin yang sangat bertanggung jawab. Sebagai bukti, meskipun ajal hampir datang menjemput, ia masih juga memikirkan harta umat, amanat kaum Muslimin. Padahal, apalah artinya seekor unta, seorang budak, dan sehelai permadani yang sudah usang dibandingkan dengan kekuasaan besar yang digenggamnya. Namun, itulah bukti nyata bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang selalu mengutamakan amanat dan tanggung jawab tanpa melihat nilai yang terkandung pada barang-barang itu.
Sikap dan perilaku Abu Bakar yang demikian sebenarnya tidak mengherankan apabila mengingat hadis Rasulullah yang berbunyi, ''Barang siapa diserahi kekuasaan (tanggung jawab) urusan manusia lalu menghindar (mengelak) melayani kaum lemah dan orang yang membutuhkannya, maka Allah tidak akan mengindahkannya pada hari kiamat.'' (HR Ahmad). Hanya pemimpin yang beriman dan punya hati nuranilah yang mampu memahami pesan yang tersirat pada wasiat yang disampaikan oleh Khalifah Abu Bakar Shiddiq tersebut. Perangai pemimpin yang demikianlah harapan seluruh umat. Semoga lahir abu bakar-abu bakar modern yang memiliki sifat jujur dan amanah, sebagai pemimpin masa depan yang kita dambakan. Wallahu a'lam.
|
Keutamaan Amal
Jariyah
| |
Rasulullah SAW
pernah mengungkapkan keutamaan amal jariyah di antara semua jenis kebajikan,
yaitu pahalanya tetap mengalir walaupun orang yang melakukannya telah tiada (wafat).
Kata beliau, ''Apabila meninggal anak cucu Adam (manusia), maka terputuslah
amalnya kecuali tiga hal saja, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang diambil
manfaatnya oleh manusia, dan anak yang saleh yang berdoa untuknya.'' (HR Ahmad).
Dalam hadis berikut dan beberapa hadis lain yang bersamaan maksudnya, Rasulullah menyebut beberapa jenis amal jariyah yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat. Beliau bersabda, ''Sesungguhnya amal saleh yang akan menyusul seorang mukmin setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak saleh yang dia tinggalkan, mushaf Alquran yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah musafir yang dia dirikan, air sungai (irigasi) yang dia alirkan, dan sedekah yang dia keluarkan di kala sehat dan masih hidup.
Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal dunia kelak.'' (HR Ibnu Majah dan Baihaqi). Islam memberi nilai lebih terhadap amal yang manfaatnya lebih lama dan lebih berbekas dalam kehidupan sesama makhluk. Amal jariyah itu dapat dikelompokkan dalam tiga bidang pembangunan, yaitu pembangunan pendidikan dan ilmu pengetahuan, pembangunan fisik atau kebendaan, dan pembangunan rohani atau keagamaan. Sebesar manfaat yang dirasakan orang lain, sebesar itu pula keutamaan dan pahalanya di sisi Allah.
Dalam Fiqih Prioritas, ulama besar Yusuf Al-Qardhawi menyatakan, ''Kalau kaum Muslimin mau memahami dan memiliki keimanan yang benar, serta mengetahui makna fikih prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia dapat mengalihkan dana ibadah haji (bagi yang telah pernah menunaikan hal yang wajib) itu untuk memelihara anak-anak yatim, memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan orang-orang yang telantar, mengobati orang sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur.'' Menurut Prof Dr Muhammad Al-Bahi dalam bukunya Islam dalam Kehidupan Umatnya, orang yang tujuan hidupnya mencari keridhoan Allah pasti akan berbuat untuk kepentingan sesama hidup.
Dengan begitu, setiap Muslim diingatkan jangan pernah berhenti menanam kebajikan dan jasa baik dalam hidup ini. Itulah sarana yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia dan keselamatan di akhirat. Rasulullah menyatakan, ''Meskipun kiamat sedang terjadi, sedang di tangan salah seorang di antara kamu masih ada bibit kurma dan dia masih kuat untuk menanamnya, hendaklah dia tanam bibit itu, karena baginya ada ganjaran pahala.'' (HR Bukhari). Wallahu a'lam.
Dalam hadis berikut dan beberapa hadis lain yang bersamaan maksudnya, Rasulullah menyebut beberapa jenis amal jariyah yang terkait langsung dengan kepentingan masyarakat. Beliau bersabda, ''Sesungguhnya amal saleh yang akan menyusul seorang mukmin setelah dia meninggal dunia kelak ialah ilmu yang dia ajarkan dan sebarkan, anak saleh yang dia tinggalkan, mushaf Alquran yang dia wariskan, masjid yang dia bangun, rumah tempat singgah musafir yang dia dirikan, air sungai (irigasi) yang dia alirkan, dan sedekah yang dia keluarkan di kala sehat dan masih hidup.
Semua ini akan menyusul dirinya ketika dia meninggal dunia kelak.'' (HR Ibnu Majah dan Baihaqi). Islam memberi nilai lebih terhadap amal yang manfaatnya lebih lama dan lebih berbekas dalam kehidupan sesama makhluk. Amal jariyah itu dapat dikelompokkan dalam tiga bidang pembangunan, yaitu pembangunan pendidikan dan ilmu pengetahuan, pembangunan fisik atau kebendaan, dan pembangunan rohani atau keagamaan. Sebesar manfaat yang dirasakan orang lain, sebesar itu pula keutamaan dan pahalanya di sisi Allah.
Dalam Fiqih Prioritas, ulama besar Yusuf Al-Qardhawi menyatakan, ''Kalau kaum Muslimin mau memahami dan memiliki keimanan yang benar, serta mengetahui makna fikih prioritas, maka dia akan merasakan kebahagiaan yang lebih besar dan suasana kerohanian yang lebih kuat, setiap kali dia dapat mengalihkan dana ibadah haji (bagi yang telah pernah menunaikan hal yang wajib) itu untuk memelihara anak-anak yatim, memberi makan orang-orang yang kelaparan, memberi tempat perlindungan orang-orang yang telantar, mengobati orang sakit, mendidik orang-orang yang bodoh, atau memberi kesempatan kerja kepada para penganggur.'' Menurut Prof Dr Muhammad Al-Bahi dalam bukunya Islam dalam Kehidupan Umatnya, orang yang tujuan hidupnya mencari keridhoan Allah pasti akan berbuat untuk kepentingan sesama hidup.
Dengan begitu, setiap Muslim diingatkan jangan pernah berhenti menanam kebajikan dan jasa baik dalam hidup ini. Itulah sarana yang akan mengantarkan kita pada kebahagiaan dunia dan keselamatan di akhirat. Rasulullah menyatakan, ''Meskipun kiamat sedang terjadi, sedang di tangan salah seorang di antara kamu masih ada bibit kurma dan dia masih kuat untuk menanamnya, hendaklah dia tanam bibit itu, karena baginya ada ganjaran pahala.'' (HR Bukhari). Wallahu a'lam.
|
|
|
Dalam bahasa
Indonesia, kata 'nafsu' bermakna positif dan negatif, sama halnya dengan istilah
al-nafs dalam Alquran. Dalam pengertian negatif, kata nafsu diartikan sebagai
dorongan hati yang kuat untuk berbuat tidak baik. Kata nafsu diartikan pula
dengan konotasi positif ketika dipahami sebagai selera, gairah, atau keinginan
terhadap sesuatu. Dalam Alquran dijelaskan ada tiga bentuk nafsu manusia.
Pertama, nafsu ammarah bissu'. Nafsu ini sangat berbahaya apabila melekat pada diri seseorang. Sebab, nafsu ini selalu mengarahkan manusia pada perbuatan tidak baik, kejahatan, dan perilaku yang bertentangan dengan agama. Firman Allah SWT, ''Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.'' (QS 12: 53). Orang yang dikuasai nafsu ammarah bissu' akan diperbudak nafsunya. Bahkan, ia menjadikannya sebagai 'tuhan' yang dipatuhi dan dituruti. Orang seperti ini lebih sesat daripada binatang yang hanya mempunyai nafsu, seperti firman Allah, ''Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?'' (QS 25: 43). Orang yang mengikuti nafsu ini tidak mampu memfungsikan indera dan akalnya untuk memahami kebenaran. Allah SWT berfirman, ''Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.'' (QS 7: 179).
Kedua, nafsu lawwamah. Nafsu ini sudah mengenal mana yang baik dan buruk. Orang yang memiliki nafsu ini belum sempurna berada dalam kebaikan. Nafsu ini selalu mengarahkan pemiliknya menentang kejahatan, tetapi suatu saat, karena lalai, ia terjerumus kepada kejahatan dan perbuatan dosa. Keadaan ini membuat pelakunya menyesal terhadap dosa yang telah dilakukan, seperti firman Allah, ''Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).''(QS 75: 2). Namun, setiap kali ia bertobat dari kesalahan yang telah dilakukan, ia kemudian lupa dan kembali melakukan dosa. Ketiga, nafsu muthmainnah. Ini merupakan nafsu yang baik dan membuat pemiliknya tenang berada dalam ketaatan dan kebaikan.
Nafsu ini telah mendapat rahmat dari Allah sehingga pemiliknya berpendirian teguh untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan yang disembah. Allah SWT menjelaskan, ''Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 12: 53). Dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim perlu menjauhi nafsu ammarah bissu' dan nafsu lawwamah. Sebaliknya, ia perlu memiliki nafsu muthmainnah. Melaluinya, ia akan memperoleh ketenangan hidup, selalu menampilkan perbuatan baik yang membawa kemaslahatan bagi dirinya, bangsa, dan negara.
Pertama, nafsu ammarah bissu'. Nafsu ini sangat berbahaya apabila melekat pada diri seseorang. Sebab, nafsu ini selalu mengarahkan manusia pada perbuatan tidak baik, kejahatan, dan perilaku yang bertentangan dengan agama. Firman Allah SWT, ''Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan.'' (QS 12: 53). Orang yang dikuasai nafsu ammarah bissu' akan diperbudak nafsunya. Bahkan, ia menjadikannya sebagai 'tuhan' yang dipatuhi dan dituruti. Orang seperti ini lebih sesat daripada binatang yang hanya mempunyai nafsu, seperti firman Allah, ''Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya.
Maka, apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?'' (QS 25: 43). Orang yang mengikuti nafsu ini tidak mampu memfungsikan indera dan akalnya untuk memahami kebenaran. Allah SWT berfirman, ''Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahanam kebanyakan dari jin dan manusia. Mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah), dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.'' (QS 7: 179).
Kedua, nafsu lawwamah. Nafsu ini sudah mengenal mana yang baik dan buruk. Orang yang memiliki nafsu ini belum sempurna berada dalam kebaikan. Nafsu ini selalu mengarahkan pemiliknya menentang kejahatan, tetapi suatu saat, karena lalai, ia terjerumus kepada kejahatan dan perbuatan dosa. Keadaan ini membuat pelakunya menyesal terhadap dosa yang telah dilakukan, seperti firman Allah, ''Dan aku bersumpah dengan jiwa yang amat menyesali (dirinya sendiri).''(QS 75: 2). Namun, setiap kali ia bertobat dari kesalahan yang telah dilakukan, ia kemudian lupa dan kembali melakukan dosa. Ketiga, nafsu muthmainnah. Ini merupakan nafsu yang baik dan membuat pemiliknya tenang berada dalam ketaatan dan kebaikan.
Nafsu ini telah mendapat rahmat dari Allah sehingga pemiliknya berpendirian teguh untuk menjadikan Allah sebagai Tuhan yang disembah. Allah SWT menjelaskan, ''Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.'' (QS 12: 53). Dalam kehidupan sehari-hari, seorang Muslim perlu menjauhi nafsu ammarah bissu' dan nafsu lawwamah. Sebaliknya, ia perlu memiliki nafsu muthmainnah. Melaluinya, ia akan memperoleh ketenangan hidup, selalu menampilkan perbuatan baik yang membawa kemaslahatan bagi dirinya, bangsa, dan negara.
|
Merapatkan Barisan
|
|
Pada suatu hari
para sahabat berkumpul membicarakan perbuatan yang paling bernilai di mata
Allah. Salah seorang dari mereka lantas menanyakan hal ini kepada Nabi.
Lalu, diturunkan kepada Nabi SAW, Alquran surat Al-Shaff, surat ke-61, yang di dalamnya terkandung perintah agar kaum Muslim berjihad dan menyusun barisan. Firman Allah, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.'' (Al-Shaff: 4).
Dalam ayat lain diterangkan pula bahwa para malaikat selalu dalam keadaan berbaris-baris dan selalu siap siaga dalam melaksanakan perintah-perintah Allah (Al-Shaffat: 165). Mereka memiliki disiplin tinggi dan tidak pernah lalai dalam menjalankan tugas (Al-Tahrim: 6).
Rasulullah SAW pernah menyuruh kaum Muslim agar membangun barisan seperti barisan para malaikat. Ditanyakan kepada beliau tentang barisan para malaikat itu. Jawab Nabi, ''Rapat dan kuat.'' (HR Muslim).
Penjelasan lebih lanjut tentang barisan yang rapat dan kuat itu dapat dibaca dalam permulaan surat Al-Shaffat. Perhatikan firman Allah ini, ''Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya. Demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya perbuatan dosa. Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran.'' (Al-Shaffat: 1-3).
Barisan para malaikat, seperti dikatakan Nabi, sungguh rapat dan kuat. Kekuatan barisan mereka, berdasarkan ayat di atas, disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kekompakan yang membuat mereka menjadi sangat solid. Kedua, orientasi ketuhanan (tauhid) yang membuat mereka hanya mau tunduk dan patuh kepada Allah SWT semata. Ketiga, komitmen kepada kebenaran yang membuat mereka selalu menyeru dan berpihak kepada kebaikan dan kemaslahatan umat.
Faktor lain yang menyebabkan kekuatan barisan mereka adalah disiplin. Agaknya sukar dibayangkan ada kesatuan atau barisan tanpa ada disiplin. Perkataan shaff atau barisan itu sendiri, menurut pakar tafsir Syekh Mushthafa al-Maragi, memang mengandung makna disiplin. Disiplin adalah sikap konsisten (istiqamah) dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Dikatakan, disiplin merupakan salah satu kunci kemajuan dan kesuksesan.
Itu sebabnya, Nabi pernah mengingatkan kaum Muslim agar disiplin. Katanya, ''Sebaik-baik amal (ibadah) adalah amal yang dilakukan dengan disiplin tinggi (istiqamah) meskipun amal itu kecil.'' (HR Muslim).
Kaum Muslim, seperti dianjurkan oleh Nabi, perlu belajar dari kesatuan dan barisan para malaikat. Berangkat dari sini, barangkali sudah tiba waktunya bagi kaum Muslim untuk bersatu, membangun dan merapatkan barisan. Perintah Allah dan Rasul agar kaum Muslim meluruskan dan merapatkan barisan dalam shalat, agaknya harus pula diwujudkan dan ditunjukkan dalam kehidupan nyata.
Tanpa barisan yang kuat dan disiplin yang tinggi, kaum Muslim tidak akan pernah menjadi subjek (fa'il), tetapi selamanya hanya akan menjadi objek penderita (maf'ul) seperti yang selama ini terjadi, yang tanpa daya bisa diatur dan dimainkan oleh kekuatan-kekuatan lain di luar diri mereka. Karena itu, rapatkan barisan, galang persatuan, dan raih kemenangan. Wallahu a'lam!.
Lalu, diturunkan kepada Nabi SAW, Alquran surat Al-Shaff, surat ke-61, yang di dalamnya terkandung perintah agar kaum Muslim berjihad dan menyusun barisan. Firman Allah, ''Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh.'' (Al-Shaff: 4).
Dalam ayat lain diterangkan pula bahwa para malaikat selalu dalam keadaan berbaris-baris dan selalu siap siaga dalam melaksanakan perintah-perintah Allah (Al-Shaffat: 165). Mereka memiliki disiplin tinggi dan tidak pernah lalai dalam menjalankan tugas (Al-Tahrim: 6).
Rasulullah SAW pernah menyuruh kaum Muslim agar membangun barisan seperti barisan para malaikat. Ditanyakan kepada beliau tentang barisan para malaikat itu. Jawab Nabi, ''Rapat dan kuat.'' (HR Muslim).
Penjelasan lebih lanjut tentang barisan yang rapat dan kuat itu dapat dibaca dalam permulaan surat Al-Shaffat. Perhatikan firman Allah ini, ''Demi (rombongan) yang bershaf-shaf dengan sebenar-benarnya. Demi (rombongan) yang melarang dengan sebenar-benarnya perbuatan dosa. Dan demi (rombongan) yang membacakan pelajaran.'' (Al-Shaffat: 1-3).
Barisan para malaikat, seperti dikatakan Nabi, sungguh rapat dan kuat. Kekuatan barisan mereka, berdasarkan ayat di atas, disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, kekompakan yang membuat mereka menjadi sangat solid. Kedua, orientasi ketuhanan (tauhid) yang membuat mereka hanya mau tunduk dan patuh kepada Allah SWT semata. Ketiga, komitmen kepada kebenaran yang membuat mereka selalu menyeru dan berpihak kepada kebaikan dan kemaslahatan umat.
Faktor lain yang menyebabkan kekuatan barisan mereka adalah disiplin. Agaknya sukar dibayangkan ada kesatuan atau barisan tanpa ada disiplin. Perkataan shaff atau barisan itu sendiri, menurut pakar tafsir Syekh Mushthafa al-Maragi, memang mengandung makna disiplin. Disiplin adalah sikap konsisten (istiqamah) dalam melaksanakan tugas dan kewajiban. Dikatakan, disiplin merupakan salah satu kunci kemajuan dan kesuksesan.
Itu sebabnya, Nabi pernah mengingatkan kaum Muslim agar disiplin. Katanya, ''Sebaik-baik amal (ibadah) adalah amal yang dilakukan dengan disiplin tinggi (istiqamah) meskipun amal itu kecil.'' (HR Muslim).
Kaum Muslim, seperti dianjurkan oleh Nabi, perlu belajar dari kesatuan dan barisan para malaikat. Berangkat dari sini, barangkali sudah tiba waktunya bagi kaum Muslim untuk bersatu, membangun dan merapatkan barisan. Perintah Allah dan Rasul agar kaum Muslim meluruskan dan merapatkan barisan dalam shalat, agaknya harus pula diwujudkan dan ditunjukkan dalam kehidupan nyata.
Tanpa barisan yang kuat dan disiplin yang tinggi, kaum Muslim tidak akan pernah menjadi subjek (fa'il), tetapi selamanya hanya akan menjadi objek penderita (maf'ul) seperti yang selama ini terjadi, yang tanpa daya bisa diatur dan dimainkan oleh kekuatan-kekuatan lain di luar diri mereka. Karena itu, rapatkan barisan, galang persatuan, dan raih kemenangan. Wallahu a'lam!.
|
Pemimpin dalam Islam
| |
Dalam ajaran
Islam, memilih pemimpin adalah kewajiban agama yang tidak boleh diabaikan. Kata
Rasulullah SAW, ''Tidak halal (dibenarkan) bagi tiga orang Muslim yang berdiam
di suatu tempat, kecuali apabila mereka memilih dan mengangkat salah satu di
antara mereka sebagai pemimpin.'' (HR Abu Daud).
Mengomentari hadis tersebut, ulama besar Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa mengangkat pemimpin atas urusan manusia adalah salah satu kewajiban terbesar agama. Dipandang dari ayat 56 surat An-Nisa' dan hadis di atas, maka partisipasi umat Islam dalam Pemilu 2004 merupakan suatu bagian ibadah kepada Allah SWT dan harus disadari bahwa keikutsertaan itu akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat kelak. Maka, dalam konteks memilih pemimpin tersebut Islam memberikan syarat-syarat seseorang layak dijadikan pemimpin antara lain:
Pertama, beragama Islam, beriman, dan bertakwa. Karena setiap kepemimpinan itu terkait erat dengan pencapaian suatu cita-cita, maka kepemimpinan itu harus berada di dalam genggaman tangan seorang pemimpin yang beriman kepada Allah. Allah SWT dengan tegas melarang kita untuk mengangkat atau menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Firman Allah SWT, ''Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin (pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa yang berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.'' (QS 3: 28).
Kedua, mempunyai moralitas yang baik, yaitu tidak gemar melakukan perbuatan dosa dan maksiat seperti korupsi, manipulasi, dusta, dan khianat. Para pemimpin itu hendaklah berakhlak terpuji, senantiasa berkata jujur, teguh memegang amanah, dan tidak suka bermaksiat kepada Allah.
Ketiga, berilmu pengetahuan. Selayaknya seorang yang dipilih sebagai pemimpin mempunyai pengetahuan yang mencakup pengetahuan tentang administrasi negara, politik, hukum, dan yang terpenting adalah pengetahuan agama. Allah SWT menggambarkan prototipe pemimpin seperti itu dalam Alquran, ''Berkata Yusuf, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan'.''(QS 12: 55)
Keempat, mempunyai kemampuan. Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah mengatakan, ''Seorang pemimpin itu hendaknya seorang yang kokoh iman dan takwanya, mulia akhlaknya, dan mampu bersikap adil dan jujur, berilmu dan cerdas, mampu menjalankan tugas (kompeten) dan konsekuen (istiqamah) memikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya, sehat jasmani dan rohaninya, dan ia harus memiliki kemampuan dan keberanian untuk menegakkan keadilan serta melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar.''
Kelima, mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyat dan mempunyai sifat kasih sayang. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.'' (QS 9:128).
Mengomentari hadis tersebut, ulama besar Ibnu Taimiyah mengatakan bahwa mengangkat pemimpin atas urusan manusia adalah salah satu kewajiban terbesar agama. Dipandang dari ayat 56 surat An-Nisa' dan hadis di atas, maka partisipasi umat Islam dalam Pemilu 2004 merupakan suatu bagian ibadah kepada Allah SWT dan harus disadari bahwa keikutsertaan itu akan dipertanggungjawabkan di dunia dan di akhirat kelak. Maka, dalam konteks memilih pemimpin tersebut Islam memberikan syarat-syarat seseorang layak dijadikan pemimpin antara lain:
Pertama, beragama Islam, beriman, dan bertakwa. Karena setiap kepemimpinan itu terkait erat dengan pencapaian suatu cita-cita, maka kepemimpinan itu harus berada di dalam genggaman tangan seorang pemimpin yang beriman kepada Allah. Allah SWT dengan tegas melarang kita untuk mengangkat atau menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Firman Allah SWT, ''Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi pemimpin (pelindung) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa yang berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah.'' (QS 3: 28).
Kedua, mempunyai moralitas yang baik, yaitu tidak gemar melakukan perbuatan dosa dan maksiat seperti korupsi, manipulasi, dusta, dan khianat. Para pemimpin itu hendaklah berakhlak terpuji, senantiasa berkata jujur, teguh memegang amanah, dan tidak suka bermaksiat kepada Allah.
Ketiga, berilmu pengetahuan. Selayaknya seorang yang dipilih sebagai pemimpin mempunyai pengetahuan yang mencakup pengetahuan tentang administrasi negara, politik, hukum, dan yang terpenting adalah pengetahuan agama. Allah SWT menggambarkan prototipe pemimpin seperti itu dalam Alquran, ''Berkata Yusuf, 'Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan'.''(QS 12: 55)
Keempat, mempunyai kemampuan. Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Ahkam As-Sulthaniyah mengatakan, ''Seorang pemimpin itu hendaknya seorang yang kokoh iman dan takwanya, mulia akhlaknya, dan mampu bersikap adil dan jujur, berilmu dan cerdas, mampu menjalankan tugas (kompeten) dan konsekuen (istiqamah) memikul tanggung jawab yang diamanahkan kepadanya, sehat jasmani dan rohaninya, dan ia harus memiliki kemampuan dan keberanian untuk menegakkan keadilan serta melaksanakan amar ma'ruf nahi munkar.''
Kelima, mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap rakyat dan mempunyai sifat kasih sayang. Allah SWT berfirman, ''Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan keimanan dan keselamatan bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin.'' (QS 9:128).
|
Hakikat Kemenangan
| |
Kemenangan dan
kesuksesan dalam kehidupan selalu didambakan oleh setiap orang dan kelompok
orang meskipun dengan ukuran dan kriteria yang berbeda-beda. Banyak yang
berpendapat, indikator kemenangan itu adalah banyaknya pengikut. Pendekatan itu
dilakukan semata-mata berorientasi pada jumlah, seolah-olah kemenangan dan
kesuksesan identik dan berbanding lurus dengan kuantitas. Padahal, betapa banyak
kesesatan dan kekeliruan yang diikuti oleh sebagian besar orang.
Tentang hal tersebut, Allah SWT menyatakan dalam QS Al-Maidah ayat 116-117, ''Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkannmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapatkan petunjuk.''
Ayat tersebut sekaligus menjelaskan bahwa kemenangan itu hakikatnya adalah keberpihakan dan kekuatan komitmen kepada segala ketentuan yang bersumber dari ajaran Allah SWT. Kelompok inilah yang hakikatnya akan mendapatkan anugerah dari Allah berupa kemenangan dunia maupun akhirat, meskipun dalam jumlah yang tidak banyak.
Hal tersebut dikemukakan dalam QS Al-Baqarah ayat 249, ''... Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.'' Tentu saja akan lebih baik jika kebenaran itu diikuti pula oleh jumlah yang banyak.
Pemilihan Umum 5 April 2004 sudah berlangsung dan sudah diketahui (walaupun masih bersifat sementara) partai yang mendapatkan kursi legislatif yang cukup banyak dan partai yang jumlah pemilihnya sangat sedikit. Hampir setiap orang berpendapat bahwa partai yang mendapatkan jumlah anggota legislatif yang banyak, itulah yang menang, sedangkan yang kalah adalah yang jumlahnya sedikit.
Tentu penilaian itu tidaklah seluruhnya salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar, jika mengabaikan cara dan usaha partai tersebut dalam memenangkan pemilu. Jika cara-cara yang dilakukan sarat dengan money politics, disertai dengan upaya untuk melakukan pembodohan dan pengelabuan terhadap rakyat banyak, maka kemenangan yang bersifat sumir itu hakikatnya merupakan suatu kekalahan, apalagi jika nanti para wakil rakyat tersebut melakukan berbagai macam pengkhianatan.
Tetapi, jika kursi legislatif didapatkan dengan cara-cara yang bersih, adil, jujur dan transparan, maka itulah kemenangan hakiki meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Dan ini pula yang harus menjadi rujukan orang-orang yang beriman. Sebab, kita yakin para wakil rakyatnya pun kelak akan menjadi para wakil rakyat yang amanah dan bertanggung jawab terhadap Allah SWT maupun terhadap rakyat pemilihnya. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
Tentang hal tersebut, Allah SWT menyatakan dalam QS Al-Maidah ayat 116-117, ''Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkannmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih mengetahui tentang orang-orang yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapatkan petunjuk.''
Ayat tersebut sekaligus menjelaskan bahwa kemenangan itu hakikatnya adalah keberpihakan dan kekuatan komitmen kepada segala ketentuan yang bersumber dari ajaran Allah SWT. Kelompok inilah yang hakikatnya akan mendapatkan anugerah dari Allah berupa kemenangan dunia maupun akhirat, meskipun dalam jumlah yang tidak banyak.
Hal tersebut dikemukakan dalam QS Al-Baqarah ayat 249, ''... Betapa banyak terjadi golongan yang sedikit mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.'' Tentu saja akan lebih baik jika kebenaran itu diikuti pula oleh jumlah yang banyak.
Pemilihan Umum 5 April 2004 sudah berlangsung dan sudah diketahui (walaupun masih bersifat sementara) partai yang mendapatkan kursi legislatif yang cukup banyak dan partai yang jumlah pemilihnya sangat sedikit. Hampir setiap orang berpendapat bahwa partai yang mendapatkan jumlah anggota legislatif yang banyak, itulah yang menang, sedangkan yang kalah adalah yang jumlahnya sedikit.
Tentu penilaian itu tidaklah seluruhnya salah, tetapi juga tidak seluruhnya benar, jika mengabaikan cara dan usaha partai tersebut dalam memenangkan pemilu. Jika cara-cara yang dilakukan sarat dengan money politics, disertai dengan upaya untuk melakukan pembodohan dan pengelabuan terhadap rakyat banyak, maka kemenangan yang bersifat sumir itu hakikatnya merupakan suatu kekalahan, apalagi jika nanti para wakil rakyat tersebut melakukan berbagai macam pengkhianatan.
Tetapi, jika kursi legislatif didapatkan dengan cara-cara yang bersih, adil, jujur dan transparan, maka itulah kemenangan hakiki meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Dan ini pula yang harus menjadi rujukan orang-orang yang beriman. Sebab, kita yakin para wakil rakyatnya pun kelak akan menjadi para wakil rakyat yang amanah dan bertanggung jawab terhadap Allah SWT maupun terhadap rakyat pemilihnya. Wallahu A'lam bi ash-Shawab.
|
Menghargai Orang Lain
| |
Esensi ajaran
Islam adalah keselamatan dan membuat orang menjadi selamat. Karena itu, umat
Islam harus menghindarkan diri dari perbuatan yang membuat orang lain terganggu,
baik dari lisan maupun tangannya. ''Seorang Muslim adalah orang yang bisa
membawa selamat bagi orang lain dari perkataan dan perbuatannya,'' Rasulullah
SAW menjelaskan. Islam juga menganjurkan seseorang untuk menghormati dan
memuliakan orang lain, seperti perintah menyebarkan salam, memuliakan tamu,
serta menghormati tetangga.
Pun perintah mencintai sesama Muslim sebagaimana mencintai diri sendiri. Bahkan, kepada mereka yang beragama lain pun Islam memerintahkan orang beriman agar menghormati dan menjalin kehidupan yang damai dan rukun. Sikap menghargai orang lain meliputi aspek kehidupan, seperti bersikap baik kepada saudaranya dan memiliki sifat-sifat yang baik serta bermurah hati kepadanya. Seperti ungkapan yang digambarkan oleh Allah, bahwa orang-orang beriman bersikap kasih sayang kepada sesama mukmin dan bersikap tegas kepada orang-orang kafir (QS 48: 29).
Sikap tegas kepada kaum non-Muslim yang dimaksud adalah tegas dalam prinsip akidah dan ibadah. Tidak ada kompromi dan pencampuradukan dalam akidah dan ibadah. Tetapi, tetap menjalin hubungan yang baik selama mereka juga berbuat baik dan bersedia hidup damai dengan umat Islam. Termasuk dalam sikap hormat dan menghargai orang lain adalah menggunakan tutur kata yang baik dan sopan dalam berkomunikasi. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari disebutkan Nabi SAW tidak pernah menggunakan bahasa yang jorok atau mengucapkan caci-makian dan hinaan. Jika beliau ingin memperingatkan seseorang, beliau mengatakan, ''Apa yang terjadi pada dirinya, mungkin keningnya tertutupi debu.'' Menghargai orang lain juga dapat berupa menghormati pendapat orang lain yang berbeda, bahkan bertentangan.
Tetapi, tetap mengajak berpikir kritis mencari kebenaran. Namun, apabila akhirnya tidak bisa dipertemukan, karena masing-masing memiliki argumen dan acuan berpikir yang kuat, maka harus ditumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai pandangan orang lain. Bukankah perbedaan pendapat yang diikuti sikap saling memahami dan menghormati justru akan menjadi rahmat bagi masing-masing? Karena, dengan perbedaan tersebut akan tumbuh dinamika berpikir. Untuk menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati orang lain, harus diawali dari perbaikan kepribadian seseorang. Dimulai dengan menyadari diri yang penuh keterbatasan dan kekurangan.
Selanjutnya diikuti dengan menghilangkan sikap yang menganggap benar sendiri, atau bahwa pendapatnya atau pendapat kelompoknya yang paling benar dan orang lain salah. Apabila sikap-sikap kepribadian tersebut telah tertanam kuat dalam jiwa seorang Muslim, maka sikap saling menghargai antara yang satu dan lainnya akan mudah diwujudkan. Sehingga, esensi ajaran Islam yang bermakna selamat, keselamatan, dan membuat orang lain selamat menjadi kenyataan. Namun, apabila pembinaan kepribadian tersebut tidak dapat terwujud, maka perbedaan pendapat justru akan membuahkan konflik dan perpecahan, bahkan bencana bagi umat.
Pun perintah mencintai sesama Muslim sebagaimana mencintai diri sendiri. Bahkan, kepada mereka yang beragama lain pun Islam memerintahkan orang beriman agar menghormati dan menjalin kehidupan yang damai dan rukun. Sikap menghargai orang lain meliputi aspek kehidupan, seperti bersikap baik kepada saudaranya dan memiliki sifat-sifat yang baik serta bermurah hati kepadanya. Seperti ungkapan yang digambarkan oleh Allah, bahwa orang-orang beriman bersikap kasih sayang kepada sesama mukmin dan bersikap tegas kepada orang-orang kafir (QS 48: 29).
Sikap tegas kepada kaum non-Muslim yang dimaksud adalah tegas dalam prinsip akidah dan ibadah. Tidak ada kompromi dan pencampuradukan dalam akidah dan ibadah. Tetapi, tetap menjalin hubungan yang baik selama mereka juga berbuat baik dan bersedia hidup damai dengan umat Islam. Termasuk dalam sikap hormat dan menghargai orang lain adalah menggunakan tutur kata yang baik dan sopan dalam berkomunikasi. Dalam sebuah hadis riwayat Bukhari disebutkan Nabi SAW tidak pernah menggunakan bahasa yang jorok atau mengucapkan caci-makian dan hinaan. Jika beliau ingin memperingatkan seseorang, beliau mengatakan, ''Apa yang terjadi pada dirinya, mungkin keningnya tertutupi debu.'' Menghargai orang lain juga dapat berupa menghormati pendapat orang lain yang berbeda, bahkan bertentangan.
Tetapi, tetap mengajak berpikir kritis mencari kebenaran. Namun, apabila akhirnya tidak bisa dipertemukan, karena masing-masing memiliki argumen dan acuan berpikir yang kuat, maka harus ditumbuhkan sikap saling menghormati dan menghargai pandangan orang lain. Bukankah perbedaan pendapat yang diikuti sikap saling memahami dan menghormati justru akan menjadi rahmat bagi masing-masing? Karena, dengan perbedaan tersebut akan tumbuh dinamika berpikir. Untuk menumbuhkan sikap saling menghargai dan menghormati orang lain, harus diawali dari perbaikan kepribadian seseorang. Dimulai dengan menyadari diri yang penuh keterbatasan dan kekurangan.
Selanjutnya diikuti dengan menghilangkan sikap yang menganggap benar sendiri, atau bahwa pendapatnya atau pendapat kelompoknya yang paling benar dan orang lain salah. Apabila sikap-sikap kepribadian tersebut telah tertanam kuat dalam jiwa seorang Muslim, maka sikap saling menghargai antara yang satu dan lainnya akan mudah diwujudkan. Sehingga, esensi ajaran Islam yang bermakna selamat, keselamatan, dan membuat orang lain selamat menjadi kenyataan. Namun, apabila pembinaan kepribadian tersebut tidak dapat terwujud, maka perbedaan pendapat justru akan membuahkan konflik dan perpecahan, bahkan bencana bagi umat.
|
Hindari Perpecahan
| |
Di dalam
sirah (buku sejarah) Ibnu Hisyam, As-Siroh an-Nabawiyah, diceritakan, suatu
ketika sekelompok orang Yahudi berusaha memecah belah persatuan kaum Muslimin
setelah suku Aus dan Khajraj masuk Islam. Salah seorang dari mereka menyusup di
antara kedua suku tersebut. Tujuannya, berusaha memancing (memprovokasi) mereka
sehingga muncul permusuhan. Orang Yahudi itu kembali mengungkit-ungkit Perang
But'ah, yaitu perang saudara di zaman Jahiliyah antara suku Aus dan Khajraj.
Selain itu, sajak-sajak yang mengandung permusuhan juga dibacakan untuk memanasi
mereka. Akibatnya, orang-orang Aus dan Khajraj pun tersulut dan nyaris berperang.
Untungnya, kabar tersebut segera sampai kepada Rasulullah SAW. Di hadapan kedua suku itu, Rasulullah bersabda, ''Wahai orang-orang Islam, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menujukkan kepada kalian dengan Islam, yang karena itulah kalian menjadi mulia dan menjauhkan diri dari paganisme (berhala), menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersaudara.'' Dalam peristiwa lain diceritakan, pernah terjadi kesalahpahaman antara sahabat Abu Dzar dan sahabat Bilal bin Rabah.
Abu Dzar berkata kepada Bilal, ''Kamu anak seorang budak hitam.'' Rasulullah SAW yang mendengar tentang hal ini sangat marah. Lalu, beliau mengingatkan Abu Dzar dengan sabdanya, ''Ini keterlaluan, Abu Dzar. Orang yang ibunya berkulit putih tidak memiliki kelebihan yang membuatnya menjadi lebih baik daripada seorang yang ibunya berkulit hitam.'' Peringatan tersebut sangat membekas pada diri Abu Dzar. Ia kemudian meletakkan kepalanya di atas tanah dan bersumpah tidak akan mengangkatnya sebelum Bilal menginjakkan kaki di atas kepalanya. Rasulullah memang terkenal sangat tegas menentang sikap ta'ashub ashabiyah.
Yakni, semangat golongan dan semangat kelompok (kepartaian/lihat kamus al-Munawwir hlm 1005). Ashabiyah merupakan ikatan manusia atas dasar golongan, kesukuan, maupun nasionalisme sempit. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin tidak membeda-bedakan status, golongan, partai, atau warna kulit. Apakah itu kaya, miskin, berkulit putih atau hitam, semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan. Sehingga, tidak sepatutnya orang-orang Islam itu, karena persoalan sepele, terus saling membenci, memaki, apalagi sampai bermusuhan. Apakah kita lupa bahwa ''Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara?'' (Al-Hujurat: 10).
Di sisi lain, Allah SWT memerintahkan agar umat Islam selalu bersatu dalam tali Allah, yakni agama Islam. Firman-Nya, ''Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.'' (Ali Imran: 103). Rasulullah SAW juga menegaskan, ''Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyah, orang yang berperang karena ashabiyah, serta orang-orang yang mati membela ashabiyah.'' (HR Abu Dawud). Nah, partai boleh beda, tetapi ukhuwah Islamiyah harus tetap diperkokoh. Jangan justru saling membenci, apalagi bermusuhan.
Untungnya, kabar tersebut segera sampai kepada Rasulullah SAW. Di hadapan kedua suku itu, Rasulullah bersabda, ''Wahai orang-orang Islam, ingatlah Allah, ingatlah Allah. Apakah kalian akan bertindak seperti para penyembah berhala saat aku hadir di tengah kalian dan Allah telah menujukkan kepada kalian dengan Islam, yang karena itulah kalian menjadi mulia dan menjauhkan diri dari paganisme (berhala), menjauhkan kalian dari kekufuran dan menjadikan kalian bersaudara.'' Dalam peristiwa lain diceritakan, pernah terjadi kesalahpahaman antara sahabat Abu Dzar dan sahabat Bilal bin Rabah.
Abu Dzar berkata kepada Bilal, ''Kamu anak seorang budak hitam.'' Rasulullah SAW yang mendengar tentang hal ini sangat marah. Lalu, beliau mengingatkan Abu Dzar dengan sabdanya, ''Ini keterlaluan, Abu Dzar. Orang yang ibunya berkulit putih tidak memiliki kelebihan yang membuatnya menjadi lebih baik daripada seorang yang ibunya berkulit hitam.'' Peringatan tersebut sangat membekas pada diri Abu Dzar. Ia kemudian meletakkan kepalanya di atas tanah dan bersumpah tidak akan mengangkatnya sebelum Bilal menginjakkan kaki di atas kepalanya. Rasulullah memang terkenal sangat tegas menentang sikap ta'ashub ashabiyah.
Yakni, semangat golongan dan semangat kelompok (kepartaian/lihat kamus al-Munawwir hlm 1005). Ashabiyah merupakan ikatan manusia atas dasar golongan, kesukuan, maupun nasionalisme sempit. Islam sebagai agama rahmatan lil 'alamin tidak membeda-bedakan status, golongan, partai, atau warna kulit. Apakah itu kaya, miskin, berkulit putih atau hitam, semuanya sama di hadapan Allah SWT. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan. Sehingga, tidak sepatutnya orang-orang Islam itu, karena persoalan sepele, terus saling membenci, memaki, apalagi sampai bermusuhan. Apakah kita lupa bahwa ''Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara?'' (Al-Hujurat: 10).
Di sisi lain, Allah SWT memerintahkan agar umat Islam selalu bersatu dalam tali Allah, yakni agama Islam. Firman-Nya, ''Berpegang teguhlah kalian semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kalian bercerai-berai.'' (Ali Imran: 103). Rasulullah SAW juga menegaskan, ''Bukan dari golongan kami orang-orang yang menyerukan ashabiyah, orang yang berperang karena ashabiyah, serta orang-orang yang mati membela ashabiyah.'' (HR Abu Dawud). Nah, partai boleh beda, tetapi ukhuwah Islamiyah harus tetap diperkokoh. Jangan justru saling membenci, apalagi bermusuhan.
|
Berjiwa Besar
| |
''Sesungguhnya
orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah adalah orang yang paling
bertakwa'' (QS Al-Hujurat: 49)
Betapa banyak pribadi yang besar dalam sejarah tetapi yang berjiwa besar sungguh sangat langka. Pribadi tersebut mampu mengalahkan diri sendiri dan mengesampingkan egonya demi kepentingan umat yang jauh lebih besar.
Di antara butiran mutiara itulah Khalid bin Walid ada di barisan terdepan. Satu riwayat yang menyebutkan tentang pemilihan Khalifah yang kedua yaitu Umar Bin Khattab, setelah Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq meninggal. Padahal, pada saat yang bersamaan sedang terjadi peperangan melawan Romawi yang dikomandani Khalid bin Walid. Sebelum Umar menjadi Khalifah, beliau telah berpendapat bahwa posisi Khalid harus diganti karena beliau mengkhawatirkan umat Islam terjatuh dalam kebinasaan, yaitu mereka berperang karena Khalid bukan karena Allah.
Dan benar, setelah beliau diangkat menjadi Khalifah maka perintah pun dikeluarkan untuk mengganti Sang Jenderal. Maka diutuslah Abu Ubaidah untuk menggantikan jabatan Panglima Perang. Dalam sekejap khalid berubah dari seorang Panglima yang memiliki kekuasaan menjadi seorang tentara biasa.
Dan sungguh mengagumkan, Khalid dapat menguasai naluri kekuasaan yang ada padanya (hubbus siyadah) dan tidak menjadikan dukungan tentara kepadanya sebagai alat untuk mempertahankan jabatannya. Bahkan dia tetap berperang di bawah komando baru dan menaati segala perintah atasannya. Ketika dia ditanya tentang sikapnya itu maka keluarlah pernyataan yang indah dan akan selalu dikenang sepanjang masa: ''Aku berperang bukan karena Umar tetapi demi Tuhan Umar.''
Demikianlah kebesaran jiwa Khalid bin Walid, beliau mampu menahan diri sehingga ummat tidak menjadi korban. Tentu akan lain hasilnya apabila Khalid protes atas pemberhentian dirinya sebagai panglima kemudian memobilisasi pendukungnya demi jabatan itu, pasti akan terjadi kekacauan dan umat akan terpecah belah. Mereka bisa saja akan berkelahi di dalam barisan dan pastilah musuh akan dengan mudah mengalahkan mereka, dan penaklukan Romawi mungkin hanya ada dalam angan-angan. Sungguh, kebesaran jiwamu wahai Khalid perlu dijadikan teladan pemimpin masa kini.
Betapa banyak pribadi yang besar dalam sejarah tetapi yang berjiwa besar sungguh sangat langka. Pribadi tersebut mampu mengalahkan diri sendiri dan mengesampingkan egonya demi kepentingan umat yang jauh lebih besar.
Di antara butiran mutiara itulah Khalid bin Walid ada di barisan terdepan. Satu riwayat yang menyebutkan tentang pemilihan Khalifah yang kedua yaitu Umar Bin Khattab, setelah Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq meninggal. Padahal, pada saat yang bersamaan sedang terjadi peperangan melawan Romawi yang dikomandani Khalid bin Walid. Sebelum Umar menjadi Khalifah, beliau telah berpendapat bahwa posisi Khalid harus diganti karena beliau mengkhawatirkan umat Islam terjatuh dalam kebinasaan, yaitu mereka berperang karena Khalid bukan karena Allah.
Dan benar, setelah beliau diangkat menjadi Khalifah maka perintah pun dikeluarkan untuk mengganti Sang Jenderal. Maka diutuslah Abu Ubaidah untuk menggantikan jabatan Panglima Perang. Dalam sekejap khalid berubah dari seorang Panglima yang memiliki kekuasaan menjadi seorang tentara biasa.
Dan sungguh mengagumkan, Khalid dapat menguasai naluri kekuasaan yang ada padanya (hubbus siyadah) dan tidak menjadikan dukungan tentara kepadanya sebagai alat untuk mempertahankan jabatannya. Bahkan dia tetap berperang di bawah komando baru dan menaati segala perintah atasannya. Ketika dia ditanya tentang sikapnya itu maka keluarlah pernyataan yang indah dan akan selalu dikenang sepanjang masa: ''Aku berperang bukan karena Umar tetapi demi Tuhan Umar.''
Demikianlah kebesaran jiwa Khalid bin Walid, beliau mampu menahan diri sehingga ummat tidak menjadi korban. Tentu akan lain hasilnya apabila Khalid protes atas pemberhentian dirinya sebagai panglima kemudian memobilisasi pendukungnya demi jabatan itu, pasti akan terjadi kekacauan dan umat akan terpecah belah. Mereka bisa saja akan berkelahi di dalam barisan dan pastilah musuh akan dengan mudah mengalahkan mereka, dan penaklukan Romawi mungkin hanya ada dalam angan-angan. Sungguh, kebesaran jiwamu wahai Khalid perlu dijadikan teladan pemimpin masa kini.
|
Bermegah-megah
| |
|
Bermegah-megah telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu). Dan jangan begitu, kelak kamu akan mengetahui. Jangan begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim. Dan sesungguhnya kamu akan melihatnya dengan ainul yaqin. Kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia). (QS At-Takatsur)
Empat belas abad yang lalu di sebuah kota yang sekarang disebut Madinah, dua buah kelompok massa, Bani Harits dan Bani Haritsah, saling unjuk kekuatan untuk menentukan siapa yang paling hebat dan pantas memperoleh supremasi dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik.
Perseteruan mereka sudah sedemikian memuncak, sampai-sampai untuk membuktikan bahwa merekalah kelompok dengan pendukung terbanyak, mereka pergi ke kuburan untuk menghitung anggota mereka yang sudah mati dan memasukkannya ke dalam kalkulasi. "Alhakum at-takatsur" (Kalian telah dilalaikan oleh bermegah-megahan). Demikian komentar Alquran tentang peristiwa itu. Alquran berkali-kali menegaskan agar manusia tidak terjebak dalam perbuatan tersebut, dan mengancam pelakunya dengan neraka.
Dalam pandangan Alquran peristiwa seperti itu adalah peristiwa yang patut disesalkan karena dapat menyulut kebencian, dendam, dan pertikaian horizontal, serta merupakan biang kehancuran umat manusia. Peristiwa tersebut sengaja diabadikan dalam Alquran karena sifatnya yang universal. Bisa terjadi kapan pun, di manapun dan oleh siapa pun. Bahkan bisa saja terjadi saat ini, di sini, di negeri ini, dan bisa jadi pelakunya adalah kita sendiri.
Tapi benarkah penyakit at-takatsur itu sedang berjangkit di negeri ini? Kita berharap mudah-mudahan saja tidak. Hanya saja seandainya benar, maka tanyakanlah pada diri kita sendiri, kapan akan berhenti? Apakah kita baru akan berhenti setelah kita mati sebagaimana yang disindir Alquran, ataukah kita akan menghentikannya saat ini juga, sebelum bangsa ini hancur-lebur karena rakyat dan terutama pemimpinnya terkena penyakit at-takatsur, yakni sering unjuk gigi, tapi tidak mempunyai hasil kerja yang berarti.
|
I'tishom
|
|
|
|
"Katakanlah Dialah Dzat Yang Maha Berkuasa untuk mengirimkan azab kepada kamu dari atas atau bawah kakimu, atau dijadikan-Nya kamu menjadi beberapa golongan, dan sebagian mendatangkan bahaya kepada yang lainnya. Perhatikanlah bagaimana Kami menjelaskan keterangan-keterangan supaya mereka mengerti." (QS Al-An'am: 65).
Ayat di atas secara jelas mengisyaratkan tentang jenis azab yang menimpa umat beragama. Baik yang datang dari atas, bawah, ataupun azab perpecahan yang datangnya dari dalam umat itu sendiri.
Ketika ayat di atas turun, Abdullah bin Mas'ud, salah seorang sahabat yang bobot keimanannya lebih berat dari Lembah Uhud, pergi ke masjid dan berdiri di mimbar seraya berteriak.
"Ingatlah wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah
menurunkan kepadamu suatu ayat yang artinya, 'Dialah Dzat Yang Maha Berkuasa
untuk mengirimkan azab kepada kamu sekalian dari atas, seandainya azab dari atas
langit ini menimpa kamu, maka tidak ada seorang pun yang dapat menyelamatkanmu
darinya. Seandainya terjadi gempa bumi yang membinasakan kamu, maka tidak ada
seorang pun yang menyelamatkanmu darinya. (Atau dijadikannya kamu menjadi
beberapa golongan yang bertentangan dan sebagian mendatangkan bahaya kepada yang
lain), ingatlah sesungguhnya ini merupakan yang terburuk di antara ketiga azab
tersebut'."
Dalam konteks kehidupan berbangsa, perpecahan di kalangan umat hari ini sungguh memilukan. Terlebih lagi perpecahan itu hanya karena adanya kepentingan dan dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa. Umat semakin jauh dari nilai-nilai yang mengajarkan kedamaian, kerja sama, dan kasih sayang. Sebaliknya, mereka saling cemooh, hina, merendahkan, dan menyakiti saudaranya sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, hadis Rasulullah itu setidaknya mengingatkan setiap individu, masyarakat, bangsa, dan negara agar menghindari hal-hal yang mengarah pada perpecahan. Sebab, semua persoalan kehidupan umat manusia mustahil akan dapat berjalan dengan baik, sementara perpecahan itu masih mendominasinya. Maka, tak ada jalan lain yang harus dilakukan setiap Muslim selain tetap I'tisom (berpegang teguh) pada tali Allah. Sehingga azab yang terburuk itu dapat terminimalisasi.
Dalam konteks kehidupan berbangsa, perpecahan di kalangan umat hari ini sungguh memilukan. Terlebih lagi perpecahan itu hanya karena adanya kepentingan dan dominasi kekuasaan yang dilakukan oleh mereka yang berkuasa. Umat semakin jauh dari nilai-nilai yang mengajarkan kedamaian, kerja sama, dan kasih sayang. Sebaliknya, mereka saling cemooh, hina, merendahkan, dan menyakiti saudaranya sendiri.
Berkaitan dengan hal tersebut, hadis Rasulullah itu setidaknya mengingatkan setiap individu, masyarakat, bangsa, dan negara agar menghindari hal-hal yang mengarah pada perpecahan. Sebab, semua persoalan kehidupan umat manusia mustahil akan dapat berjalan dengan baik, sementara perpecahan itu masih mendominasinya. Maka, tak ada jalan lain yang harus dilakukan setiap Muslim selain tetap I'tisom (berpegang teguh) pada tali Allah. Sehingga azab yang terburuk itu dapat terminimalisasi.
|
Syahadat
| |
|
Sebenarnya, Allah telah menyiapkan perangkat yang jelas untuk manusia sejak ia menghirup segarnya udara dunia. Bahkan sebelum ia dilahirkan ke dunia. Ketika dalam rahim bunda, manusia telah dibaiat dan benkrar, bahwa hidup dan matinya serta seluruh ibadahnya milik Allah semata. Setiap janin dalam kandungan, telah mengucapkan syahadat kepada Allah SWT. "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah menganibil kesaksian pada jiwa mereka, "Bukankah Aku ini Tuhanmu,' Dan mereka menjawab, 'Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi"(QS.AIA'raf:172).
Syahadat, inilah sikap hidup manusia. Dua kalimat dahsyat yang timbangannya lebih berat dari seluruh alam dan isinya. Tiada ilah selain Allah, dan Muhammad adalah Rasul Al- lah. Sepintas memang sangat sederhana kalimatnya, dan memang sangat sederhana. Tapi sekali lagi, kesedertianaan itu lebih dahsyat dari semua yang ada di alam semesta. Jika seorang manusia, telah sadar dan menjadikan syahadat sebagai sikap hidup, sebenamya tak ada yang perlu dirisaukan olehnya.
Rasulullah, suatu hari bersabda. Dalam sabdanya beliau memberikan jaminan, siapa saja yang mengucapkan dua kalimat syahadat, surgalah sebagai ganjarannya. Betapa mudah temyata mencapai surga, hanya dengan dua kalimat syahadat saja. Tidak demikian sebenarnya, ada banyak konsekuensi dalam kalimat itu yang harus kita taati untuk mencapai surga. Hal pokok dalam syahadat adalah, seluruh aktivitas kita, dan seluruh hidup kita untuk menyembah Allah.
Dan setiap nabi diutus ke muka bumi untuk memberitahukan
hal itu kepada umatnya. Surat-surat di atas menegaskan pada seluruh manusia.
Dari Adam sampai kita punya satu tugas utama, menyembah Allah semata. Mengakui
Allah sebagai sesembahan kita, berarti pula menerima segala aturan-Nya. Mengakui
Allah sebagai llah, sama artinya dengan mengakui-Nya sebagai kiblat hidup
manusia. Ikrar yang telah kita ucapkan itu membawa kewajiban pada kita bukan
saja menjaiani aturan dan mentaati hukum-Nya tapi juga men- dakwahkan, membe-
rikan kabar gembira yang diturunkan Allah sebagai pahala pada umat yang taat dan
orang-orang shalih. Memakmurkan agama-Nya, menegakkan kalimat-Nya dan meraih
segala kemuliaan. Mengakui Allah sebagai satu-satunya llah berarti pula
menegakkan kebajikan dan memerangi kemungkaran. Dan itu akan mengantar kita pada
kehidupan yang lebih baik di dunia dan di akhirat.
Jika sekarang banyak ditemui manusia- manusia yang ingkar pada janjinya sendiri, mereka berpaling meninggalkan Islam. Mereka menukar nikmat kekal dengan kesenangan semu yang bersifat sesat. Mereka tergoda tipuan-tipuan yang menjermuskan, lalu menjual iman. Tidak ada lagi kecuali kehinaan bagi mereka. Dan sungguh, azab Allah sangat luar biasa."
Sumber: Republika
Jika sekarang banyak ditemui manusia- manusia yang ingkar pada janjinya sendiri, mereka berpaling meninggalkan Islam. Mereka menukar nikmat kekal dengan kesenangan semu yang bersifat sesat. Mereka tergoda tipuan-tipuan yang menjermuskan, lalu menjual iman. Tidak ada lagi kecuali kehinaan bagi mereka. Dan sungguh, azab Allah sangat luar biasa."
Sumber: Republika
Ditulis Oleh : Endy Djubu | Artikel | Hikmah Edisi III (Ketiga)
Artikel Hikmah Edisi III (Ketiga) ini diposting oleh Endy Djubu pada hari Sabtu, 17 Maret 2012. Terimakasih atas kunjungan Anda yang telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat untuk kita semua, Kritik dan saran nya, silahkan tulis di kotak Komentar di bawah ini, dan jangan lupa di like/suka ya.... Salam hangat dari saya 3nf1try.blogspot.com
0 Comments:
Posting Komentar